Nama Ima Matul Maisaroh menjadi bahan pembicaraan netizen Indonesia dan luar negeri beberapa bulan belakangan. Kiprahnya sebagai aktivis anti perdagangan manusia membawanya menjadi seorang politikus sekaligus public-speaker yang dikagumi di dunia. Tapi ada kisah pilu dibalik kesuksesannya di Amerika. Ima adalah mantan TKW Indonesia yang menjadi korban kekerasan majikannya.
Perempuan lugu asal desa Gedhanglegi, Malang Jawa Timur ini sudah mengalami begitu banyak hal dalam hidupnya. Sebagai korban perdagangan manusia, Ima sudah kenyang dengan segala penderitaan dan siksaan. Tapi alih-alih menyerah, Ima memutuskan untuk berdiri tegak dan melawan.
ADVERTISEMENTS
Ima remaja merasa mendapat jalan untuk mengejar cita-cita. Tergiur oleh tawaran kerja kepada seorang keturunan Indonesia, dia berangkat ke Amerika
Seperti yang sering terjadi pada perempuan desa, Ima menikah di usia yang sangat muda. Dia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMK, dan terpaksa putus sekolah karena dilamar oleh pria yang usianya 12 tahun lebih tua. Pernikahannya yang tidak bahagia membuatnya nekat kabur dan mengadu nasib sebagai calon TKW di sebuah PJTKI. Sebelum diperbolehkan berangkat ke Hongkong, Ima diharuskan magang menjadi pramusiwi di sebuah keluarga di Malang.
Orang yang memperkerjakannya di Malang mengatakan bahwa dia punya sepupu di Amerika yang sedang membutuhkan pembantu. Dengan iming-iming bayaran 150$, kira-kira snilai 1,9 juta pada masa itu, Ima pun tergiur. Membatalkan niatnya untuk ke Hongkong, Ima berangkat ke Amerika dengan sejuta mimpi yang dia punya. Sayangnya, kenyataan tidak seindah yang dibayangkan.
ADVERTISEMENTS
Di usia 17 tahun, Ima berangkat ke Amerika seorang diri. Dia sadar bahwa dia terjebak perdagangan manusia. Kerja 18 jam sehari atau lebih sudah biasa
Ima mendarat di Amerika pada usia 17 tahun. Sendirian, dan tidak mengenal siapapun. Hal aneh pertama yang terjadi adalah majikannya langsung meminta passport Ima dan menahannya. Ima diharuskan bekerja lebih dari 12 jam per hari, tidak ada hari libur, ada siksaan setiap kali Ima melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Gaji $150 yang dijanjikan tidak pernah dia dapatkan. Majikannya juga mengancam Ima untuk tidak bicara dengan siapapun.
Ima sadar bahwa dia terjebak dalam perdagangan dan perbudakan manusia. Tapi ketakutannya kepada majikan membuatnya tidak terpikir untuk melarikan diri. Apalagi Ima memang tidak mengenal siapapun di sana. Majikannya mengancam, jika Ima berani kabur, polisi akan menangkapnya dan menjebloskannya dalam penjara, di mana dia bisa menerima siksaan yang lebih hebat.
ADVERTISEMENTS
Tiga tahun menjalani siksaan, Ima memutuskan untuk menyelamatkan diri. Dengan bantuan tetangga sebelah rumah, Ima mendatangi CAST
Ima membutuhkan waktu tiga tahun untuk memupuk keberanian. Karena sudah tidak tahan dengan siksaan yang diterima, pada tahun 2000, Ima nekat menulis surat permintaan tolong kepada tetangga sebelah. Setelah melewati waktu yang lumayan panjang karena bahasa inggris yang pas-pasan dan ketakutan akan ketahuan, akhirnya Ima bisa memberikan surat kepada tetangganya. Tidak lama, tetangganya mengatur aksi melarikan diri Ima dan membawanya ke kantor CAST (Coalisation to Abolish Slavery & Trafficking), sebuah organisasi masyarakat melawan segala bentuk perbudakan dan perdagangan manusia.
