Terkadang kamu mungkin berpikir bahwa kuliah itu sungguh menjemukan. Pada titik tertentu kamu merasa muak dengan segudang teori yang dirasa terlalu membosankan untuk dipelajari. Belum lagi bayangan akan skripsi yang tak pernah absen menghantui. Alasan demi alasan semakin membikinmu malas untuk menyelesaikan kuliah. Sementara di sisi lain, orangtuamu sudah menagih gelar sarjana. Rasanya kamu ingin menyerah saja.
Jika demikian, kisah berikut ini semoga bisa membangkitkan motivasimu untuk menyelesaikan kuliah. Safrina Rovasita, seorang penyandang kelumpuhan otak yang berhasil menyelesaikan kuliah meski dengan keterbatasan fisiknya, membuktikan bahwa tidak ada yang mustahil jika seseorang benar-benar berusaha.
ADVERTISEMENTS
Jika malas jadi alasanmu berat menyelesaikan kuliah, lihatlah Safrina yang hampir rampung studi pascasarjana. Malas tidak ada dalam kamus hidupnya!
Safrina Rovasita lahir dan besar di kota pelajar – Yogyakarta. Kelumpuhan otak (cerebral palsy) membuatnya sukar untuk mengendalikan gerakan anggota badan dan sukar berbicara. Akan tetapi, keterbatasan fisik tak menghalangi wanita kelahiran 1 Mei 1985 tersebut untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang S2.
Sebagian kamu saat ini mungkin tengah malas-malasnya berkutat dengan tugas kuliah dan skrispsi, namun tidak demikian dengan Nina (sapaan akrab Safrina). Kesempatan untuk berkuliah di kampus negeri, dijalaninya dengan sangat baik. Terbukti dengan berhasilnya Nina meraih gelar sarjana dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dengan IPK yang 3,25 dalam waktu 3,5 tahun saja! Perjuangannya ini membuat Safrina menjadi penyandang CP ketiga yang berhasil lulus universitas di Indonesia.
Saat ini Nina sendiri tengah menempuh S2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Bimbingan Konseling Islam. Calon master yang penuh inspirasi!
ADVERTISEMENTS
Tidak hanya keren di prestasi akademis. Selama di kampus, Safrina juga aktif di himpunan dan dunia kepenulisan
Masa kuliah juga tak hanya dihabiskan Nina dengan belajar saja. Ia terbilang aktif di himpunan mahasiswa jurusannya serta dunia kepenulisan. Khusus di dunia tulis-menulis, beberapa tulisan Nina bahkan sudah terpampang di sejumlah koran di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Nina juga pernah merih juara 2 Lomba Menulis Kisah Nyata Merapi yang terinspirasi dari pengalamannya saat menjadi relawan merapi di tahun 2010. Selain itu, Nina juga turut aktif di Forum Lingkar Pena (FLP).
ADVERTISEMENTS
Walau nilainya bagus, Safrina dulu ditolak banyak sekolah. Bahkan sempat dikira menderita keterbelakangan mental
Masa peralihan dari jenjang SD ke SMP, serta SMP ke SMA, selalu menyisakan kekecewaan bagi Nina. Keterbatasan fisik yang dideritanya membuatnya kerap ditolak sejumlah sekolah favorit, padahal nilai NEM-nya mencukupi. Ketika duduk di bangku SD dulu, Nina yang bersekolah di SLB Kalibayem Yogyakarta ini sempat diduga menderita keterbelakangan mental oleh beberapa gurunya. Namun, nilainya yang selalu bagus membuat Nina akhirnya dipindahkan ke kelas khusus yang kurikulumnya hampir sama dengan sekolah umum.
ADVERTISEMENTS
Namun kini Safrina sudah bergelar sarjana. Ia bahkan tengah sibuk mengejar gelar master agar bisa jadi dosen nantinya
Saat ini Nina tengah melanjutkan studinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Bimbingan Konseling Islam. Ia bercita-cita ingin menjadi dosen. Oleh karena Nina ingin mengajar para mahasiswa calon guru CP (cerebral palsy) atau penyandang berkebutuhan khusus lainnya. Alasan Nina lebih memilih menjadi dosen ketimbang guru berkebutuhan khusus di kemudian hari adalah ia menyadari bahwa sebagai penyandang CP, ia memiliki keterbatasan untuk ruang gerak. Sementara itu murid-muridnya yang berkebutuhan khusus, justru akan aktif bergerak ke sana-sini.
