Menengok ke belakang, dunia terasa sangat mudah dan indah dilihat dari kacamata anak-anak. Tak ada tuntutan-tuntutan yang menekan ataupun beban pikiran yang membuat hidup terasa lebih rumit. Tak perlu khawatir apa yang dipikirkan orang, karena bahkan kamu tak tahu bahwa orang lain terkadang suka berkata-kata di belakang. Mau ini dan itu tinggal minta, perkara dituruti atau tidak bisa diurus nantinya. Mungkin karena ini, banyak rencana yang begitu mudah dibuat saat kita masih kanak-kanak dan remaja.
Rencana tinggal rencana. Menjalani hidup orang dewasa, pola pikir harus diubah sepenuhnya. Ini dan itu harus dipikirkan dengan matang-matang, agar kamu tidak mendapat kecaman “Dewasa dikit dong! Jangan kayak anak-anak”. Kini kamu percaya bahwa seharusnya memang selalu ada plan B. Agar bila sebuah rencana tak sesuai ekspektasi, kita tak terlalu larut dalam kejatuhan diri. Bila kamu tahu menjadi dewasa akan seberat ini, barangkali kamu berpikir untuk selamanya menjadi anak-anak. Sabar ya, semua orang pasti mengalaminya.
ADVERTISEMENTS
1. Masa kecil semuanya terlihat mudah. Cita-cita, karier, keuangan dan cinta semua bisa disusun dengen sempurna
Masih ingatkah saat di bangku SD atau TK kamu ditanya guru cita-citamu apa? Dengan percaya diri kita menjawab lantang. Dokter! Insinyur! Guru! Polisi! Tak ada ragu sedikitpun, meskipun bila ditanya bagaimana mencapai itu kita juga tak tahu. Berkembang sedikit di masa remaja, soal cinta mulai dirasakan. Pacar yang dimiliki sekarang diharap bisa berlanjut terus sampai ke pelaminan. Barangkali karena itu tak ragu memakai panggilan mesra Papa-Mama atau Ayah-Bunda meski baru dua minggu bersama.
ADVERTISEMENTS
2. Kenyataannya kehidupan ideal hanya ada dalam to-do-list yang usang. Memasuki usia dewasa, segalanya lebih absurd dari yang kamu kira
Menjadi dewasa, maka kita harus siap mengucapkan selamat tinggal atas segala sesuatu yang pasti-pasti saja. Cita-cita yang kamu ucapkan dengan lantang terkadang harus dilupakan karena kenyataannya memang tak sejalan. Segala to-do-list yang kamu buat semasa kanak-kanak dan remaja mendadak tampak begitu naif. Di dunia orang dewasa, ada banyak bahan kegalauan yang harus kamu pikirkan. Mulai dari pekerjaan, cita-cita, pendidikan, gaji, hingga percintaan. Semuanya minta dipikirkan, dan inilah yang namanya galau betulan.
ADVERTISEMENTS
3. Rencanya usia 25 kamu sudah mandiri secara finansial. Tapi nyatanya punya uang sendiri tak berarti bisa beli apa saja yang diinginkan
Dulu waktu kecil ingin segera menjadi dewasa. Lulus kuliah, bekerja, dan jadi orang kaya. Ya kalau tidak kaya, setidaknya bisa punya uang sendiri sehingga mau apa-apa tidak perlu memberatkan orang tua. Pasti senang kalau bisa beli apa-apa dengan uang sendiri.
