Mungkin sederhana bila persoalan sehari-hari hanya sebatas ‘bad hair day’ saja. Tinggal ke salon, atau meluangkan waktu untuk mencari hairdryer dan sisir, masa persoalan selesai sudah. Namun hari-hari di kantor tidak melulu soal bad hair day. Ada hari-hari di mana kamu merasa segalanya menyiksa. Semangat bekerjamu entah lari ke mana, sementara itu masalah satu demi satu muncul minta untuk diselesaikan. Target yang masih jauh di angan-angan, sementara gaji yang diharap-harapkan sudah habis sejak pertengahan bulan. Semua hal yang bisa menyemangati tak bisa diandalkan lagi.
Setiap kali pulang ke rumah, pikiranmu diliputi pertanyaan: Apa sih yang sebenarnya kamu lakukan ini? Lalu disusul dengan kemarahan dan diakhiri dengan pikiran untuk mengundurkan diri saja. Mungkin pekerjaan ini memang bukan ‘kamu banget!’. Daripada terus-menerus tersiksa, lebih baik kamu resign dan mencari pekerjaan lain yang ‘kamu banget!’.
Tapi apa kamu sudah tahu apa pekerjaan yang kamu-banget itu seperti apa?
Ada masanya hari-hari di kantor terasa suram. Bangun pagi terasa begitu berat dan rasanya waktu berjalan ekstra lambat untuk mencapai weekend. Tapi jangan terburu-buru memutuskan. Karena mungkin sebenarnya kamu tidak perlu resign, hanya sekadar butuh liburan!
1. Namanya otak manusia pasti ada batasnya. Pikiran sudah buntu, membuatmu merasa tak mampu memenuhi target kerja yang diharapkan
Momen-momen kamu ‘merasa bodoh’ itu bukan hal yang tidak biasa. Ketika segalanya mulai menekan dan stres pun menghampiri, memang sulit untuk tetap fokus pada pekerjaan. Akibatnya apa-apa terlihat lebih sulit dari seharusnya. Di sini pikiranmu rawan buntu. Melihat target yang masih jauh di angan-angan sementara hari-hari terus bergulir, membuatmu makin panik.
Namun, bukankah otak manusia memang ada limit-nya? Ibarat komputer yang dipakai terlalu lama, mesinmu sudah mulai melambat dan harus dimatikan sebentar supaya bisa istirahat. Otakmu juga sama. Disiksa dan dipaksa memikirkan pekerjaan sekian lama, kini mulai kehilangan kemampuan maksimalnya. Terkadang kamu juga perlu menekan tombol restart, agar otak dan mood tidak sekarat.
2. Jangan coba-coba resign kalau kamu tak punya rencana jelas bagaimana nantinya menyambung hidup. 100% kamu hanya akan lebih dalam terperosok dalam penyesalan dan stres
Ketika keinginan untuk mengundurkan diri itu muncul, tanyakan pada dirimu sendiri: setelah ini, apa yang hendak kamu lakukan? Bila kamu sudah punya rencana yang matang atau sudah punya pelabuhan baru yang lebih baik, silakan saja. Namun bila kamu berpikir untuk mencari pekerjaan yang sama dengan level yang sama hingga penghasilan yang relatif sama, buat apa?
Bila kamu belum punya rencana apa-apa dan hanya berpikir bagaimana lepas dari segala masalah pekerjaan yang menderamu sekarang, apakah tidak bahaya? Kamu memang sedang stres dan tertekan. Tapi itu hal yang biasa terjadi. Jadi alih-alih mengundurkan diri, lebih baik kamu meliburkan diri. Ambil cuti, dan susun rencana liburan yang menyenangkan untuk mengembalikan kewarasan.
3. Jika kamu lelah luar biasa, merasa overload dan hampir gila itu wajar terjadi. Tak berarti kamu harus resign, ambilah cuti untuk pemulihan diri
Tapi gimana dong? Ini otak rasanya udah mau meledak! Capeeek banget sumpah! Stres!
Saat kamu merasa overload, siang dan malam memikirkan pekerjaan, hingga kamu merasa hidupmu sudah tergadaikan, wajar bila kamu merasa nyaris gila. Ini karena tubuh dan pikiranmu memang sudah lelah luar biasa. Kamu butuh jeda. Ibarat sedang menonton film yang terlalu berat, kamu butuh menekan tombol ‘pause‘ untuk istirahat sejenak dan nanti melanjutkan. Karena itu kamu butuh liburan. Siapkan surat cuti untuk dua atau tiga hari. Liburkan dirimu dari pekerjaan, dan nikmati hidup di luar sana. Ketika kembali nanti, mungkin pikiranmu sudah fresh lagi.
