Artikel ini terinspirasi dari @hikmia_ pemenang hari 1 #30HariTerimaKasih Challenge. Hayo, sudahkah kamu cukup bersyukur hari ini?
Petang yang biasa menjelang berbuka. Kereta komuter yang sedang ditumpangi, juga jalanan sedang padat-padatnya. Apalagi penyebabnya jika bukan makin banyak orang yang terasa kerontang lehernya?
Pertanyaan-pertanyaan,
“Kapan sampai rumah nih?” ; “Sempat tarawih gak ya?”; sampai “Kenapa gue sial banget sih Tuhan?”
mulai bermunculan di kepala. Seakan kita jadi Hamba yang hari itu mendapat lotre status paling tidak beruntung sedunia. Ah, manusia. Kita hanya sering lupa — tidak ada kejadian yang berjalan tanpa makna. Sesungguhnya Tuhan selalu punya rencana.
ADVERTISEMENTS
Dalam petang yang penuh sesak Tuhan mengajarkan kita arti kebersahajaan. Dia hanya ingin kita menanggalkan rasa “paling” dalam banyak hal
Waktu kondisi semesta tidak mendukung keinginan serta merta ada rasa tidak terima muncul di dada. Tidak adil rasanya, kenapa kita harus dihadapkan pada keadaan yang mengambat langkah. Sementara banyak kewajiban yang sudah membuat lelah.
Dalam kondisi ini, rasa “paling” pun muncul dalam hati. Merasa paling sibuk, paling perlu didahulukan kepentingannya, sampai rasa paling untuk terus jadi prioritas pertama. Seakan hanya kepentingan kita yang jadi rotasi penggerak dunia, tak ada lagi hal penting lainnya.
Ditempatkan dalam kereta komuter yang penuh sesak, atau jalanan yang membuat kening kian berkerut — sebenarnya adalah jalan Tuhan untuk membuka mata.
Di ujung gerbong ada seorang wanita berusia 35-an dengan suite resmi menenteng keranjang belanjaan di tangan kanan-kiri. Berani bertaruh, pastilah berat harinya. Selepas kerja ia masih harus belanja, berjibaku di tengah kereta, kemudian memasak untuk buka keluarganya.
Pria muda berusia 20-an akhir dengan lengan kemeja tergulung yang tampak lelah juga menyimpan kisahnya. Presentasi pitching ideas yang disiapkan 3 malam suntuk ditolak klien. Proyek besarnya tahun ini gagal, tak ada lagi harapan membelikan mesin cuci baru sebagai hadiah Lebaran orangtua di rumah.
Jika memang kita percaya tak ada yang kebetulan, segala hal yang terjadi menyimpan pesan Tuhan yang ingin Ia sampaikan.
ADVERTISEMENTS
Sesederhana perjuangan yang tak layak dibandingkan — tidak ada ketangguhan yang perlu diumbar panjang lebar
“Aku ‘kan udah capek banget tadi seharian kerja.”
“Wajar dong kalau aku ngeluh, jalanan macet-pikiran penuh. Sumpek banget!”
Rasa sudah berjuang keras, anehnya, malah sering jadi legitimasi untuk mengeluarkan keluhan. Ketangguhan yang harusnya berarti menyimpan beban untuk diri sendiri kini berganti arti.
Ketangguhan yang dilakoni kini lebih sering harus diketahui dunia. Paling tidak rekan-rekan di dunia maya harus tahu betapa tangguhnya kita. Lewat random thoughts yang dibagikan di tengah-tengah kesibukan yang bejibun jumlahnya.
Padahal bukankah sesuatu yang tak lantang justru tidak reda-reda?
Ketangguhan dan perjuangan yang dilakoni dalam diam lah yang membentuk kita jadi sekuat-kuatnya manusia. Sementara usaha yang membuat kita berkoar ke mana-mana justru layak memancing tanya. Apa tujuannya? Ingin jadi lebih baik sebagai manusia, atau sekadar ingin cari perhatian saja?
ADVERTISEMENTS
Tuhan menunjukkan diriNya dalam banyak cara. Seringnya, kebetulan adalah caraNya muncul di tengah kita. Tanpa perlu menggunakan nama besarNya
Seperti Hikmia yang bertemu nenek berusia 107 tahun dengan segudang pengalamannya, kebetulan sesungguhnya tak lebih dari cara Tuhan untuk bergerilya. Tuhan yang baik hati tahu pasti, kita-kita ini masih sering kurang tersentil jika belum diberi bukti. Kita juga malah sering antipati jika digerakkan hatinya lewat cara-cara besar yang kurang sehari-hari.
Alhasil, Ia pun memasukkan diri dalam hal-hal sederhana yang sering kita temui. Pelajaran dari Nenek di kereta, tepukan hangat sahabat sebagai pengingat saat hendak berbuat nekat, sampai wajah orangtua yang muncul sekelebat saat kita kehilangan semangat.
Jika sudah seperti ini, bukankah tak ada kebetulan yang benar-benar terjadi? Semua hanya kepanjangan tanganNya — yang terlalu rendah hati hingga enggan menampakkan diri.
Terima kasih, Tuhan. Sekarang aku percaya,
“Coincidence is God’s way of being anonymous.”