Perubahan tak pernah jadi hal yang mudah untuk dilewati. Apalagi jika perubahan itu adalah sesuatu yang tidak kita ingini, tak pernah terbayangkan sebelumnya, dan perlu adaptasi yang luar biasa untuk bisa menerimanya. Barangkali itulah yang dialami oleh Taufiq Effendi, seorang tunanetra yang berhasil meraih 8 beasiswa pendidikan di luar negeri.
Namun, perjalanan pria kelahiran tahun 1982 ini jelas tidak sesimpel kedengarannya. Ada proses penerimaan yang cukup berat, dan perjuangan hebat untuk mencapai prestasinya saat ini. Namun, usaha keras tidak membohongi hasil. Kini tak hanya meraih dua gelar master di Australia dan bahkan berkarier sebagai dosen. Barangkali kisah inspiratif Taufiq Effendi ini kisah lama, namun semangatnya patut kita renungi dan tiru hingga saat ini.
ADVERTISEMENTS
1. Mengalami kecelakaan di usia 6 tahun. Perlahan-lahan penglihatannya menghilang, ia pun harus keluar dari sekolahan
Taufiq Effendi bukanlah tunanetra sejak lahir. Kecelakaan yang dialaminya di usia 6 tahun, membuat penglihatan mata kanannya memudar, dan benar-benar lenyap saat usianya 10 tahun. Lima tahun berikutnya, Taufiq kehilangan penglihatan mata kirinya juga. Kebutaan yang ia alami memaksa Taufiq untuk berhenti dari sekolah, sebab ia tak mampu mengikuti proses belajar dan mengajar. Berbagai pengobatan dan operasi sudah dilakukan, namun tidak banyak perubahan. Kini segalanya harus diterima, Taufiq harus merelakan kedua penglihatannya.
ADVERTISEMENTS
2. “Kegelapan” yang datang tiba-tiba membuatnya sempat frustrasi. Namun, keinginan untuk mandiri membuatnya bangkit lagi
Tiba-tiba kehilangan penglihatan tentu bukan hal yang mudah diterima. Taufiq harus mulai membiasakan diri dengan “gelap” yang dilihatnya. Bukan hanya itu, Taufiq juga sempat mengalami depresi karena harus menerima kenyataan bahwa banyak hal yang kini tak bisa ia lakukan seperti ketika matanya masih berfungsi.
Namun, Taufiq memahami bahwa kelak bagaimanapun caranya, dirinya harus mandiri. Sebab tak selamanya ia bisa mengandalkan kedua orangtua. Kesadaran akan hal ini membuat semangatnya untuk menata ulang hidupnya bangkit. Ia pun mulai menajamkan inderanya yang lain sebagai pengganti mata. Taufiq mulai belajar huruf braille dan melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus, meski ia harus memakai metode pembelajaran yang berbeda.
ADVERTISEMENTS
3. Taufiq berhasil menyelesaikan pendidikan jurusan Bahasa Inggris selama 3,5 tahun, dengan predikat cum laude
Dalam wawancara di acara Hitam Putih (07/10/20190, Taufiq bercerita bahwa sebelumnya ia pernah ikut kursus pijat dan musik, sebagai alternatif karier dari kondisi yang Taufiq miliki. Namun, Taufiq memilih untuk melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Bukan hanya bisa lulus dalam waktu 3,5 tahun, ia juga lulus dengan predikat cum laude.
Nggak cuma itu lho. Saat menjalani kuliah di UNJ ini, makalah yang Taufiq buat lolos seleksi dan dipresentasikan di acara 4th Asia TEFL International Conference di Jepang, yang mana saingannya adalah doktor-doktor yang bergelar Ph.D. Padahal saat itu Taufiq masih berstatus mahasiswa.
ADVERTISEMENTS
4. Sempat pulang saat menempuh S2 di Inggris, Taufiq mendapat beasiswa penuh pendidikan master di University of New South Wales Australia
Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di UNJ, Taufiq berhasil meraih beasiswa penuh untuk melanjutkan S2 di Agha University, di Inggris. Namun, saat itu, sang istri sedang mengandung dan kehamilannya cukup berat. Karenanya, pihak kampus menyarankan agar Taufiq cuti dari kuliah dan kembali ke Indonesia. Taufiq nggak berkecil hati kok, ia percaya bahwa di bali sebuah rencana yang gagal selalu ada rencana lain yang akan datang.
Benar saja, setelahnya Taufiq menerima banyak beasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Beberapa di antaranya adalah ICT training dari Japan Braille Library, Teacher Training and Workshop di INTO Oregon State University, dan Australian Development Scholarship untuk melanjutkan S2. Di Australia ini, ia berhasil meraih dua gelar master, dan sempat menjadi asisten peneliti juga lho. Totalnya ada 8 beasiswa yang ia terima. Meski bukan kesemuanya yang beasiswa akademik, namun dengan beasiswa, Taufiq berhasil mencapai mimpinya untuk ke luar negeri.
ADVERTISEMENTS
6. Mimpinya untuk keliling dunia sempat diremehkan, namun Taufiq berhasil membuktikan mimpi itu bisa ia wujudkan
Sejak dulu, Taufiq punya cita-cita untuk menjelajah ke luar negeri. Ketika kondisi fisiknya berubah, Taufiq pun “dipaksa” untuk realistis. Bagaimanapun keterbatasannya membuat mimpi-mimpi itu harus dipangkas dan disesuaikan. Namun, Taufiq memilih untuk keras kepala. Dengan segala tekad yang ia miliki, Taufiq berhasil mewujudkan mimpinya untuk ke luar negeri, terlebih, dalam rangka menuntut ilmu.
ADVERTISEMENTS
7. Keterbatasan tak menghalangi impian untuk diwujudkan. Sebab bila satu pintu tertutup, selalu ada pintu lain yang menyimpan kemungkinan
Fisik yang memiliki keterbatasan membuat Taufiq sudah khatam dengan pahitnya diskriminasi dan kegagalan. Sudah banyak pintu yang tertutup tepat di depan wajahnya. Namun, semangatnya tak mengendur. Taufiq percaya bahwa keterbatasan tak menghalanginya untuk berprestasi, sama seperti orang-orang lain yang fisiknya lebih sempurna. Taufiq juga mengajarkan bahwa sebuah kegagalan selalu menyimpan skenario lain di baliknya yang menunggu untuk ditemukan.
Saat ini, Taufiq mengajar di sebuah universitas Swasta. Tak hanya itu, ia juga mendirikan Global Umaro Education (GLUE) Institute, sebuah lembaga pendidikan untuk masyarakat dengan keterbatasan fisik. Salah satu programnya adalah pemberian beasiswa pendidikan bahasa Inggris bagi penyandang keterbatasan fisik.
Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, Taufiq Effendi tetap berkarya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang banyak. Keren!