Belakangan sering sekali saya melihat teman-teman bergerombol di satu meja. Menatap penuh minat pada layar ponsel pintar yang ditaruh di tengah secara presisi. Kadang ada yang bergerak-gerak sambil menari. Kadang sekadar menonton saja lalu tertawa-tawa.
“Lagi pada ngapain, sih? Seru amat?” Saya pun memutuskan untuk bertanya karena penasaran.
“Ini lho, lagi TikTokan. Yuk ikutan sini!”
“Hah? Tiktok?”
Lalu saya ikut menonton sebuah video. Seseorang joget-joget di depan kamera dengan wajah yang ekspresif disertai dengan emoticon-emoticon tambahan. Lantas, teman-teman pun tertawa, sementara saya sendiri bingung di mana lucunya. Jadi pengetahuan baru saja hari itu: ada satu lagi aplikasi semacam media sosial yang namanya TikTok. Duh, perasaan baru kemarin paham Instagram, kok, sekarang sudah ada yang baru lagi, dah?
ADVERTISEMENTS
Perkembangan teknologi itu super cepat bagi saya. Kadang saya bingung dan keteteran mengikutinya
Harus diakui, saya memang bukan tipe orang yang update. Bukan tipe orang yang cepat tanggap ketika ada tren, terutama soal media sosial. Dulu saat remaja, ketika teman-teman sudah pindah ke Facebook, saya masih asyik main-main animasi di Friendster dan ngintipin akun asing sambil berharap dia mengintip akun saya juga.
Lalu saat saya pindah ke Facebook, ternyata orang-orang mulai tertarik pada Twitter. Lagi-lagi saya skeptis dan hanya menanggapi “Apa sih serunya Twitter? Paling ngobrolnya ya sama aja dengan orang-orang di Facebook”, walau akhirnya saya buat akun juga. Eh, baru saja menemukan model dan identitas yang pas di Twitter, lahirlah Instagram, yang katanya media sosial high class yang isinya orang-orang fotogenik dan sedap dipandang.
ADVERTISEMENTS
Instagram adalah media sosial yang cukup rumit bagi saya. Baru saja bisa menguasai sepenuhnya, lah, orang-orang sudah pindah lagi aja
Saya ingat sekali kapan saya membuat akun Instagram. Tahun 2017, supertelat dibandingkan teman-teman yang lainnya. Awalnya saya hanya mengungggah quote-quote dan foto pemandangan alam, karena terlalu malu untuk mengunggah foto diri sendiri. Tapi banyak yang bilang Instagram adalah tempat paling tepat untuk bisnis yang saya jalani. Jadi mau nggak mau, saya harus belajar. Satu tahun pakai Instagram, saya baru tahu dan berani pakai Instastory. Hmm, memang kalau direnungkan, saya ini termasuk orang yang lamban belajar, terutama soal media sosial.
Sekarang sih saya sudah cukup jago main Instagram. Sudah tahu caranya me-repost feeds di Instastory. Sudah tahu caranya membuat Instagram saya jadi business account sehingga saya bisa mengecek engagement saya sendiri. Sudah tahu juga cara membedakan konten mana yang boleh di-share di Instagram dan mana yang sebaiknya di Twitter saja. Tapi ternyata, baru saja benar-benar paham Instagram, eh, orang-orang sudah ke Tiktok saja. Duh, jadi ketinggalan lagi nih, saya?
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Sikap skeptis jadi salah satu penyebabnya. Saya malas melakukan sesuatu yang saya nggak tahu apa serunya
“Hari gini nggak punya Instagram?”
“Hari gini nggak pake WhatsApp?”
Komentar itu sudah seperti makanan sehari-hari buat saya. Seolah-olah saya orang paling udik dan ketinggalan zaman karena masih pake messanger yang konvensional ataupun media sosial standar itu sudah biasa. Walau kadang saya pun bertanya-tanya, kenapa, ya saya, nggak terlalu bisa ngikutin tren? Setelah dipikir-pikir, sepertinya sikap skeptis saya yang bikin semua ini terjadi.
Ketika saya melihat orang asyik melakukan sesuatu, dan saya nggak tahu di mana serunya, ya saya nggak akan mencoba. Selain itu, saya terbiasa melihat sesuatu sesuai kebutuhan. Twitter untuk menggalau nggak jelas tanpa dihina. Instagram untuk promosi jualan ini dan itu. Facebook untuk bersilaturahmi dengan kawan-kawan lama. Lalu TikTok buat apa?
ADVERTISEMENTS
Sikap ini ada plus dan minusnya juga. Di satu sisi saya ngggak gampang terseret arus, di sisi yang lain saya mungkin ketinggalan banyak peluang
Sikap skeptis dan terbiasa lihat ini dan itu berdasarkan fungsinya, bisa menjadi pisau dua arah juga. Di satu sisi, saya menjadi sosok yang cukup otentik dan nggak gampang ikut tren. Apalagi kalau tren itu menghabiskan banyak biaya dan belum tentu berfaedah. Well, dari sisi ini, saya diselamatkan oleh sikap yang nggak gampang tertarik itu.
Namun di sisi lain, saya juga menyadari bahwa hal ini bisa memberikan dampak buruk. Saya menjadi sosok yang malas mencoba sesuatu yang saya nggak tahu di mana asyik ataupun serunya. Padahal mungkin saja, saya akan mengetahui dua hal itu setelah mencoba sendiri. Selain itu, mungkin juga saya kehilangan banyak kesempatan dan peluang karena saya malas mencoba sesuatu hanya karena saya nggak tahu di mana serunya.
Apakah sekarang sudah install TikTok? Belum. Sejujurnya saya juga masih mencari tahu kenapa orang bisa senang main TikTok ataupun menonton video TikTok. Untuk alasan pertama, saya rasa, saya bukan orang yang cukup pede untuk joget di depan kamera dan disaksikan oleh orang se-Indonesia. Untuk alasan kedua, saya masih bisa nonton video TikTok yang sliweran di Twitter ataupun Instagram. Ya semoga saja ketika nanti saya memutuskan install TikTok, belum ada media sosial baru lagi yang hits.
Dianggap kuper dan nggak up to date dan nggak begitu nyambung kalau ngobrol sama teman tentang tren zaman sekarang adalah hal-hal yang saya rasakan menjadi orang yang selalu out of date terutama soal perkembangan media sosial. Kamu mengalami juga nggak sih?