Tak semua orang yang kau temui di sekolah berakhir menjadi teman. Tak semua yang kau terima di sekolah adalah perlakuan yang menyenangkan. Saat masih berseragam dan lebih muda, aku sadar bahwa di sekolah kau tak hanya akan belajar Matematika. Hal lainnya yang akan kau pelajari adalah bagaimana bertahan dari anak-anak yang have fun dengan cara sengaja membuatmu tersiksa.
Kau tahu kenapa sekolah tak membuatku nyaman. Kau adalah bagian grup yang memaksaku percaya hidupku adalah kesalahan. Aku sempat berusaha mencari alasan untuk mangkir dari pelajaran, berbohong pada orangtua demi izin tak masuk seharian. Demi tak bersentuh sikut denganmu atau mereka yang kau sebut ‘teman’.
ADVERTISEMENTS
Sekolah buatku bukan hanya tempat belajar, melainkan juga medan perang. Semua karenamu dan orang-orang yang kau panggil ‘teman’
Sekolah bagiku bukan hanya tempat belajar, melainkan juga medan perang. Aku harus memperkirakan bagaimana hari itu aku akan dicincang, dan hingga jam sekolah berdentang aku harus berusaha bertahan.
Aku tak perlu melakukan apa-apa agar kalian tertawa. Apapun yang kukenakan selalu salah tanpa kusengaja. Gaya bicaraku yang terbata-bata semakin membuat kalian tertawa. Mungkin kalian lupa aku manusia yang tiga dimensional, bukan hanya bahan baku percakapan dan bercandaan.
Aku tak pernah diajarkan bagaimana harus membela diri. Mau melapor pada siapa? Toh akan ada cap ‘pengecut’ yang melayang padaku jika berani buka suara. Melapor pada orangtua bukan opsi karena aku tak mampu menceritakan mereka kata-kata yang kalian pakai untuk mendefinisikanku.
Aku diam saja, bukan berarti yang kalian lakukan menyenangkan. Kurasa semua anak yang pernah di-bully tahu rasanya menerima gencetan dan cuma bisa diam. Tak ingin memperparah keadaan, kami lebih memilih menghindar.
ADVERTISEMENTS
Tenang, aku tak menulis ini agar kau mengaku menyesal. Niatku sederhana: aku tak mau ini terulang.
Mungkin memang tertawa atas kesusahan orang lain adalah kecenderungan anak kecil. Kita belum mengerti bahwa setiap kata dan perbuatan punya konsekuensi — termasuk menertawakan orang lain dan mem-bully. Kau dan teman-temanmu menggencetku karena tak sadar itu menyakiti. Kalian tak pernah mengkalkulasi bahwa efeknya masih terasa sampai saat ini.
Aku tak datang untuk memaksamu mengaku menyesal. Niatku lebih sederhana, aku hanya tak mau kembali jatuh korban. Bahkan setelah lulus sekolah kita bisa mempermalukan dan mem-bully orang. Menyebarkan kebohongan dan membicarakan teman kuliah atau kantor di belakang. Cukuplah aku saja yang pernah kalian perlakukan seenaknya. Pada orang lain, semoga kalian bisa lebih dewasa.
ADVERTISEMENTS
Aku bukan anak yang sama yang dulu pernah takut pada kalian. Kita setara, dan aku lebih berharga dari opini mereka yang bukan siapa-siapa
Sudah lama kita tak bertemu. Aku tak lagi mirip anak kecil yang pernah kalian kenal — tak ada rambut yang pernah kalian jadikan bahan bercanda, gaya bicara yang culun dan terbata-bata, atau jerawat di wajah yang dulu selalu datang tanpa diduga. Anak yang kalian cap “sok” atau “aneh” sudah hilang karena mendewasa. Dan aku yang sekarang, sama sekali tak takut pada kalian.
Untuk waktu yang lama kalian memengaruhiku. Namun tidak kali ini, tidak untuk sedetikpun lagi.
Kini aku tahu resep untuk menjadi kuat tak peduli ujian apapun yang tiba. Saat orang lain mengatakan hal terburuk tentangmu, buktikan bahwa mereka opini mereka sama sekali bukan fakta. Yang orang lakukan padamu tak perlu membuatmu merasa tak berdaya. Kamu lebih berharga dari opini mereka.
Jangan tanyakan soal maaf karena aku tak ingin memberinya. Yang bisa kuberikan adalah rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Terima kasih telah mengajarkan bahwa aku lebih berharga dari opini mereka yang bukan siapa-siapa.
Tapi cukuplah aku saja yang kau beri pelajaran ini. Tolong, jangan diulangi lagi.
ADVERTISEMENTS