Tak Ada yang Salah Dengan Pilihanku Jadi Dokter Gigi. Dokter Gigi Juga Dokter Beneran, Kali!

Artikel ini terinspirasi dari @dentistpita , pemenang hari 3 #30HariTerimaKasih Challenge . Hayo, sudahkah kamu cukup bersyukur hari ini?

“Kok nggak ambil jurusan Kedokteran yang beneran aja?”

Ah, pertanyaan itu lagi. Kuhela nafas panjang. Senyum di wajah harus tetap terkembang. Andai aku dapat uang tiap kali ada orang yang iseng (atau serius) mengajukan pertanyaan ini, tak perlu susah payah mengumpulkan modal untuk mencari dan membiayai pasien koas lagi. Bahkan mungkin aku bisa mulai menabung demi membeli kursi atau tang gigi untuk klinik kecilku nanti.

“Lho? Memangnya dokter gigi itu dokter jadi-jadian, Mas? Hehe…”

Yang bertanya padaku tadi mengulum senyum. Nggak papa kok, Mas, tuturku kembali. Saya biasa menghadapi pertanyaan macam ini. Sejak memutuskan belajar jadi dokter gigi, saya juga harus belajar untuk menambal “sakit hati”.

ADVERTISEMENTS

Meski sering dinomorduakan, Kedokteran Gigi adalah pilihan yang sulit dan menantang. Hanya yang tahan banting yang akan sukses menyandang gelar

Emangnya dokter gigi bukan dokter beneran?!

Emangnya dokter gigi bukan dokter beneran?! via instagram.com

“Nanggung amat sih Mbak, masuk FKG?”

Ah, belum tahu saja dia. Untung yang diledek punya kesabaran tingkat dewa. Mahasiswa FKG memang sudah dilatih untuk sabar sejak semester pertama. Maklum, struktur kuliah FKG kaya dan menantang. Seorang mahasiswa tak hanya harus mempelajari 32 benda mungil di dalam mulut manusia saja. Tapi juga ilmu syaraf, mata, bahkan jiwa.

Menjelang masa ujian, begadang jadi kemutlakan. Pun tak ada semester yang berlalu tanpa penghematan uang jajan. Aneka buku diktat dan alat-alat praktikum tidak gratis. Jika tak dapat pinjaman, siap-siap saja harus iuran.

Kadang lidah ini gatal ingin menyerukan pembelaan. FKG bukan “Fakultas Kedokteran Gagal”! Banyak kok yang masuk jurusan ini karena memang mau jadi dokter gigi sejak awal.

Untung mahasiswa FKG sudah di-setting sedemikian rupa untuk selalu bersabar. Toh, ada banyak hal lain yang lebih krusial dari pandangan orang awam yang menomorduakan.

ADVERTISEMENTS

Perjuangan tak lantas berhenti begitu kami jadi sarjana. Sebagai koas, demi mendapat pasien kami harus rela membayar mereka

Pasien justru harus kami bayar

Pasien justru harus kami bayar via czaegarcia.tumblr.com

“Ih, calon dokter kok bokek?”

“Ya ‘kan baru calon… hehehe. Baru juga koas.”

Celetuk teman-teman dekatku, tiap aku terpaksa tak bisa makan bersama mereka karena tak punya uang. Meskipun konteksnya bercanda, celetukan di grup LINE itu sebenarnya sedikit menampar.

Teman-teman dekatku adalah orang-orang yang kariernya cemerlang. Yang satu lulusan Ilmu Politik dan sekarang bekerja di bidang advertising. Yang lain sudah menikah, calon PNS di Kementerian Perdagangan. Ah, tentu mereka sudah mandiri sekarang. Sudah punya uang yang bisa dialokasikan untuk hiburan bersama teman-teman setiap akhir bulan.

Beda halnya denganku, yang setelah selesai skripsi tak bisa langsung jadi dokter gigi. Aku masih harus menjadi koas di rumah sakit gigi dan mulut milik universitas. Bisa dibilang, saat koas inilah perjuanganku yang sebenarnya dimulai.

Berbeda dengan dokter biasa, pasien kami tak datang begitu saja. Para koas dokter gigi harus gigih mencari sendiri pasiennya. Kami rela pergi ke gang-gang perumahan sempit dan sederhana untuk menjemput bola. Karena kemampuan finansial pasien kami pun tak seberapa, jadi kewajiban kamilah untuk membayar biaya perawatan mereka.

Mungkin teman-temanku tidak tahu perjuangan seseorang untuk menjadi dokter gigi. Padahal, perlu berdarah-darah dulu agar kami bisa menamatkan pendidikan profesi. Segala cara kami lakoni. Kalau perlu, makan bubur ayam di warung pinggir jalan pun kami lakukan sambil berlatih membersihkan replika gigi.

Sekali lagi kami terlatih untuk bersabar. Tak hanya atas beratnya beban pekerjaan, namun juga ledekan dari orang awam.

ADVERTISEMENTS

Tapi aku tak menyesal. Dari benda semungil gigi, aku dan teman-teman seperjuangan telah belajar banyak hal.

Terima kasih pada yang telah mengajarkanku banyak hal -- termasuk kursi ini. (@dentistpita)

Terima kasih pada yang telah mengajarkanku banyak hal — termasuk kursi ini. (@dentistpita) via instagram.com

“Kenapa sih gigi doang perlu ada dokternya?”

Ah, mau dijawab darimana? Hal yang “seremeh” gigi dan mulut sebenarnya punya banyak implikasi. Gigi yang tak terawat bisa meningkatkan kemungkinan seseorang terkena penyakit jantung. Selain itu, kami dokter gigi bisa merekonstruksi rahang yang mungkin bergeser karena si empunya kurang beruntuk dan tertimpa kecelakaan. Tapi sudahlah. Jawabannya mungkin hanya bisa sepenuhnya dimengerti jika kamu seorang dokter gigi.

Aku lebih ingin berterima kasih saja kali ini. Pada teman-teman seperjuanganku selama S-1, yang bahu-membahu menyediakan gigi dan mulut ketika satu sama lain membutuhkan pasien. Pada dosen-dosenku yang mengajarkan pentingnya kerja keras dan ketelitian. Pada pasien-pasienku selama koas yang bersedia dirawat gigi dan mulutnya, dan tak kabur di tengah-tengah perawatan.

Enam tahun menggali ilmu demi menjadi dokter gigi, aku tahu ada banyak hal yang telah kupelajari.

Aku ingat sebuah pick-up line dari kakak kelas yang menyebar dengan cepat di grup angkatan kami.

5 Alasan Kenapa Dokter Gigi Layak Kamu Jadikan Pasangan Hidup

1. Gak perlu takut dia bau mulut. Sebagai dokter gigi, napasnya lebih segar dari bintang iklan pasta gigi

2. Dia paling tahu caranya menghadirkan suasana nyaman. Kalau nggak, pasiennya pasti kabur duluan.

3. Dengannya, kamu tak akan menemukan sosok manja. Calon dokter gigi tahu benar imbalan manis hanya datang jika dia mau membanting tulang

4. Isi mulut dan printilan-printilannya aja dia perhatiin. Apalagi kamu, Mas?

5. Masih gak yakin sama dokter gigi? Gak papa, KJDA. (Kita jalanin dulu aja…)

Aku terbahak-bahak pertama kali membacanya. Tapi hei, mungkin ucapan bercanda itu benar juga?

Layak dijadikan pasangan hidup atau tidak, dari pendidikan dokter gigi aku telah belajar banyak hal.

Dan meskipun pilihan hidupku sering dinomorduakan orang awam, aku tak pernah menyesal!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini