Memasuki gerbang usia 25 tahun, bukan lagi perkara senang dan bagaimana merayakan. Malah berada di usia seperempat abad ini, begitu banyak daftar tuntutan yang harus segera dituntaskan. Tak hanya dari orangtua atau orang terdekat lainnya, melainkan dari diri sendiri juga. Mencoba menelaah lagi arti mimpi, dan apakah semua itu benar-benar mampu terealisasi di usia ini.
Bagi kami yang menjalaninya usia 25 tahun memang sama sekali bukan hal gampang.
“Diii, kamu besok ulang tahun kan? Asyik traktiran.”
“Iya, umur 25.”
“Ngapain sedih?”
“25 tahun Ndin, dan aku belum apa-apa. Siapa nggak sedih? Thesis belum kelar, habis ini mau kerja apa juga nggak jelas, nikah juga sama siapa, aaaarrrggghhhhh…”
Lalu, inilah yang sedang kami lakukan untuk menentukan arah hidup memasuki gerbang usia 25…
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Di usia 25 kami dituntut untuk sudah mandiri secara finansial. Padahal memutuskan mau kerja atau usaha saja kami belum paham
Memasuki usia 25, sebuah kesadaran tiba-tiba menghampiri kami. Ya, hingga akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa hidup ternyata tidak semulus bayangan masa muda dulu. Tak jarang, di usia 25 ini kami baru saja akan diwisuda. Entah baru lulus di jenjang pertama atau bahkan kedua. Tibalah kami menentukan arah hidup ini mau dibawa kemana. Setelah terseok-seok menyelesaikan studi, kami seolah tak boleh beristirahat untuk sejenak saja. Jujur, beberapa dari kami masih tak tahu mau bekerja atau malah membuka usaha.
Kami ingin jadi anak yang bisa membahagiakan kedua orang tua. Tentu saja, dengan membuktikan jika ilmu dari segala bangku sekolah selama ini tak sia-sia. Kami janji untuk berupaya sekuat tenaga demi menjadi versi baik dari seorang manusia. Tapi Ayah Bunda, di titik ini kami baru sadar, bahwa pendidikan tinggi sekalipun tak mampu menyelamatkan kehidupan kami setelahnya. Semua bergantung usaha.
ADVERTISEMENTS
Setelah tahu mau bekerja atau malah usaha, kami bingung ingin berkecimpung di bidang apa. Pertanyaannya, passion terbesar kami itu apa?
“Ciyeee sebentar lagi wisuda, pengen kerja apa nih habis ini?”
“Pengennya yang sesuai passion. Tapi aku bingung passionku sebenarnya apa.”
“Lhah? Bukannya kamu suka ngedesain baju-baju gitu, jadi asisten desainer aja.”
“Aku kan juga suka masak Ndin, aku mau les-les masak gitu habis ini. Tapi aku juga suka nulis, duh bingung.”
Passion, satu kata yang mampu memunculkan beragam bayangan di pikiran manusia. Wajarnya seseorang ingin sekali menemukan passionnya sebelum mencapai usia 25. Akhirnya demi mengetahui the so called passion itu, kami rela menggali hobi, ikut beragam komunitas, sampai bergaul dengan beragam kawan. Demi mengetahui sejatinya hal apa sih yang bisa menghadirkan hasrat dalam diri kami. Tapi, tak sedikit dari kami yang malah semakin bingung pasca melakoni segala aktivitas itu.
Hingga akhirnya kami mencoba melamar kerja yang berhubungan dengan hal-hal yang kami sukai. Siapa yang menerima lebih dulu, itulah yang akan kami jadikan batu loncatan. Pun begitu bagi kami yang lebih memilih membuka usaha. Berganti-ganti usaha sudah sering kami jalani, hingga orang-orang semakin meremehkan. Apa salah di usia segini masih mencari jati diri? Betapa beruntungnya kamu yang di usia 25 sudah bekerja sesuai hati, atau punya usaha yang dengan riang kamu ‘garap’ setiap hari.
ADVERTISEMENTS
Katanya disuruh mandiri, tapi orang tua terus saja mencampuri arah hidup kami. Apa iya kami harus kompromi?
Apa benar segala hal pasti bisa dikompromikan dan ada jalan tengahnya? Pasca lulus SMA beberapa tahun lalu misalnya, kami ingin mengambil jurusan X saat kuliah, orang tua merajuk ingin kami mengambil jurusan Y, kami pun mengalah. Pasca lulus S1, kami ingin bekerja dulu barang sebentar, orang tua kembali menuntut ingin kami sekolah lagi ke jenjang selanjutnya. Kami pun menurut.
