Dear diriku yang dulu, sudah belasan tahun berlalu, ada begitu banyak hal yang ingin kubagi denganmu.
Dulu saat usia kita bisa dihitung dengan jari, ada banyak rasa kesal dan jengkel yang kita rasakan. Ini itu dilarang dan semua serba dibatasi. Mungkin saking sebalnya kepada orangtua, kita pernah menduga bahwa kita anak tiri. Lantas, kita pun mulai memandang jauh ke depan. Bercita-cita segera menjadi orang dewasa, sehingga kita tidak lagi diatur-atur lagi.
Sekarang aku sudah di sini. Menapaki setiap momen dalam kehidupan yang dulu kita idam-idamkan. Merasakan rasanya dianggap oranng dewasa, yang mana pendapatnya selalu didengarkan. Sekarang tak ada lagi yang mengataiku “Anak kecil nggak usah ikut-ikutan!”. Tapi apakah semua seindah yang dulu kita bayangkan? Ternyata tidak. Ada banyak tahap di mana aku merasa menjadi dewasa adalah cara hidup yang “salah”. Ada banyak momen yang membuatku merasa ingin kembali menjadi dirimu. Karena, ternyata menjadi dewasa tidak semudah itu.
ADVERTISEMENTS
Dulu kita boleh bertanya apa saja dan nggak dianggap aneh. Kini aku lebih banyak menyimpan tanya supaya dianggap normal
Ingat tidak saat dulu segala hal terasa membingungkan buat kita? Lantas kita pun merepotkan banyak orang dengan bermacam-macam pertanyaan. Dari yang umum sampai yang super aneh sehingga orang bingung. Tak ada yang keberatan, semuanya menganggap kita lucu dan menggemaskan. Sekarang, isi pikiranku masih sama ruwetnya. Ada banyak tanya yang tersimpan di sana, tapi sulit untuk bisa diutarakan tanpa harus dianggap aneh oleh orang-orang dan di-judge yang bukan-bukan.
ADVERTISEMENTS
Dulu saat ada masalah, tinggal mengadu pada orangtua. Kini membicarakan sutuasi dan kondisi harus disaring-saring dulu infonya
Dulu seberat-beratnya masalah paling hanya soal keisengan teman yang kelewatan. Atau sedih saat kita tak bisa mendapatkan mainan yang kita inginkan. Tapi itu semua mudah, sebab segala persoalan yang kita hadapi entah jengkel, sedih, bahkan sakit, kita tinggal mengadu pada orangtua. Sementara saat ini, dengan sedih harus kukatakan bahwa menyampaikan kabar pada orangtua harus dipilah sedemikian rupa. Sebab menjadi dewasa, ternyata memaksa kita untuk pandai-pandai menyimpan persoalan agar orangtua tak ikut cemas berlebihan.
ADVERTISEMENTS
Dulu kita sempat sebal pada teman yang semena-mena. Tapi percayakah kamu bila pertemanan di usia dewasa jauh lebih rumit dari yang pernah kita bayangkan?
Masih ingat tidak dengan anak cowok sok preman yang kita benci? Atau anak cewek yang begitu menyebalkan sehingga kita memutuskan untuk tidak mau lagi main dengannya? Ya, pertemanan dulu begitu murni dan polos. Tak perlu segan berkata tak suka jika memang tak suka. Sekarang? Sayang sekali, ada banyak hal yang kita pertimbangkan untuk tetap memasang sikap manis meski di belakang rasa jengkel seperti sedang kayang. Betul, di usia dewasa, aku juga harus pandai-pandai memasang poker face demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENTS
Dulu kita begitu jemawa bermimpi setinggi-tingginya. Kini membuat cita-cita pun harus ditahan agar tak dianggap “mimpimu ketinggian!”
Dulu kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan mau jadi apa kalau sudah besar. Guru! Dokter! Polisi! Pengacara! Presiden! Tak pernah terbersit di pikiran bahwa profesi-profesi keren itu butuh perjuangan berat. Alangkah ironis, bila kini setelah dewasa aku justru tak tahu mau jadi apa. Setiap cita-cita yang muncul di kepala, dibarengi dengan berbagai pertimbangan akan risiko. Ketinggian nggak ya? Emangnya aku mampu? Ah, tapi aku nggak bisa ini dan itu. Bingung!
ADVERTISEMENTS
Dulu kita begitu menunggu momen bisa memutuskan sesuatu sendiri. Kini, momen pengambilan putusan selalu mengerikan
Dulu segalanya diatur dan ditentukan oleh orang-orang dewasa yang sudah berpengalaman. Bahkan termasuk mau tidur jam berapa. Bisa tidak sih, kita memilih sendiri mau ngapain?? Entah sudah berapa lama momen itu berlalu, tahu-tahu kita sudah berdiri di sini dengan segepok tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang hidup kita sendiri. Orang lain mungkin bisa memberitahu ini dan itu, tapi tetap saja segalanya ada di tanganmu. Pada akhirnya aku menyadari, bahwa mengambil keputusan adalah posisi tak enak yang penuh dengan tanggung jawab besar.
ADVERTISEMENTS
Dulu masalah kita adalah masalah semua orang. Kini aku sadar, bahwa pada akhirnya kita harus berjuang sendirian
Dulu kita terbiasa menyerahkan segalanya pada orang dewasa. Yah, terkadang kita memang melakukan kesalahan yang merugikan. Tapi tak apa-apa, karena ada orangtua atau kakak yang akan membereskan. Sekarang setelah dewasa, segala persoalan kita tanggung sendiri. Setiap hal yang kita lakukan harus dipertanggungjawabkan sendiri. Setiap persoalan menuntut kita selesaikan sendiri. Setiap kesulitan harus kita lewati, tanpa bisa berharap waktu akan menyelesaikannya sendiri. Pada akhirnya, kita harus berjuang sendirian.
Dear diriku yang dulu, menjadi dewasa ternyata jauh dari yang kita bayangkan. Ada banyak momen yang kita sesalkan. Terutama saat kita mengutuk keputusan bodoh yang kita lakukan. Kita membuat kesalahan, kita mempermalukan diri sendiri, kita menangis dan menyesali, namun dari sanalah kita terus memperbaiki diri. Terima kasih atas segala proses yang sudah kita lalui bersama-sama. Meski sulit, tapi kita pasti bisa 🙂