“Kita akan sedih melihat sahabat kita gagal, tapi kita akan lebih bersedih melihat teman kita lebih sukses dari kita.” – Film 3 Idiots
Terkadang ungkapan ini benar adanya. Bagi kita, keberhasilan teman adalah hal yang patut dirayakan. Namun ketika teman-teman sepermainan mulai mendapatkan kerja di tempat idaman, banyak hal yang berubah. Teman semakin sulit diajak berjumpa karena mereka sibuk bekerja sampai larut malam, penampilan mereka berubah jadi lebih berkelas, sementara kamu masih gitu-gitu aja.
Ada saatnya kamu menyelamati mereka yang mulai bisa mencicil rumah sendiri, membayar kredit kendaraan, dan menabung untuk pernikahan. Kamu tulus bahagia untuk mereka. Tapi jauh di lubuk hati, kamu membandingkan mereka dengan dirimu sendiri, yang masih berkutat di persoalan mengelola uang makan setiap bulan.
ADVERTISEMENTS
Konon katanya, rezeki nggak akan tertukar. Kamu menabahkan diri, berharap tak lama lagi giliranmu segera tiba
Setiap orang punya potensinya sendiri. Setiap orang juga punya jalan hidupnya masing-masing. Tidak akan tertukar segala hal yang sudah tergaris untuk setiap manusia, itu yang kamu percaya. Karenanya, ketika teman-teman sudah mulai menemukan jalan terangnya dan jalanmu masih gelap juga, kamu mencoba sedikit bersabar lagi. Bukan karena kamu tak bisa seperti mereka, tapi karena rezekimu belum tiba. Kamu harus lebih gigih mengusahakannya. Agar suatu saat bisa seperti, bahkan lebih dari mereka.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Usaha demi usaha yang kamu lakukan tak jarang bertemu dengan kegagalan. Ketika mereka melesat di depan, kamu justru harus mulai lagi dari awal
Berkali-kali gagal diterima di tempat kerja idaman, kamu terpaksa meninggalkan segala idealisme yang dengan bangga kamu ucapkan di bangku perkuliahan. Ternyata mencari kerja tidak semudah itu. Ternyata dunia yang ideal yang tertinggal di pikiranmu samar-samar runtuh oleh dunia nyata, saat rekening bulanan harus tetap terisi juga.
Karena dapur di rumah harus tetap mengepul, dan saudara-saudara harus tetap bersekolah, kamu memutuskan menerima panggilan wawancara dari kantor yang tidak begitu kamu sukai. Lalu kamu diterima bekerja di sana, memulai segala sesuatu dari awal, karena tugasmu berkaitan dengan banyak hal yang belum pernah kamu tekuni sebelumnya. Hal-hal yang bahkan tidak pernah kamu bayangkan akan kamu jadikan keseharian.
Syukur dalam hatimu kamu ucapkan. Setidaknya saat ini kamu punya pekerjaan.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Ketika teman bercerita hal-hal luar biasa yang mereka lakukan di pekerjaan, kamu hanya mendengarkan. Ceritamu masih terlalu remeh untuk diperbincangkan
Kamu mulai bertemu lagi dengan teman-teman lamamu. Momen makan malam sehabis kerja jadi pilihan kalian untuk bertemu. Temanmu menyebut nama sebuah restoran mahal. Sebenarnya jauh terjangkau oleh kemampuanmu untuk harga sekali makan, namun demi sebuah pertemuan ajakan itu kamu iyakan. Seperti yang direncanakan, pertemuan kalian diwarnai dengan nostalgia dan tawa canda ringan. Sampai ketika teman-temanmu giliran menceritakan tentang pekerjaannya, promosi kerjanya, kesempatan bertemu orang-orang penting, tempat-tempat baru yang mereka jelajahi, serta bisnis pribadi yang semakin berkembang.
Dalam riuh tepuk tangan itu, kamu merasa semakin kerdil.