Lalu setelah ini, kami akan menjadi apa, apakah ditentukan juga oleh orangtua? Tak bolehkah kami sekali ini saja menentukan arah hidup yang kami kehendaki. Katanya mendesak kami untuk menjadi dewasa, bukankah sudah selayaknya arah hidup kami sendiri yang memutuskannya. Pasca S2, mereka meminta kami menjadi dosen misalnya, padahal kami sama sekali tak berminat pada dunia pendidikan formal. Ah, bolehkah sekali ini saja, kalian menyerahkan keputusan di tangan kami?
ADVERTISEMENTS
Kehilangan kawan yang memang tak sejalan bukan lagi hal berat yang kami rasa. Pertemanan berubah, dan ini biasa
Terlepas dari urusan pendidikan, pekerjaan, dan passion, ada satu hal lain yang baru kami sadari. Jika dulu kami bangga memiliki kawan banyak yang tersebar dimana-mana, kini yang terjadi malah sebaliknya. Di tahap ini, beberapa dari kami malah sengaja menarik diri dari lingkaran pertemanan. Karena ada pikiran atau visi misi yang tak sejalan. Untuk apa berteman dengan orang yang tak pernah memberi dukungan, malah sibuk mencemooh gara-gara dipandang belum ada pencapaian.
Memahami lingkaran pertemanan makin menyempit dari hari ke hari, kami pun rela sepenuh hati. Kesepian memang hadir sebagai hal baru yang menyapa, sejak itu pula kami sadar siapa sesungguhnya yang pantas dihargai sebagai kawan sejati. Bagaimanapun, tak ada yang abadi, dan manusia akan “pulang” sendiri. Jadi, apa yang salah dengan sendiri dan apa yang kudu ditakutkan?
“Kamu kok pilih-pilih kerjaan sih Dil, mau nganggur sampai kapan?”
Teman model begini apa layak dipertahankan??
ADVERTISEMENTS
Sampai di usia ini menikah bukan cuma soal harus menikah karena sudah umurnya. Tapi karena merasa “klik” dan memang ingin berhenti
Usia tak lagi jadi patokan kami melangsungkan pernikahan. Walau ada desakan disana-sini, kami tak mau ambil pusing lagi. Kami pun sudah mulai memahami arti cinta dan jodoh seperti apa yang layak menua bersama. Berhubungan lebih dari lima tahun bersama pasangan sekarang juga bukan jaminan bahwa dialah yang akan duduk mendampingi di pelaminan.
Kami berjanji pada diri sendiri, tak akan menikah hanya karena sudah malas mencari dan takut menyakiti pasangan saat ini. Lebih dari itu, kami akan menikah, hanya karena merasa sudah waktunya berhenti. Tak peduli usia sudah lebih dari 25. Tak dosa juga kan jika angan, harapan, dan cita-cita saat remaja sedikit meleset beberapa tahun saja? Sebab, di usia ini pikiran kami juga berkembang. Tak lagi sepakat bahwa 25 artinya karus sudah menikah, justru 25 adalah saat yang tepat untuk melangkah.
Jujur saja. Di usia seperempat abad ini, ada ketakutan kalau tak bisa sukses seperti orang kebanyakan. Gagal membuat bangga orangtua yang telah menyekolahkan
Melihat sekeliling, kami merasa sudah cukup banyak rekan sejawat yang nampak sudah mapan dengan hidupnya. Hal seperti ini tak pelak membuat siksaan batin tersendiri bagi kami. Akankah kami sesukses mereka dalam hidup nantinya? Kami harus menunggu berapa lama? Apakah kenyamanan hidup juga bisa kami rasakan? Haruskah kami mengikuti apa yang mereka lakukan agar bisa mendapatkan pencapaian yang sepadan? Walau sejatinya bahagia tak pernah mampir pada pekerjaan?
Ahhh, di mata kami seringkali berkelebat bayangan orang tua yang sangat ingin melihat kami jadi pribadi yang sukses. Kami pun tak kan sampai hati mengecewakan. Terbayang betapa banyak pengorbanan yang telah mereka berikan, betapa ingin kami membalasnya dengan keberhasilan. Tapi, jujur saja, kami mulai goyah dan tak yakin pada kemampuan diri.
Entah pesimis atau apa, yang jelas kami sadar bahwa rencana dan peta hidup yang sudah dibuat dengan rapi di masa remaja belum tentu sepenuhnya bisa diwujudkan. Impian yang digadang-gadang mampu teraih pun belum tentu bisa tergenggam tangan. Bagaimana kalau kami terus berkutat dengan kegagalan?
Ya, inilah sebagian hal yang mampu kami ungapkan terkait apa yang kami rasa di usia 25. Kala kami belum merasa bertindak apa-apa, apa kalian juga sama? Semangat menentukan arah hidup ya, kita 🙂