Namun di sini kamu juga tetap harus evaluasi diri sendiri. Pekerjaan yang menumpuk mudah membuatmu merasa overload, dan pada akhirnya membuatmu gila sendiri. Bila ini yang terjadi, mungkin kamu bisa menengok kembali bagaimana cara kerjamu selama ini. Barangkali ada cara yang perlu diperbaiki.
4. Rasa lelah dan putus asa terkadang membuat keputusan datang tanpa logika. Di saat-saat seperti ini jangan buru-buru tulis surat resign, kamu hanya butuh menenangkan diri
Merasa bodoh, merasa tidak mampu, merasa kewalahan, dan merasa tersiksa oleh beban pekerjaan sering memicu kemarahan dalam diri. Rasa tertekan dan jenuh itu membuat semangat menghilang dan emosi memburuk. Karena inilah kamu terpikir untuk berhenti saja supaya penderitaan ini berakhir. Tapi tolong jangan dulu buru-buru mengambil keputusan. Orang bilang keputusan yang diambil saat jatuh cinta atau saat sedang marah adalah keputusan yang berbahaya. Tentu karena keputusan yang diambil hanya berdasarkan emosi sesaat biasanya akan disesali.
Saat pikiranmu mulai kacau dan emosimu mulai naik turun tak karuan, itu tanda bahwa kamu harus menenangkan diri. Lagi-lagi, mengambil liburan adalah solusi yang paling masuk akal. Sebentar mengundurkan diri dari pusingnya pekerjaan, akan membantumu menenangkan diri sekaligus mengambil jarak. Sehingga keputusan apa pun yang kamu ambil nanti, tidak akan kamu sesali di kemudian hari.
5. Meskipun kamu jadi direktur utama sekalipun, hari-hari buruk itu pasti masih tetap ada. Tapi percayalah bahwa dengan menyelesaikan masalah satu per satu, harimu akan terus membaik
Apa yang kamu harapkan dari niat mengundurkan diri ini? Toh, di manapun kamu bekerja dan apapun posisimu di perusahaan, hari-hari buruk yang dipenuhi masalah itu tetap ada saja. Memiliki posisi tinggi tidak berarti membuatmu terlepas dari segala omelan atasan yang menyebalkan. Justru semakin tinggi jabatan semakin berat pula persoalan dan tanggung jawabmu.
Lagipula, bukankah ini ujian dari profesionalitas yang kamu agung-agungkan itu? Bila kamu membiarkan masalah semacam ini membuatmu mundur dari perusahaan, apakah jika di kemudian hari masalah yang sama datang, kamu akan mundur lagi? Tidak ada masalah yang datang sia-sia. Seiring kamu mencari jalan keluar untuk persoalan, skill dan kemampuanmu juga pasti berkembang. Jadi, sabar-sabarlah dulu ya.
6. Rasa jenuh dan bosan itu pasti terjadi dalam pekerjaan apapun. Meski sudah berada di karier impian, mimpi pun akhirnya jadi rutinitas yang seringkali membuatmu bosan
Bila kita bekerja di luar passion, tertekan dan stres memang lebih rawan datangnya. Bosan dan jenuh akan sering mendera karena yang kamu jalani bukanlah hal-hal yang disukai, apalagi hobi. Namun, bukan berarti bila bekerja di bidang yang disukai atau sesuai dengan passion, membuatmu terhindar dari jenuh dan bosan untuk selamanya. Tetap saja akan datang momen-momen yang membuatmu tersiksa.
Entah itu karena klien yang seenaknya atau atasan yang menyebalkan, hal-hal menyebalkan itu tetap saja ada. Mengurusi hal yang sama setiap hari juga bisa membuatmu bosan, sesuka apapun kamu pada apa yang kamu lakukan. Sama seperti sebuah hubungan, bukan? Secinta apapun kamu padanya, tetap saja ada momen-momen sulit, entah karena bosan atau masalah yang silih berganti datang, yang membuat hubungan terasa sulit dilanjutkan.
Masa-masa menyebalkan dalam pekerjaan itu sudah pasti ada. Bukan hanya karena atasan yang tak berhenti mengomel ataupun klien yang suka seenaknya, tapi juga karena semangat kerja yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Momen-momen semacam itu adalah tanda bahwa kamu mendekati limit-mu. Bukan untuk berhenti selamanya, tapi untuk istirahat sebentar. Karenanya, jangan terburu-buru mengetik surat resign. Lebih baik tulis surat cuti, dan pergilah liburan. Siapa tahu setelah ini, mood-mu yang hilang itu kembali lagi.
Memang begitulah khas generasi millennial. Mudah bosan dan mudah membuat keputusan yang spontan. Sabar dulu, karena emosi hanya akan merugikanmu.