Bangun pagi di kotamu, Jakarta, adalah kegiatan yang selalu kuiringi dengan erangan panjang. Rasanya tak ingin cepat-cepat beringsut dari kamar; tapi aku tahu, kemacetan sudah menunggu jika aku tak mandi dan bersiap diri dengan buru-buru.
Pilihanku hidup di kotamu bukan tanpa sebab. Bagiku, pilihan ini memang terasa rasional. Kau menawarkan pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih menjanjikan dibandingkan kota asal; aku pun bisa mencari peruntungan di bidang yang tak tersedia di tempatku menempuh ilmu dulu. Cita-citaku memang besar — sebesar tantangan dan himpitan yang kau berikan padaku.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Setelah beberapa lama aku di sini, memahami jalananmu masih terasa sulit sekali. Semua yang tampak adalah deretan kendaraan tanpa ada habisnya.
Sekian waktu menjajal hari kerja, aku mulai pusing. Bukan hanya karena tekanan pekerjaan, namun juga karena kondisi jalan. Karena kepadatanmu yang terkenal, aku harus memulai aktivitasku dari pagi buta. Jika gagal bangun sebelum subuh, aku terancam terlambat masuk kerja. Maklum, aku tinggal di kawasan suburban yang cukup jauh dari tempatku bekerja.
Jalananmu, Jakarta, adalah labirin yang menyesatkan. Sekali salah putar, bisa rugi waktu sampai setengah jam. Yang secara logika seharusnya bisa ditempuh dalam 15 menit saja, membengkak jadi 1 hingga 1,5 jam. Aku sampai sekarang masih terheran-heran.
ADVERTISEMENTS
Persaingan di sini begitu ketat. Sikut-sikutan bahkan jadi pemandangan biasa.
Persaingan menjadi begitu biasa dalam perusahaan kami. Tak hanya antar perusahaan, pernah kutemui sesama kawan hingga bermain sikut-sikutan. Aku dapat memaklumi semuanya. Semua pekerja yang kutemui sama-sama berjuang mengejar target demi mengisi perutnya dan menghidupi seluruh keluarganya. Bukan perkara yang mudah memang. Kadang-kadang, aku sampai berpikir bahwa tak mungkin bisa jadi orang yang jujur dan bersaing secara sehat di ibukota.
ADVERTISEMENTS
Ah, kotamu begitu keras padaku. Hari libur saja aku bangun siang dan meringkuk di kasur.
Rutinitas harianku di Jakarta begitu kompleks. Aku memang diberi waktu berlibur pada Sabtu dan Minggu. Namun bukan tak mungkin jika atasan tiba-tiba meneleponku karena suatu urusan. Jika liburku tenang tanpa gangguan seperti itu, aku memilih untuk mengistirahatkan diri. Kusandarkan tubuh erat-erat pada kasur di lantai hingga aku lupa kalau terbangun di siang hari. Jam biologisku bisa begitu saja berubah di hari libur. Lalu apa yang bisa kunikmati? Mall terdekat adalah jawaban jika tak mau terjebak kemacetan lagi. Atau Puncak Bogor jika kawan mengajakku.
ADVERTISEMENTS
Waktuku habis karena kemacetan dan “menikmati” panas mentari. Tubuhku mudah sakit karena belum biasa hidup dengan tekanan setinggi ini
Sekadar pusing, masuk angin, atau flu sudah biasa untukku. Ini adalah konsekuensi yang harus kuambil ketika bekerja di Jakarta. Tapi kadang aku juga sampai tak kuasa menahan berat tubuhku. Seharian aku terbaring di kamarku yang mungil. Rupanya terlalu lelah, tapi beruntung tak perlu dilarikan ke rumah sakit seperti kawanku. Di saat-saat seperti inilah, aku paling merindukan sosok Ibu — yang selalu bisa dijadikan tempat bermanja-manja kala sakit.
ADVERTISEMENTS
Ingin rasanya kembali ke kampung halaman yang damai. Melihat kawanku yang sukses besar di daerah, aku sungguh tergoda.
Kalau sudah jatuh sakit seperti ini, aku rindu pada kampung halamanku. Kotanya tidak bisa disebut besar, tapi juga tidak terlalu kuno. Yang pasti, jauh lebih damai daripada Jakarta. Setelah merenung, ternyata banyak juga temanku yang sukses di kota kecil. Mereka tak lagi memikirkan persaingan, apalagi sikut-sikutan. Aku mulai meragu: apakah memang kerja harus di Jakarta?
Gaji besar dan jabatan memang layak dikejar. Namun begitu pula dengan kehangatan hati, dengan kemanusiaan
Jakarta,
Kalau harus jujur, begitu sulit untuk mencintaimu. Aku mulai ingin menyerah saja dan keluar dari tubuhmu. Aku mulai tak lagi betah dengan aneka kompleksitasmu. Aku rindu orang-orang dan nuansa yang memanusiakan manusia, layaknya kampung halamanku. Aku ingin kembali bekerja di kota kecil. Biarlah aku bergaji kecil, namun kebahagiaan bathinku berlipat-lipat. Toh aku tak perlu lagi merasa dikejar-kejar dan tak nyaman. Lebih tepat jika dikatakan kalau aku menginginkan hidup yang seimbang.
Namun aku masih harus menyelesaikan kewajibanku. Dan hingga selesai saat itu, aku akan belajar untuk mencintaimu
Pekerjaanku mewajibkanku untuk menyelesaikan target. Parahnya, target itu yang belum aku capai. Aku tidaklah sendiri. Ada sejumlah orang yang serupa denganku. Mereka harus menyelesaikan kontraknya dan lainnya lagi perlu menyelesaikan ikatan dinas. Sungguh beban yang berat ketika kami sudah tak nyaman lagi di sini. Tapi kami harus menunjukkan kedewasaan kami untuk menyelesaikan tanggung jawab. Dan inilah yang sedang kulakukan.
Tetaplah semangat kalian-kalian yang masih harus berjuang sepertiku! Kita lunasi dulu kewajiban ini sebelum meninggalkan Jakarta
Aku tahu aku tak sendiri. Aku punya kawan-kawan yang sudah lelah bekerja di ibukota. Entah itu lelaki, perempuan, tua atau muda. Alangkah baiknya jalankan kewajiban kita hingga tuntas. Menunggu sebantar lagi tak masalah jika menginginkan akhir yang indah. Alih-alih, kita dapat semakin mematangkan pengalaman dan menumpuk modal untuk kembali ke kampung untuk wirasawasta atau peralihan ke kantor baru.
Dan setiap paginya, tak akan pernah lupa kukatakan:
“Selamat pagi, Jakarta! Akan kutaklukkan dirimu sampai waktunya tiba!”