“Jangan malu berdoa. Tuhan itu gak pelit.”
Berbagai masukan soal doa sering menghampiri kita dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang bilang doa harus spesifik, ada juga yang bilang doa mesti diikuti dengan keikhlasan. Karena sebenarnya Tuhan yang paling tahu apa yang kita butuhkan. Tapi kok lama kelamaan urusan doa ini seperti transaksi ya? Kita meminta, Dia mengabulkan — inilah inti dari seluruh perjalanan.
Apakah esensi doa memang sesimpel itu? Hanya meminta, memohon kebaikanNya, dan menunggu. Tidak adakah arti yang lebih dalam dari sekadar perhitungan untung rugi? Seperti…doa sebagai cara Tuhan agar kita tak malu mengakui kelemahan?
ADVERTISEMENTS
Sebagai manusia kadang kita ini merasa ‘bisa.’ Bahkan sering jumawa tidak perlu siapa-siapa
Menyelesaikan pendidikan tepat waktu, mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan impian dan passion, gaji tinggi yang masuk ke rekening tiap bulannya sering membuat kita merasa jumawa. Ada rasa bisa dalam hati yang tidak ingin diutak-atik lagi. Kita merasa mampu berdiri di atas kaki sendiri. Diri ini pasti bisa menghadapi tantangan sebejat apapun yang semesta beri.
Rasa ‘bisa’ macam ini sebenarnya juga membawa kebaikan. Paling tidak langkah selanjutnya bisa dihela dalam tapak yang lebih mapan. Kita tak lagi merasa perlu berulang kali diyakinkan. Namun sesekali rasa ‘Paling’ juga melingkupi. Kita merasa paling mampu, paling berdaya, paling baik intuisinya, paling tepat keputusannya.
Kita lupa, bahwa semua kemampuan itu ada muaranya. Pemberi paling loyal dalam segala suasana.
ADVERTISEMENTS
Sementara Tuhan seperti pemberi yang loyal. Namun Ia tetap peka atas pemberian yang membawa kebaikan
Dia bukan pemberi yang penuh perhitungan. Bisa saja dengan mudah semua keinginan kita Ia kabulkan. Buat apa menghambat keinginan HambaNya yang jelas-jelas bisa merengek dan ngambek jika permohonan dikabulkan lama? Bukankah ini sama saja dengan menggerakkan tangan sendiri demi mencoreng muka?
Namun di balik loyalitasNya yang tak perlu lagi ditanya Ia menyimpan kebijaksanaan yang juga tak ada dua. Ia mengerti kita-kita ini akan jadi makin tinggi hati jika langsung diiyakan keinginannya. Dia sudah hapal di luar kepala bagaimana kita akan merasa bahwa semua yang terjadi adalah karena usaha sendiri. Tidak ada bantuan dan tanganNya yang melingkupi.
Ia sudah mengerti luar dalam tentang hal-hal ini. Kali ini, Ia lebih memilih menunggu. Melihat kita berusaha dulu. Mati-matian merayunya di ujung-ujung malam atau di akhir Minggu. Supaya Ia tahu bahwa HambaNya mengakui kebutuhannya, tak lagi malu membuka segala kelemahanNya.
ADVERTISEMENTS
Di akhir hari, doa bukan cuma soal transaksi. Ini juga tentang bagaimana kita mengakui: Dia, tak pernah pergi
Sebagai pengatur segala yang tak selalu kelihatan bentuknya — kita bisa dengan mudah melupakan kehadiranNya. Merasa segala yang terjadi tak ada hubungannya dengan liku jalan pun ketentuanNya.
Bagi beberapa orang doa mulai berubah jadi sekadar transaksi. Kewajiban semata. Meminta, karena merasa harus menghargai Dia ada. Doa berubah bukan lagi jadi momen mengakui kelemahan. Masa mesra untuk mengadukan semua yang dirasakan. Mengungkapkan perasaan, tanpa pretensi dan ketakutan merasa disudutkan.
Barangkali, saat doa-doa kita memasuki ruang tunggu — di masa itu Dia Hanya sedang rindu. Ia ingin kita meminta lebih lama, mencium kaki dan punggung tanganNya lebih mesra. Ia hanya ingin kita percaya — bahwa Ia ada. Dalam titik terlemah pun Ia tak pernah ke mana-mana.
Dan bukankah kita memang lemah sebagai manusia? Jika memang begitu, tidakkah seharusnya kita meminta?