ADVERTISEMENTS
Selama di CAST, Ima mendapat berbagai pelayanan. Mulai dari support group, kursus, bahkan disekolahkan. Akhirnya, Ima bisa menjalani kehidupan yang layak
Ima berhasil mendapatkan passportnya kembali setelah menemui mantan majikannya dengan didampingi Agen FBI dan CIA. Namun Ima enggan melaporkan tindakan majikannya, karena proses yang berbelit-belit dan tidak cukupnya bukti. Sebagai gantinya, di CAST, Ima mendapat banyak dukungan. Mulai support group sampai kursus keahlian. Ima juga belajar Bahasa Inggris dengan baik dan skill kepemimpinan. Di sinilah Ima mendapat titik terang dalam hidupnya. Ima mulai merasakan kehidupan yang layak dan berani menyusun rencana masa depan.
ADVERTISEMENTS
Belajar dari pengalaman hidupnya, Ima mengabdikan diri di CAST untuk membantu Human trafficking. Suaranya lantang menentang perbudakan
Alih-alih pulang ke Indonesia, demi rasa aman, Ima memilih untuk tetap tinggal di Negeri Paman Sam. Karena pengalaman hidupnya yang pilu, Ima memutuskan untuk bekerja di CAST yang telah menolongnya. Ima menjadi aktivis yang keras terhadap segala jenis perbudakan dan perdagangan manusia. Ima mengabdikan hidupnya untuk mengulurkan tangan untuk menyelamatkan orang-orang yang mengalami nasib buruk yang sama seperti dirinya.
ADVERTISEMENTS
Karena perjuangannya, Ima diundang menjadi salah satu pembicara pada konvensi Partai Demokrat. Sejak Desember 2015, Ima juga menjadi salah satu penasihat Obama
Perjuangannya memberantas human trafficking itulah yang mempertemukannya dengan Barrack Obama dan pejabat Amerika lainnya. Berkat dedikasinya yang tinggi dalam hal kemanusiaan, Ima diangkat menjadi salah satu dari 11 anggota dari tim The President’s Interagency Task Force to Monitor and Combat Trafficking in Persons (PITF).
Apa itu PITF?
Mudahnya, itu adalah tim penasihat Presiden yang bertugas memantai kasus-kasus perdagangan manusia baik di Amerika ataupun di dunia. Fokus dari tim ini adalah memperkuat aturan hukum, meningkatkan kesadaran manusia, serta memberikan pertolongan terhadap korban-korbannya.
Sosok Ima kini menjadi pahlawan bersama di Amerika. Kegigihannya untuk berjuang lepas dari penderitaan menginspirasi banyak orang. Di tanggal 26 Juli lalu, Ima juga diundang menjadi pembicara pada Konvensi Partai Demokrat yang sudah menetapkan Hillary Clinton sebagai calon presiden yang diusung.
Manusia sering dihadapkan dalam posisi yang sulit dan terjepit. Situasi di mana kita merasa tidak ada jalan keluar, sehingga yang bisa kita lakukan hanya menerima. Penderitaan dan kesakitan dianggap sebagai sesuatu yang ‘sudahlah, terima saja’. Tapi tentu saja tidak. Karena bila kamu yakin kamu lebih kuat dari dunia, kamu bisa keluar, meski sesempit apa situasi menjepitmu.
Selain tentang perjuangan dan usaha untuk bertahan, ada hal lain yang bisa kita pelajari dari sosok Ima. Yaitu kepedulian. Seperti kata Ima: Human trafficking is not just happening overseas; it is happening right here in our backyard. Sebagai manusia, kita harus saling peduli, bukan hanya kepada sesama, tetapi juga semua makhluk yang ada di alam semesta. Kalau bukan kita, siapa lagi?