Aku masih mengingat dengan jelas ketika ayah ibu mengajakku untuk berbicara mengenai kondisi adik perempuanku yang masih berumur 3 tahun kala itu.
Autisme, kata mereka.
Saat itu usiaku masih 8 tahun, masih terlalu dini rasanya untuk diajak berbicara serius mengenai hal seperti itu. Namun nyatanya ayah ibu mampu menjelaskann mengapa adikku berbeda dari adik-adik lainnya. Seiring berjalannya waktu, kini aku mengerti betul kondisi-kondisi yang aku alami sebagai kakak dari seorang adik perempuan dengan kebutuhan khususnya.
ADVERTISEMENTS
Waktu kecil aku bingung kenapa adik selalu mendapat perlakuan berbeda. Kini aku mengerti bahwa kehidupannya lebih membutuhkan dukungan daripada orang normal lainnya.
Terkadang aku heran mengapa saat kami masih sama-sama kecil, ayah dan ibu lebih sering memperhatikan adik kecilku daripada aku.
“Kakak kan sudah besar, sudah bisa belajar makan dan mandi sendiri. Adik belum bisa apa-apa.”
Kira-kira seperti itulah yang sering dilontarkan ayah dan ibu ketika aku merengek kenapa mereka jarang menyuapiku lagi ketika aku makan. Awal mulanya aku tidak peduli dan berusaha merebut perhatian mereka dari adik, namun kini aku mengerti bahwa sebenarnya ayah dan ibu tidak pernah berniat untuk membedakan perlakuan mereka pada kami berdua, namun karena keadaan aku dan adiklah yang memang berbeda.
ADVERTISEMENTS
Ketika kakak adik normal lainnya sering bermain bersama, aku lebih sering bermain sendiri karena adik lebih sering pergi ketika aku menghampiri.
Sebagai seorang kakak, memiliki adik yang bisa diajak bermain bersama rasanya sungguh bahagia. Namun aku telah terbiasa untuk belajar memahami karakter adikku yang satu ini. Dia lebih sering bermain sendiri, bersama kumpulan cat air dan krayon yang dibelikan ayah. Jika suasana hatinya sedang baik, dia akan bermain dengan cat air ditemani oleh kucing kesayangannya. Saat itu aku sama sekali belum mengerti bahwa kesulitan adik untuk bermain bersama adalah ketidakmampuannya untuk melakukan kontak fisik dengan orang asing, termasuk aku.
ADVERTISEMENTS
Seringkali aku menangis gara-gara buku dan peralatan sekolahku rusah akibat ulahnya. Kini aku berusaha untuk menjelaskan dan menunjukkan padanya arti sebuah kepemilikan.
Meski masih sering merusak benda-benda milikku, kini adik telah mengerti arti sebuah kepemilikan. Ia hanya mau makan dengan menggunakan piring berwarna merahnya dan tidur dengan ketujuh piyama yang ia pakai bergiliran setiap harinya. Akupun juga belajar bagaimana mengendalikan emosi ketika adik menangis tidak karuan, menggigit tangannya hingga berdarah, bahkan membenturkan kepalanya ke tembok. Kami berdua tumbuh berkembang dengan cara kami masing-masing, beautifully.
ADVERTISEMENTS
Dulu dia tidak pernah meresponku ketika kupanggil namanya, dengan kesabaran yang tiada batas aku dan kedua orangtuaku kini mampu membuatnya menoleh hanya dengan beberapa kali panggilan.
Awalnya, kupikir adikku tidak pernah menyukaiku sama sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak pernah berusaha untuk mengajakku berbicara, bermain, ataupun sekedar terenyum padaku ketika mata kami bertemu. Sempat terbesit dalam hati apakah yang telah kulakukan hingga adik sama sekali tak pernah mau berinteraksi denganku. Berkat kesabaran dan perhatian ekstra dari kami bertiga, kini adik sudah ‘bersedia’ untuk merespon ketika ada yang menyebut namanya. Bukannya ia tidak peduli pada kami, hanya saja ia seringkali ‘terjebak’ dan terlalu asik pada dunianya sendiri sehingga tidak mau berbagi.
ADVERTISEMENTS
Kesempurnaan bukan tentang melakukan hal-hal luar biasa, namun tentang melakukan hal-hal biasa dengan cara yang luar biasa.
Memiliki saudara dengan kebutuhan khusus membuatku tumbuh berbeda dari teman-teman sebaya lainnya. Aku terbiasa untuk meletakkan benda-benda tajam seperti gunting dan pisau ke tempat yang sulit terjangkau oleh adik karena bisa dipastikan jika aku meletakkannya sembarangan, adik akan menggunakannya sesuka hati dan melukai dirinya sendiri.
Ketika orang-orang sibuk meraih hal-hal luar biasa yang mereka anggap sebagai kesempurnaan, aku dan adikku telah berkembang dengan cara yang luar biasa.
ADVERTISEMENTS
Hal-hal terindah tidak dapat dilihat atau disentuh, namun hanya dapat dirasakan dengan hati. Melalui adikku, aku belajar untuk bagaimana dengan tulus mencintai.
Ia tidak mampu menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan yang berbeda-beda. Namun ia memiliki perasaan yang tulus karena ia tak mengerti apakah itu rasa benci dan dengki. Ia mungkin tidak mengerti ketika aku sedang marah atau sedih, karena yang ia tahu hanya bagaimana membuatku merasa lebih baik dengan memelukku erat-erat. Pelukan adalah satu-satunya bahasa dan perasaan yang menyatukan kami berdua.
Akhirnya kamu sadar bahwa perbedaan adikmu tak sepenuhnya kekurangan. Dia justru yang mengajarkanmu arti sebenarnya dari sebuah perasaan.
Karena memang itulah keadaan yang dimiliki adik for the rest of her life. Memang belum ada obat untuk menyembuhkan autisme, namun dengan pertolongan dan pengertian yang mendalam dari kami bertiga, kini adik mampu menjalani kehidupannya dengan lebih bahagia dan lebih baik lagi.