Berita tentang anggota parlemen Islandia menyusui anaknya di atas podium beberapa bulan lalu, sontak membuat banyak orang Indonesia geleng-geleng kepala. Pemandangan itu mungkin tergolong aneh bagi sebagian orang Indonesia yang kurang terbiasa dengan budaya menyusui di depan publik. Mungkin kalau itu terjadi di Indonesia, hal itu bisa menjadi perdebatan panas di sejumlah media justru meributkan pantas atau tidaknya ibu yang menyusui di depan publik. Sama sekali gagal melihat gambaran positif yang lebih besar. Yakni bagaimana di negara seperti Islandia, berkeluarga dan menjalankan peran sepenuhnya sebagai ibu tak lagi jadi hambatan untuk perempuan berkarier setinggi-tingginya.
Zaman sekarang sudah tak seharusnya peran perempuan dibatasi hanya di dapur, sumur, dan kasur. Meski tentunya tak serta merta perempuan Indonesia harus seperti ibu parlemen Islandia yang nyaman saja menyusui di podium, tapi seharusnya upaya untuk terus mendukung peran ganda perempuan masa kini sebagai profesional dan ibu harus terus digiatkan. Biar lebih banyak perempuan Indonesia yang bisa memaksimalkan potensi diri tanpa harus terhenti karena merasa tak bisa jadi ibu yang baik.
ADVERTISEMENTS
Selalu jadi negara terdepan perihal kesetaraan gender, banyak pemimpin perempuan bermunculan di negara Skandinavia ini. Perempuan bisa berkarier di level tertinggi karena tak pernah merasa terhambat jalankan peran lainnya di rumah
Unnur Bra Konradsdottir (42) – anggota parlemen Islandia, membuat netizen dunia geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, foto dan video dirinya tengah menyusui di atas podium menjadi perbincangan hangat di sejumlah negara. Kronologi kejadiannya adalah Unnur yang tengah menyusui bayinya tiba-tiba dipanggil untuk naik ke atas podium. Khawatir sang bayi yang baru berusia 6 minggu itu akan menangis jika dilepaskan dan mengganggu jalannya rapat penyusunan undang-undang, maka ia memutuskan untuk membawa serta bayinya ke atas podium sembari menyusuinya.
Dengan santainya Unnur berpidato tentang rancangan undang-undang imigrasi sembari menyusui. Tidak ada protes yang keluar dari mulut para anggota parlemen lainnya. Peserta rapat nampak biasa saja menyaksikan pemandangan Unnur yang tengah menyusui. Tidak ada bahasan apalagi perdebatan setelahnya terkait pemandangan tersebut. Seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Ini adalah bentuk penerimaan tertinggi dari peran perempuan sebagai profesional dan ibu. Dari peraturan yang memperbolehkan bawa anak ke tempat kerja sampai sikap masyarakat yang tenang-tenang saja tanpa stigma negatif atau judging ketika perempuan memang harus menyambi pekerjaan dengan tugas utamanya membesarkan anak-anaknya.
ADVERTISEMENTS
Jadi ibu menyusui yang berkarier di Indonesia juga bukan lagi hal yang mustahil. Tapi ya harus pintar cari tempat untuk pompa ASI di kantor demi kebutuhan buah hati
Berbeda dengan di Islandia, jangankan menyusui anak saat tengah kerja, membawa anak ke tempat kerja saja sudah menjadi hal yang mustahil. Untuk menyiasati itu, banyak dari ibu muda yang masih dalam masa menyusui akhirnya menyetok ASI dalam freezer agak kebutuhan sang buah hati tetap terpenuhi meski sibuk di kantor. Memompa ASI juga bukan perkara mudah bagi ibu-ibu yang harus segera kembali bekerja. Belum tentu kantornya ada ruang khusus untuk memompa dengan nyaman. Apalagi mereka yang masih berpikiran sempit memandang ibu-ibu karier yang harus memompa ASI secara berkala di kantor itu bukti bahwa memang perempuan itu tidak kompeten dan sudah seharusnya tinggal saja dirumah bersama anak.
Tentunya memberi ASI lewat botol tanpa bisa mendekap buah hati, bukanlah pilihan ideal untuk ibu yang sedang menyusui. Selain kualitas ASI yang tidak sebaik jika langsung diminum, ibu juga kehilangan momen intimasi dengan buah hati ketika tidak menyusui langsung. Tapi itu pengorbanan yang harus dilakukan sebagian besar perempuan Indonesia yang tetap ingin berkarier. Alangkah baiknya jika mulai sekarang dukungan untuk ibu menyusui yang berkarier ditingkatkan. Dari akomodasi di kantor sampai yang paling sulit mungkin untuk mengubah stigma negatif tentang menyusui di tempat kerja.