ADVERTISEMENTS
Jangankan merencanakan liburan, untuk mengatur uang makan bulanan di kota orang pun kamu masih kesusahan
Terlintas di benakmu, apakah ini alasan mengapa pertemanan lama kelamaan akan semakin merenggang? Jurang perbedaan yang semakin membentang di depan mata membuatmu dan mereka seakan tidak pantas berada di satu tempat yang sama. Mereka berbicara tentang bonus tahunan yang tidak sesuai dengan harapan. Tahun ini mereka sudah merencanakan liburan untuk tahun depan. Mereka ingin menjajaki karier yang lebih menantang lagi. Bagi mereka, urusan keuangan tiap bulan bukan jadi sesuatu yang mengkhawatirkan lagi.
Dan kamu masih di situ-situ saja. Memutar otak agar gajimu yang tak seberapa bisa membayar berbagai tagihan biaya hidup yang semakin mengkhawatirkan.
Namun dalam keadaan yang seperti ini pula kamu bertemu teman-teman baru yang menyempurnakan perjuanganmu
Nasib yang sama seringnya mempertemukan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Dalam perjuanganmu menuju kemapanan, kamu bertemu orang-orang luar biasa yang mencurahkan perhatiannya untuk bekerja namun tak lupa menjadi manusia. Materi tak membutakan arah hidup mereka yang sebenarnya. Bagi mereka, hidup berkecukupan jauh lebih baik daripada hidup berlebihan. Dari mereka kamu belajar bahwa dalam hidup ini, ada hal-hal yang memang harus diprioritaskan daripada sekadar pamer keberhasilan.
Kamu mulai percaya kembali, akan ada masa kesuksesan itu akan datang. Dan ketika masa itu tiba, kamu berjanji tidak akan melupakan hal-hal penting yang memanusiakan hidupmu.
Terkadang kamu sampai menertawakan kesusahanmu sendiri. Biar tidak punya uang asalkan masih bisa tertawa lapang
Katanya, kita bisa mengetahui maknanya pasrah jika sudah bisa menertawakan kemalangan diri sendiri. Masa-masa perjuangan yang kamu rasakan saat ini tak jarang juga membuatmu tergawa geli. Kamu teringat betapa naifnya dirimu yang dulu, yang menginginkan banyak hal tapi belum tahu harga pengorbanan yang harus diberikan. Kamu juga ingat masa-masa di mana masalah terbesar adalah nilai ujian jelek yang membuatmu harus mengulang mata kuliah di semester berikutnya, atau kemarahan dosen atas kemalasanmu mengerjakan tugas yang kamu pikir tidak masuk akal.
Sekarang semuanya baru terasa jelas. Kamu banyak belajar dari pengalamanmu menggantungkan hidup dengan usaha sendiri. Meski masih tertatih-tatih, kamu selalu bisa menemukan hal-hal sederhana untuk ditertawakan.
Berbanggalah, kamu masih bisa menemukan cara untuk bahagia.
Segala pahit dan sulit biar kamu saja yang tanggung sendiri. Walau masih jauh dari mapan, kepentingan keluarga selalu kamu utamakan
Walau kamu masih kesulitan bertahan hidup di tempat perantauan, janjimu pada dirimu sendiri untuk selalu mendahulukan kepentingan keluarga di kampung halaman selalu kamu pegang.
Orangtuamu di rumah selalu menolak uang yang rutin kamu kirimkan. “Untuk hidup di sana saja,” begitu kata mereka. Tapi penghasilanmu yang kamu sisihkan itu selalu dengan cerdik kamu selipkan di setiap kesempatan. Biar, biar kamu saja yang kelaparan. Mereka tidak perlu tahu perjuangan pahit yang setiap hari kamu jalani, karena sudah saatnya mereka yang kamu sayangi tak kesusahan hidup lagi.
Segala penat dan keringat itu terbayar ketika ibumu menelepon dengan suara pelannya yang membuatmu rindu,
“Terima kasih, Nak. Ayah sudah bisa dibawa berobat. Adik juga sudah bisa bayar tunggakan uang sekolah. Kamu di sana tolong jaga kesehatan.”
Dan tanpa kuasa, air matamu mengucur di sepertiga malam.