Sekarang? Meski sudah bisa mengisi ATM dengan jerih payah sendiri, kamu masih saja keteteran mengatur uang hingga akhir bulan. Untuk memberi sesuatu kepada orang tua pun kamu harus mengetatkan dompet dengan ekstra. Apa kabar beli kopi lima puluh ribuan setiap pagi hari seperti di tayangan-tayangan televisi? Sudah lupakan saja.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
4. Menggeluti hobi, traveling keliling dunia, dan banyak hal yang ingin dilakukan. Nyatanya, kamu hanya terjebak di balik meja kerja seharian
Ingin traveling keliling Indonesia, ingin kursus musik, ingin belajar diving atau snorkeling, ingin ikut kegiatan kemanusiaan, dan ingin melanjutkan pendidikan. Coba buka kembali agenda lama, ada berapa banyak daftar keinginan yang kamu catat di sana? Dan ada berapa yang sudah kesampaian? Sedih rasanya kalau mengingat begitu banyak hal yang ingin dilakukan, tapi kenyataannya kamu terjebak di balik meja kerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu. Akhir pekan tepar dan hanya tidur seharian. Wishlist yang kamu susun pun hanya sekadar wacana, yang tak tahu kapan akan kesampaian.
ADVERTISEMENTS
5. Menikah selepas kuliah dan menjadi orang tua di usia muda? Ha! Kamu bahkan tak punya waktu untuk memikirkannya
Ah, soal asmara adalah lagu lama. Mungkin terlalu mendalami saat nonton film-film Walt Disney dengan kalimat “happily ever after”nya yang legendaris, kamu pun mengharap sebuah kisah cinta yang manis dan bahagia selamanya. Lama kelamaan kamu sadar bahwa menemukan satu orang yang cocok dengan segala persamaan dan perbedaannya bukanlah hal yang mudah. Apalagi waktumu sudah habis untuk pekerjaan dan mengejar cita-cita. Prioritas nikah muda dan mencari pasangan menghilang entah ke mana.
6. Menjadi dewasa, bahagia tak pernah lagi sederhana. Tuntutan hidup yang tak karuan banyaknya, membuat senang-senang selalu tertunda
Bahagiamu di waktu kecil sebatas bertemu sahabat di sekolah. Atau saat orang tua pulang kerja membawa oleh-oleh. Atau bisa juga saat nilai ulanganmu mengungguli semua orang. Atau bisa juga saat gebetan melempar senyum yang tak jelas maknanya apa. Di usia dewasa bahagia tidak lagi sederhana. Kamu pun mulai memahami bahwa senang dan bahagia terkadang berbeda. Punya pekerjaan bagus, keuangan cukup, dan kisah cinta yang manis pun belum tentu membuatmu merasa bahagia.
7. Banyak hal yang tak sesuai ekspektasi. Namun tak perlu menyerah, justru itu yang menguatkan diri sendiri
Katanya usia dewasa karier sudah harus matang, tapi ternyata kamu masih terkatung-katung dalam kebimbangan. Rencananya umur 25 sudah bisa mencicil rumah dan membelikan ini itu untuk ortu, ternyata untuk biaya hidup sendiri saja masih belum purna. Rencana nikah mudah mentok pada fakta bahwa jodohnya belum ada.
Di usia dewasa, kamu bukan hanya harus hafal rumus jarak dan percepatan untuk lulus ujian. Kamu butuh skill-skill lain yang tidak diajarkan di bangku sekolahan. Skill untuk tetap waras saat dunia terlampau menekan dan juga skill untuk berdamai dengan realita yang terkadang membuat gila. Kamu akan menemui banyak hal yang tak sesuai ekspektasi. Tapi bukankah kehidupan memang seseru itu?
Mendapati satu hal melenceng dari perkiraan memang menyakitkan. Membuat kita gugup, terpuruk, dan sejenak tidak tahu harus melakukan apa. Tapi percayalah bahwa itu hal yang biasa. Menjadi dewasa, persoalan memang jauh lebih rumit daripada soal matematika dan fisika.
Ada prinsip ekonomi tingkat lanjut yang harus dipahami agar gaji yang tak seberapa bisa ditabung supaya bisa membahagiakan orang tua. Ada ilmu psikologi yang harus dikuasai untuk mencari pasangan yang tepat atau sekadar menghibur sendiri saat pertanyaan “kapan nikah” semakin sering menghampiri. Dan yang paling bahaya tentu kegalauan menentukan arah. Tapi ingat, setiap kali bertemu jalur yang salah, ingat bahwa kamu sudah selangkah lebih dekat dengan apa yang kamu cari selama ini.