ADVERTISEMENTS
Beruntung jika ada orangtua dan mertua yang bisa membantu. Atau bisa perkejakan nanny maupun day care yang harganya makin melangit. Sayangnya pilihan terakhir  yang paling memungkinkan masih tetap resign
Disamping pasokan ASI, ibu-ibu menyusui pastinya juga dibikin pusing tujuh keliling perihal siapa yang bisa menggantikan perannya menjaga buah hati ketika mereka pergi bekerja. Orangtua atau kerabat yang terpecaya sudah pasti jadi pilihan pertama, tapi tentunya tak semua orang beruntung punya keluarga yang tinggal berdekatan. Pilihan untuk kembali merepotkan orangtua tentunya juga tidak mudah, terutama ketika kalian sudah seharusnya mandiri. Pilihan kedua tentunya menyewa jasa profesional nanny atau suster yang seiring meningkatnya ibu karier, tarifnya makin meroket. Day care yang harganya juga tidak murah, juga tak tersedia di banyak tempat.
Tapi bagi pasangan yang tak bisa memiliki ketiganya, satu-satunya pilihan yang paling memungkinkan adalah sang ibu untuk mengundurkan diri. Nah disinilah pemerintah maupun pihak kantor bisa berperan memberikan sedikit keringanan bagi ibu-ibu berkarier. Baik dalam bentuk subsidi untuk menyediakan lebih banyak fasilitas day care yang terjangkau atau justru di kantor itu sendiri. Jika begitu pasti akan lebih banyak perempuan Indonesia yang bisa berkarya.
ADVERTISEMENTS
Tapi kalau memang ibu menyusui itu seharusnya tetap dekat dengan buah hati di rumah, semestinya masa cuti pun mutlak di perpanjang. 3 bulan itu terlalu singkat untuk penuhi kualitas ASI eksklusif
Jika saja Indonesia menerapkan cuti melahirkan yang lebih dari 3 bulan, tentu para ibu yang bekerja tak perlu repot-repot menabung ASI di masa menyusuinya. Tentu ia akan menyusui anaknya dengan tenang di rumah, tanpa ada kewajiban untuk mengurusi pekerjaan di kantor. Sayangnya, Indonesia hanya menjatah karyawan perempuan untuk cuti melahirkan selama 3 bulan saja. Untuk pemulihan badan pasca melahirkan saja mungkin masih kurang, apalagi untuk menemani buah hati pada masa perkembangan pertamanya. Makanya berkeluarga dan punya anak, terutama masa-masa kritis seperti menyusui ini yang membuat banyak perempuan Indonesia akhirnya memutuskan berhenti kerja.
Padahal banyak langkah taktis yang bisa diambil berbagai pihak untuk meringkan beban yang dihadapi perempuan Indonesia. Misalkan lihatlah kebijakan cuti hamil dan menyusui di Swedia, pemerintahnya memberi cuti selama 480 hari atau lebih dari setahun untuk ibu hamil dan menyusui. Bahkan pria sekalipun punya izin cuti khusus untuk membantu istrinya menjaga anak selama kurang lebih dari dua bulan.
Hal ini terjadi karena semua orang yakin bahwa tugas membesarkan anak adalah tanggungjawab bersama, bukan hanya perempuan. Dibanding secara tidak langsung memaksa perempuan berhenti kerja atau bahkan menyurutkan minat perempuan masa kini yang takut kariernya terhambar untuk punya anak, mending semua pihak saling membantu menciptakan kondisi ideal agar perempuan bisa menjalankan keduanya. Jangan sampai deh perempuan-perempuan Indonesia jadi ‘ogah’ punya anak, rendahnya tingkat kelahiran juga bisa jadi masalah serius bagi perkembangan populasi seperti di Jepang yang masyarakatnya terus menua.
ADVERTISEMENTS
Tak mudah menjadi perempuan karier yang dihadapkan pada tanggung jawab sebagai ibu, tapi penting untuk tak menyerah. Bukan karena materi, tapi demi meningkatkan martabat perempuan di masyarakat
Menjalani dua peran sekaligus memang tak mudah, yakni menjadi perempuan karier sekaligus ibu. Belum lagi peranmu sebagai istri. Tapi tetap realistis untuk dijalani. Buktinya banyak perempuan sukses yang tetap menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Salah satunya ya Unnur Bra Konradsdottir tadi. Yang tetap memenuhi kewajibannya sebagai ibu sembari terus berkutat dengan pekerjaannya.
Bukan semata karena materi, mempertahankan karier juga demi kedudukanmu sebagai seorang perempuan. Bahwa perempuan masa kini yang sudah menikah, tak lagi berkutat di dapur, sumur, dan kasur saja. Mereka punya keluwesan untuk menjalani perannya sebagai istri, ibu, sekaligus perempuan yang bekerja. Dan keinginan untuk tak hanya berhasil sebagai seorang ibu tapi juga dalam kehidupan profesional, harusnya diapreasiasi sebagai pencapaian bukan keserakahan yang tak patut dikejar.