ADVERTISEMENTS
Safrina saat ini menjadi pengajar di sekolah luar biasa. Semangat berbagi ilmu tentu bisa kamu pelajari darinya
Meski sudah berpendidikan tinggi, tak lantas menyurutkan tekad Nina untuk berbagi ilmu. Karenanya selepas menamatkan gelar sajana, ia bekerja sebagai guru tidak tetap di sekolah berkebutuhan khusus Yapenas Yogyakarta. Ia menjadi guru untuk anak-anak penyandang tuna grahita serta penyandang CP seperti dirinya.
Meski awalnya banyak yang meragukan kemampuannya, namun Nina berhasil membuktikan bahwa ia mampu menjadi guru yang baik bagi anak didiknya. Seperti ketika salah seorang muridnya mengalami kesulitan menulis, Nina menyiasatinya dengan mengajari sang murid mengetik di notebook. Detail seperti ini menjadi kelebihan Nina ketimbang guru lain. Sebagai penyandang CP ia memiliki pemahaman lebih tentang murid-muridnya yang juga penyandang CP serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.
ADVERTISEMENTS
Segala pencapaian Safrina saat ini tak lepas dari gigihnya sang Bunda mengajarinya banyak hal. Ibunda, malaikat tanpa sayap bagi Safrina
Beruntung Nina memiliki ibu yang luar biasa sabar dan gigih mengajarinya banyak hal. Sang Ibu, Masriyah, mengajarkan Nina dari mulai caranya memakai baju, mandi, Â membersihkan diri, menggunakan tampon, hingga menjelaskan tentang pendidikan seks yang sederhana. Sejak kecil, keluarganya tak membeda-bedakan Nina dengan kakak-kakaknya. Orangtuanya membiasakan Nina untuk menjadi pribadi yang mandiri. Hal tersebut sangat terasa dampaknya ketika Nina sudah beranjak dewasa. Ia menjadi seseorang yang mandiri dan berprestasi.
Dari Sang Ayah, Safrina belajar menulis. Melalui tulisan Nina bisa mengungkapkan isi hati dan pikirannya.
Menyandang kelumpuhan otak menyebabkan Nina sukar berbicara. Karenanya, Ayahnya, Suprapto, mengajarinya menulis. Yup, sebab melalui tulisan Nina bisa mengungkapkan apa yang tengah dirasa dan dipikirkannya. Apa yang diajarkan sang Ayah pada Nina sangat bermanfaat bagi dirinya saat ini. Terbukti, Nina aktif di dunia kepenulisan dan sudah menelurkan sejumlah karya yang terpajang di beberapa surat kabar Yogyakarta dan Jateng. Nina memang kesulitan menulis dengan tangan, karenanya buah pikiran dan isi hatinya ia sampaikan via tuts keyboard netbook atau komputer.
Banyak yang masih awam tentang cerebral palsy. Kisah Safrina ini membuat kita sadar untuk tidak memperlakukan mereka sebagai ‘warga kelas dua’
Cerebral palsy adalah suatu kelainan atau gangguan kontrol terhadap fungsi motorik dalam susunan saraf pusat yang sedang berkembang. Seperti halnya mereka yang berkebutuhan khusus, penyandang CP masih menjadi warga kelas dua di Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang mendapat diskriminasi lantaran keterbatasan fisik mereka. Seperti yang diketahui, penyandang CP memiliki kesulitan untuk berbicara dan mengontrol gerakan anggota tubuh mereka, termasuk kesulitan berjalan.
Sebagian kamu mungkin belum banyak yang mengetahui, hasil penelitian mengungkapkan bahwa 25% penyandang CP memiliki intelegensi rata-rata (normal). Sementara itu 30 % menunjukkan penyandang CP yang memiliki IQ di bawah 70. Sekitar 50 % penyandang CP mengalami kesulitan bicara dan 35 % diantaranya disertai gejala fisik kejang.
Sebagai penderita CP, Safrina sebenarnya bisa saja menggunakan banyak alasan untuk tidak belajar apalagi menyelesaikan kuliah. Tapi ia tidak melakukannya. Safrina justru membuktikan bahwa keterbatasan fisiknya bukan jadi alasan yang menghalanginya menggapai cita-cita.
Jika Safrina yang memiliki kekurangan fisik saja bisa, kamu yang dianugerahi fungsi tubuh sempurna seharusnya bisa jauh lebih bersemangat menuntaskan pendidikan. Ketika tengah jenuh kuliah misalnya, kamu bisa meniru semangat Safrina yang mampu menyelesaikan apa yang ingin kamu selesaikan tersebut. Yup, tidak ada dispensasi untuk segala bentuk kemalasan, bukan?
#SalamMotivasiHipwee