Sejak lulus kuliah, pikiran dan perasaan justru rentan jadi berantakan. Termasuk bagiku. Alasannya, kini aku resmi berstatus sebagai beban keluarga. Tak punya penghasilan sendiri, tapi minta jatah rokok melulu sama keluarga. Saat itu malu rasanya melihat bayangan diri sendiri di kaca spion motor setiap hendak bepergian ke luar rumah. Sama seperti banyak manusia lain di sana, kini sudah saatnya aku menjelajahi bursa pencari kerja demi mencari pijakan sendiri di dunia.
Berhadapan dengan rupa diri yang semakin lama menganggur, malah semakin banyak pikiran dan pelarian negatif, sepertinya benar yang bilang pekerjaan pertama itu harus pakai prinsip ‘asal dapat kerja dulu aja’. Tapi seketika itu juga, sisi lain dari diriku berteriak mengingatkan bahwa aku punya segudang mimpi yang ingin dijadikan nyata. Harus realistis atau mengikuti passion, perdebatan klasik bagi mereka yang pertama kali mencari pekerjaan. Perdebatan yang akhirnya membawaku ke kota Yogyakarta. Kota yang dikenal sebagai kota mahasiswa, tapi kini kusinggahi dengan status pekerja.
ADVERTISEMENTS
Status fresh graduate dan quarter life crisis itu seakan-akan tak bisa dipisahkan. Tak ada gunanya dapat sertifikat lulus tapi belum bisa menghasilkan
Bercerita sedikit, semasa aku duduk di bangku perkuliahan, aku cukup aktif di kampus. Aku bersama teman-teman mendirikan komunitas literasi, turut bergabung dalam sebuah kolektif perpustakaan mandiri, dan sering ikut demonstrasi. Meski begitu, nilai kuliahku tak terlalu buruk, skripsi cukup lancar dan bisa lulus tepat waktu.
Setelah aku lulus, kehidupanku berubah 180 derajat. Aku yang punya banyak impian setelah lulus, harus dibenturkan oleh realitas kehidupan yang keras. Cita-cita yang kugantungkan di pohon bernama harapan mesti berguguran dihempas angin satu per satu.
Realitas kehidupan yang keras berhasil menghimpitku. Di umur 20-an yang mestinya produktif, aku justru kesulitan mencari kerja. Semua gairahku hilang, yang ada hanyalah merenung dan merenung. Rasanya aku jatuh pada masa quarter life crisis. Fase krisis yang sering terjadi pada anak-anak muda berumur 20 tahunan. Aku merasa, semua yang aku kerjakan mengalami kebuntuan. Aku yang keras kepala mengejar passion harus dibenturkan dengan kenyataan bahwa orang tua membutuhkan anak pertamanya.
ADVERTISEMENTS
Belum lagi realita bahwa pekerjaan yang ‘menghasilkan’ itu tak selalu sesuai dengan passion-mu. Maka dari itu aku menyadari mengejar passion harus dibarengi kesiapan menghadapi segala konsekuensinya
Aku orang yang cukup idealis dan teguh mempertahankan pendirian. Aku berjanji pada diri sendiri untuk hidup dari menulis. Meski kemampuan menulisku masih terbatas dan mesti banyak belajar, entah mengapa aku punya cita-cita seperti itu. Aku menggebu mengejar gairah menulis dan menjalani hidup dengan keras kepala. Setiap mencari kerja, aku mencari posisi-posisi yang memang menjadi gairahku; content writer, reporter dan semua yang berhubungan dengan aktivitas menulis.
Konsekuensi menjadi seorang yang keras kepala di tengah-tengah fase krisis adalah kekecewaan. Hampir setiap usaha yang aku lakukan menuai kekecewaan. Aku beberapa kali ditolak oleh perusahaan, beberapa kali pulang-pergi ke Jakarta untuk mengikuti interview. Aku juga merasa cemburu melihat kawan-kawan yang sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Saat teman-temanku sudah mampu memberi sesuatu untuk orangtua, aku masih saja berkutat dengan hati sekeras batu menolak mengalah pada kenyataan hidup yang keras.
ADVERTISEMENTS
Mengikuti passion pun bukan berarti mencari tanpa arah, aku mengikuti berbagai job fair dan informasi lowongan kerja di internet. Terbukti itu mendekatkanku ke pekerjaan pertamaku di Yogyakarta
Keadaan hidupku semakin sulit, gairah bekerja dan ingin menghasilkan uang sendiri semakin memuncak. Semasa pencarian aku tak pernah absen memeriksa kotak masuk email, siapa tahu ada beberapa lowongan kerja yang cocok untukku. Job fair? Tentu sudah sering kudatangi demi mencari kerja. Berbagai situs dan aplikasi lowongan kerja pun selalu jadi pegangan karena aku tak begitu paham soal peluang maupun proyeksi karir di dunia kerja.
Setelah melewati masa pencarian kerja yang cukup melelahkan, bukan main senangnya saat aku menerima surel dari Hipwee. Dalam surel tersebut aku diterima menjadi reporter dan menjalani masa percobaan selama 3 bulan di kantor Hipwee di Yogyakarta. Sempat terlintas dalam pikiran kalau aku tak akan bisa hidup dengan UMR Yogyakarta. Namun saat aku merenungkan kembali apa-apa yang kualami, aku mantap memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta.
ADVERTISEMENTS
Pekerjaan pertamaku ternyata terletak di Yogyakarta. Meski standar gaji di kota ini sama sekali tak mentereng, tapi aku memilih mengejar kemandirian dan pengalaman hidup yang tak hanya diukur dari besaran uang
UMR kota Yogyakarta yang terkenal memang di bawah rata-rata, jelas jadi momok tersendiri. Terutama bagi aku yang haus ingin jadi mandiri dan segera membantu orang tua. Tetapi setelah menjelajahi semua lowongan dan segala kemungkinan, pekerjaan pertama adalah pelabuhan terbaikku. Mungkin bukan gaji mentereng dan kejayaan finansial, tapi kutemukan jalan tengah antara mencapai kemandirian dan pelajaran hidup yang mungkin tak bisa diukur dengan besaran uang.
Bagiku, kunci untuk mencapai kebulatan hati memilih pekerjaan pertama adalah keseimbangan. Mengikutsertakan passion dalam pertimbangan itu jelaslah bukan pilihan yang mudah. Maka dari itu, mengetahui lowongan-lowongan kerja dan kemungkinan yang ada di luar sana itu jadi faktor yang sangat penting. Karena aku tak ingin merasa tidak punya pilihan. Buat yang merasa tidak punya pilihan atau harus serta merta meninggalkan passion-mu, mungkin kamu belum mencari di tempat yang tepat.
Salah satu strategi yang bisa kamu coba adalah mencari informasi yang akurat seputar dunia kerja. Dengan informasi yang tepat, kamu bisa melihat kesempatan dengan lebih jelas dan terarah. Coba deh platform terpercaya seperti Karir.com, mungkin di sana kamu bisa menemukan karir impianmu!