“Kamu beruntung banget sih punya bisnis keluarga. Nggak perlu susah payah cari kerja…”
“Enak ya punya pasangan yang sudah mapan. Mau menikah, semua sudah tersedia…”
Sadar atau tidak, ternyata kita sering menggampangkan. Menganggap kalau segala yang terjadi di sekitar itu bisa didapat dengan cara yang instan. Buktinya, kalimat-kalimat seperti di atas bisa dengan ringan kita ucapkan. Seolah-olah pencapaian tak datang sepaket dengan perjuangan.
Akibatnya, kita pun dengan mudah merutuki kekurangan diri. Kita menjadi gampang silau bahkan iri dengan apa yang orang lain miliki. Dan dalam kondisi yang kronis, kita justru tak lagi fokus mewujudkan harapan – melainkan sekadar sibuk berandai-andai bisa memiliki apa yang orang lain sudah dapatkan.
ADVERTISEMENTS
Kita sepertinya terbiasa dengan budaya membandingkan. Kepandaian, kekayaan, atau pencapaian jadi ukuran untuk menilai seseorang.
“Dia memang pintar, belum lulus saja sudah dapat tawaran kerja. Agak beda sih sama kakaknya, yang sampai sekarang masih sibuk dengan skripsinya.”
Dalam hidup bermasyarakat, kita dididik untuk saling peduli. Kepekaan diri sudah terasah sejak dini agar kita tahu kesusahan apa yang sedang orang lain rasai. Namun, kepekaan itu seringkali berubah jadi rasa ingin tahu yang berlebihan. Khususnya dalam hal pencapaian, kita jadi lebih perhatian pada apa yang orang lain sudah dapatkan.
Dan akhirnya, pencapaian-pencapaian itulah yang jadi ukuran kita untuk menilai seseorang. Apakah dia pintar, kaya, cantik, atau tampan? Bahkan, hal itu pula yang membuat kita jadi mudah membanding-bandingkan. Seakan prestasi dan pencapaian adalah hal penting yang harus selalu diumbar dan dibicarakan.
ADVERTISEMENTS
Memang, tak ada salahnya melihat dan menilai apa yang orang lain dapati. Kebiasaan itu bisa jadi baik untuk memantik semangat dalam diri.
Setiap orang terlahir dengan karakteristik yang berbeda. Ada yang mampu menumbuhkan semangat dalam dirinya sendiri, namun ada pula yang butuh bantuan orang lain agar lebih terpacu lagi. Misalnya saja saat melihat teman berhasil mencetak prestasi, mungkin akan muncul semangat untuk membuat hal yang sama.
“Wah, dia berhasil selesai skripsi dalam waktu 3 bulan aja, harusnya aku juga bisa…”
Jika kebiasaan melihat dan menilai pencapaian orang lain bisa berdampak seperti ini tentu akan baik bagi diri sendiri. Bukan berarti tak mau kalah atau ingin menang sendiri, tapi semata-mata untuk menyemangati diri supaya gigih untuk melakukan yang jauh lebih baik lagi.
ADVERTISEMENTS
Sayangnya keberhasilan orang lain kadang tak membawa dampak baik, tapi justru membuat iri. Lalu, dengan ringan kita malah merutuki kekurangan diri sendiri.
“Kamu sih enak, pembimbing skripsimu baik. Kalau aku ‘kan emang sial, pembimbing skripsiku menyebalkan.”
Alih-alih membuat diri kita terpacu untuk melakukan yang lebih baik lagi, keberhasilan orang lain kadang malah membuat kita iri. Kita dengan mudah membanding-bandingkan, merasa orang lain lebih beruntung karena mendapat apa yang mereka inginkan.
Selebihnya, rasa iri pun membuat kita dengan mudah merutuki kekurangan diri. Menganggap bahwa orang lain lebih beruntung, lalu dengan gampangnya kita merasa rendah diri. Bahkan tak lagi punya semangat untuk meraih apa yang kita ingini.
ADVERTISEMENTS
Padahal, setiap pencapaian pasti datang sepaket dengan perjuangan. Tak ada keberhasilan yang didapat dalam sekejap layaknya membuat mie instan.
Rasa iri atau sikap rendah diri sebenarnya jadi yang paling berbahaya. Keduanya membuat kita mengabaikan nalar dan logika. Keduanya pula yang menjadikan kita lupa bahwa setiap pencapaian pastilah datang sepaket dengan perjuangannya.
Bagaimana pun, mustahil jika sebuah prestasi bisa didapat dalam sekejap. Keberhasilan tak mungkin dapat diraih dalam semalam tanpa kerja keras dan kegigihan. Dan sesungguhnya, mereka yang berhasil mencapai cita-cita atau mewujudkan keinginan pasti adalah orang-orang yang mau bekerja keras dan berjuang.
“You never know what someone is dealing with behind closed doors. You only know what you see or what you think you see.”
ADVERTISEMENTS
Seringkali kita hanya melihat apa yang tampak di depan mata, tanpa kita tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi di baliknya.
Dalam falsafah Jawa, kehidupan manusia hanyalah “wang sinawang” yang berarti bahwa kita sesama manusia hanya bisa saling melihat. Terlebih, kita hanya melihat bahwa apa yang dimiliki orang lain selalu lebih baik atau lebih indah dari apa yang kita miliki. Makna ini hampir mirip seperti kiasan “rumput tetangga selalu lebih hijau”.
Ya, mungkin orang lain punya kehidupan yang lebih indah, lebih bahagia, lebih mapan, atau lebih segala-galanya. Tapi bukankah sebenarnya kita tak tahu apa-apa tentang mereka? Kita tak tahu bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan kebahagiaan dan kemapanan itu.
Kita pun tak tahu apakah sebenarnya mereka sudah benar-benar puas dan bahagia dengan apa yang dimiliki, atau justru mereka sebenarnya juga sedang menutupi kegundahan dan rasa iri pada apa yang kita miliki? Kita tak akan pernah tahu karena sebenar-benar hati manusia hanya Tuhan yang tahu.
“Kehidupan bukan hanya apa yang terlihat oleh mata. Tak perlu iri pada orang lain yang tampak lebih bahagia, karena kita tak pernah tahu bagaimana perjuangan mereka.”