Pernah aku membayangkan kehidupan selepas kuliah berjalan begitu cepat. Pikiran yang polos (dan naif) berkhayal bahwa semuanya akan baik-baik saja dan cemerlang setelah aku menjadi sarjana. Mendapat pekerjaan sesuai keinginan, gaji yang besar standar ibukota, jenjang karier yang jelas, dan tentu saja finansial yang mapan dan bisa mencukupi kebutuhan orangtua.
Namun di usia 25, ternyata kenyataan yang kuhadapi berbeda. Baru kusadari bahwa ekspektasiku terlalu tinggi. Yah, meski banyak anak muda yang sudah stabil secara finansial dan tidak lagi takut menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. Tapi yang jelas, impianku untuk mandiri dan stabil secara finansial masih jauh dari harapan. Karena justru hal-hal ini yang kurasakan.
ADVERTISEMENTS
1. Dulu kukira usia 25 gaji sudah besar dan hidup berkecukupan. Ternyata kondisi keuangan masih begini-begini saja
Tiga tahun pengalaman bekerja kukira sudah cukup jadi alasan untuk mendapat penghasilan besar. Tapi nasib menjadi karyawan biasa, ternyata kondisinya masih begini-begini saja. Perbedaan jelas ada. Setidaknya penghasilanku tidak lagi sebatas UMR yang hanya cukup untuk hidup sebulan. Tapi bayangan tentang gaji dua digit di usia dua puluh lima itu jelas-jelas harus dilupakan.
ADVERTISEMENTS
2. Niat untuk menabung sudah ada sejak dahulu kala. Tapi ternyata terlalu banyak excuse yang saya buat untuk menunda
Manusia memang sangat pandai berencana. Sejak hari pertama bekerja, sudah kurencanakan untuk menabung sekian nominal setiap bulan. Sempat juga aku berpikir untuk menabung dalam bentuk dollar atau mata uang lainnya supaya cepat profit dan lebih aman. Sayangnya sampai hari ini belum kesampaian. Mau beli ini dulu, pengin beliin orang tua ini itu, nanti saja deh mulai nabungnya. Terlalu banyak excuse yang saya buat, sampai-sampai menabung itu hanya wacana.
ADVERTISEMENTS
3. Kebutuhan mendadak sering datang tiba-tiba. Uang yang seharusnya diinvestasikan justru terpakai ataupun terbuang
Bukan hanya menabung dollar, sudah sejak lama aku memikirkan soal investasi. Apalagi sekarang investasi tak harus dalam jumlah besar. Cerita teman-teman tentang investasi terjangkau tapi tetap menguntungkan membuat hati ini selalu tergiur. Sayangnya, seringkali uang untuk investasi terpakai untuk berbagai kebutuhan mendadak. Charger laptop rusak, ponsel dicuri orang, biaya berobat ke dokter. Dana bulanan yang pas-pasan membuat simpanan banyak terpakai saat hal-hal darurat terjadi.
ADVERTISEMENTS
4. Rasa lelah karena berbagai tekanan mengundang hasrat untuk bersenang-senang. Meski sesal datang kemudian
Saya tahu bahwa hidup hemat adalah solusi untuk gaji yang tak seberapa. Toh, sebenarnya cukup tidaknya uang itu cuma soal gaya hidup saja. Tapi merantau sendirian di kota besar membuat tekanan terasa jauh lebih besar. Biaya bersenang-senang itu tidak bisa diabaikan, karena saya butuh penghargaan terhadap diri sendiri yang sudah kerja keras setiap hari. Yah, meski setelah itu ada sesal di dalam hati karena sebenarnya uangnya bisa disimpan untuk nanti-nanti.
ADVERTISEMENTS
5. Mimpi beli properti dan kendaraan pun harus dilupakan. Karena sudah diatur sedemikian rupa, kadang bujet bulanan masih bocor juga
Dulu aku juga pernah bercita-cita beli properti di usia muda. Toh, sekarang KPR sudah banyak dan bisa disesuaikan dengan penghasilan. Bila belum bisa rumah, mungkin bisa mulai dengan mobil supaya bisa mengajak jalan-jalan orangtua dengan lebih mudah. Tapi tentu saja saat ini itu hanya wacana. Bujet yang disusun setiap bulan dengan begitu teliti masih sering mengalami kebocoran. Kadang penghasilan raib tanpa kejelasan.
ADVERTISEMENTS
6. Kadang diri ini bertanya-tanya. Memang pencapaian yang belum sepadan, ataukah diri ini yang payah dalam mengatur keuangan?
Membuka Instagram terasa lebih menyiksa dari biasanya. Kegembiraan orang wara-wiri di sana. Satu unggahan foto liburan teman pun terasa menyiksa saat dilihat. Di puncak kecewa atas ekspektasi itu, aku sering bertanya-tanya: Apakah ada yang salah dengan caraku menjalani hidup? Sudah benarkah caraku mengatur keuangan? Mengapa sekian lama berlalu, semuanya masih terasa begini-begini saja? Atau salahkah pilihan karier yang kuambil sedari awal?Â
7. Rasa iri itu memang muncul seringkali. Meski aku lebih suka menganggapnya sebagai lecutan untuk instrospeksi
Bukannya aku bahwa senyum di Instagram itu belum tentu menunjukkan hidup yang sesungguhnya. Bukannya aku tak tahu bahwa memakai standar orang lain untuk tolok ukur bahagia itu sangat menyiksa. Rasa iri itu muncul seringkali tanpa bisa dicegah. Tapi aku menganggapnya sebagai stimulus introspeksi saja. Barangkali ada sesuatu yang harus diperbaiki. Bisa jadi pengaturan bujet yang kacau atau memang konsumsi yang kacau balau dan tidak terkontrol lagi.
8. Perjalanan untuk mencapai kestabilan finansial memang masih panjang. Tapi setidaknya, aku masih bisa makan sampai kenyang dan liburan tipis-tipis
Tahap mandiri dan stabil secara finansial memang masih menjadi cita-cita. Bisa jadi perjalanannya masih sangat panjang, mengingat dompet langsung sekarat saat terlalu khilaf dalam bersenang-senang. Tapi hal ini juga bukan tanpa pelajaran. Setidaknya aku jadi belajar untuk mengatur ekspektasi agar tak terlalu kecewa bila tak tercapai. Setidaknya, meski tak bisa beli-beli properti dan rutin liburan setiap bulan, aku masih bisa makan sampai kenyang dan beli barang-barang kebutuhan tanpa kesulitan.
Untukmu yang sedang mengalami hal yang sama, tetap semangat ya. Sudah bukan hal baru bahwa ekspektasi tak sesuai dengan realitas. Hal itu tak melulu berarti kamu sudah gagal juga. Karena meski masih jauh, kita sudah setengah jalan menuju ke sana. Meski belum bisa membelikan ini dan itu untuk orangtua, setidaknya kita bisa memenuhi kebutuhan sendiri tanpa merepotkan mereka.