Beberapa waktu lalu, sering muncul unggahan di media sosial tentang “Capek kerja, nikah saja”. Ajakan untuk menikah ini diserukan terutama untuk cewek , seolah menikah adalah solusi dari segala persoalan yang muncul sehari-hari. Sedang untuk pria, ajakannya berbeda. Dengan menikah, setidaknya ada yang mengurus di rumah setelah lelah bekerja. Padahal, apa iya menikah akan menjamin bahagia?
Jawabannya sebenarnya mudah. Jika menikah adalah atas segala solusi dan sudah pasti bahagia, tentunya nggak akan ada yang namanya perceraian, permasalahan rumah tangga, KDRT, dan lain sebagainya. Karenanya, terlalu aneh dan terburu-buru bila capek kerja lantas berpikir menikah adalah solusinya.
ADVERTISEMENTS
1. Bingung juga mengapa banyak yang menganggap menikah adalah solusi segala masalah. Padahal pernikahan punya segudang problematika yang berbeda
Nyatanya, pernikahan adalah sebuah tahapan hidup, dengan segudang permasalahan berbeda, yang mungkin justru lebih kompleks pula. Ketika masih sendiri, setidaknya tanggung jawab terbesar adalah kepada diri sendiri. Kegagalan dan hal buruk, menyangkut diri sendiri. Tapi dalam pernikahan, semuanya jalin-menjalin untuk dua orang, dan anak-anak kelak. Terlebih problematika yang sama pun nggak lagi bisa dihadapi dengan cara yang sama.
Itu adalah hal-hal yang tak terlihat. Sedang masalah yang terlihat juga banyak. Relasi dengan mertua, cicilan rumah supaya bisa hidup mandiri, hingga biaya pendidikan anak yang semakin lama semakin tinggi. Memang rezeki sudah diatur oleh Tuhan, namun, hal-hal materi seperti ini tetap harus dipikirkan. Sebab tak sedikit pernikahan yang tumbang karena urusan finansial.
ADVERTISEMENTS
2. Ada lagi yang bilang “capek cari nafkah, penginnya dinafkahi aja”. Tapi setelah ada yang menafkahi apakah hidup otomatis bahagia sejahtera sampai mati?
Kata-kata ini biasanya ditujukan pada perempuan. Maklum, masyarakat kita masih sangat patriarki, sehingga urusan cari nafkah dengan mudah dibebankan pada suami. Sebagai istri, tinggal terima gaji (suami) saja dan mengaturnya untuk roda rumah tangga sehari-hari. Tapi ini juga bukan jaminan untuk bisa sejahtera tanpa perlu bekerja lagi. Yah, kecuali kamu menikahi konglomerat yang kekayaannya tak habis tujuh turunan, meski setiap hari hanya ongkang-ongkang kaki.
Menjadi ibu rumah tangga seringkali diremehkan dan dianggap gampang. Padahal, ini adalah posisi yang sangat sulit dan butuh kejelian, ketelitian, kesabaran, dan ilmu manajemen tingkat advance. Urusan domestik rumah tangga nggak pernah gampang, dan tentu saja, juga sama melelahkannya.
ADVERTISEMENTS
3. Capek kerja masih bisa minta cuti. Tapi kalau capek urus suami dan anak, masa iya mau “minta cuti” juga?
Bekerja memang melelahkan. Berkutat dengan deadline-deadline dari Senin hingga Jumat (terkadang lanjut Sabtu dan Minggu bila belum selesai) memang menjemukan. Apalagi kalau setiap hari harus menghadapi klien-klien yang selalu bersikap “nggak mau tahu” dan atasan yang sama nggak mau tahunya. Capek!
Tapi secapek-capeknya kerja, kamu masih punya jatah cuti yang bisa dimanfaatkan setidaknya setahun sebanyak dua belas hari. Tapi dalam sebuah pernikahan, secapek-capeknya mengurus rumah dan keluarga, masa iya kamu mau minta cuti? Teori mudahnya, dalam pernikahan pun harus ada me-time bagi masing-masing agar hubungan tetap harmonis. Namun, para praktiknya, tak ada yang bisa benar-benar stop urus keluarga meski sedang me time dan liburan. Hal-hal seperti ini apakah sudah dipikirkan?
ADVERTISEMENTS
4. Saat rasa lelah dan overload tak tertahankan, kita masih bisa resign. Beda dengan pernikahan yang kontraknya seumur hidup
Tekanan pekerjaan itu memang besar. Terkadang ambil cuti nggak lagi mempan menghilangkan jenuh dan capeknya dalam bekerja. Namun, ketika kamu nggak sanggup lagi menahan tekanan kerja, kamu bisa mulai buka-buka Jobstreet untuk mencari tahu kesempatan lainnya. Siapa tahu selama ini kamu salah jalur kariernya dan di luar sana masih banyak tempat lain yang lebih bisa mengapresiasi kinerjamu sehingga tekanannya tak perlu sebesar itu.
Intinya, capek dan jenuh tingkat wahid dalam bekerja, kamu masih bisa resign untuk mencari yang lebih baik. Tapi pernikahan bukanlah hal yang sama. Pernikahan bukanlah kontrak kerja yang bisa diakhiri kapan saja. Dengan segudang problematikanya itu, tentu kamu nggak bisa seenaknya membuat surat resign saat tak senang bukan?
ADVERTISEMENTS
5. Setelah menikah, beban hidup memang dihadapi berdua. Tapi tanpa sikap dewasa dan komitmen yang luar biasa, ini bisa memberatkan juga
“Tapi kan kalau udah nikah, masalah dihadapi bareng-bareng. Nggak harus pusing sendiri ‘kan?”
Argumen ini cukup masuk akal. Menjalani komitmen dengan orang lain, setidaknya ada partner in crime resmi dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Kamu nggak harus berpikir sendirian untuk mencari solusi. Namun, jangan lupa juga bahwa menyatukan dua kepala itu bukan hal sederhana. Secocok apa pun, kamu dan dia nggak mungkin punya pemikiran yang 100% sama tentang segalanya.
Perbedaan itu pasti ada. Tanpa sikap yang dewasa, ego yang sedikit dijinakkan, serta komitmen untuk kompromi yang matang, dua kepala dalam hubungan ini bisa sangat memberatkan juga. Karena bagaimanapun, sekarang kamu harus mempertimbangkan posisinya, nggak bisa apa-apa jalan sendirian.
Capek kerja itu wajar. Pengen leyeh-leyeh dan berhenti memikirkan target atau deadline pekerjaan itu manusiawi kok. Namun, saat capek bekerja dan jenuh mulai terasa, lebih baik ambil cuti dan liburan dulu saja supaya pikiran fresh. Bila penat dan lelah nggak juga terusir meski sudah cuti, coba cek dulu pilihan kariermu. Mungkin kamu perlu mengevaluasi ulang bidang yang ingin kamu tekuni.
Sementara itu, pernikahan tentu nggak bisa disandingkan dalam scope yang sama dengan bekerja. Memang setiap orang punya kesiapan dan alasan yang berbeda untuk menikah. Namun, menikah bukan solusi yang tepat untuk mengatasi lelahnya bekerja. Pernikahan adalah sebuah hal serius yang perlu pertimbangan masak-masak. Karena tak mungkin kita bisa bilang “Capek nikah, mau cerai ajalah” ‘kan?