Hey G!
Yeah, bolehkah aku memanggilmu G? Akronim dari “God”, tentu saja. Belakangan aku memang sedang mencari cara agar kau kembali terasa akrab. Sudah lama rasanya kita tidak lagi begitu dekat.
Bagaimana perasaanMu, G? Apakah kau kesal padaku yang sering datang-pergi sesuka hati? Atau kau merasa aku seperti pasangan matre yang tak datang lagi selepas kebutuhan terpenuhi?
Setelah jeda yang cukup panjang, bolehkah jika hari ini kita duduk bersisian? Kita tuntaskan kerinduan, kita bagikan cerita yang selama ini terpendam di halaman belakang.
Hari ini, aku pulang padaMu. Semoga Kau berkenan membuka pintu, demi salah satu Hamba bandelMu.
ADVERTISEMENTS
G, sebenarnya kau tak ubahnya kawan lama. Kau mengerti seluruh rahasiaku sampai ke lapisan terdalamnya
Aku masih ingat bagaimana hingga 15 tahun lalu Kau-lah yang selalu pertama tahu segala keinginan dan rahasiaku. PadaMulah kuminta kekuatan untuk belajar sampai malam, demi bisa diterima di SMP yang kuinginkan. PadaMu juga sempat kupanjatkan doa diam-diam, supaya pria yang kutaksir membalas perhatian.
Kita bertemu di ujung-ujung malam. KakiMu tak pernah lupa kukecup sebelum pagi menjelang. Terkadang permohonan tulusku disisipi tangisan — sebab hanya padaMu aku merasa bebas menunjukkan kelemahan.
Saat itu, aku selalu percaya bahwa Kau mendengar. Selama aku meminta dengan gigih, segala permohonan pasti bisa Kau kabulkan.
Dari semua entitas di dunia Kau sempat jadi yang terasa paling bisa dipegang janjiNya.
Sampai momen perubahan itu tiba….
ADVERTISEMENTS
Seiring umur yang kian dewasa, telah kucoba banyak sisi yang ditawarkan dunia. Dan kuyakin, Kau pun turut ambil andil dalam mengatur arah kompasnya
Kau menempatkanku di universitas tempatku harus belajar untuk jadi lebih dewasa. Di sana kutemui kawan-kawan yang prestasinya membuat silau mata. Di hadapan mereka aku merasa belum jadi apa-apa jika tak belajar keras di malam sebelumnya.
Kau pertemukan aku dengan staf pengajar yang tak hanya suportif, tapi juga menantangku keluar dari cangkang kenyamanan. Aku pergi ke beberapa benua, menemui orang-orang baik yang akan kusebut kawan selamanya.
Perlahan tapi pasti, Kau mengajarkanku untuk bertanggungjawab pada pilihan yang sudah kuambil sendiri.
Kutahu Kau tak sepakat melihatku menjalin cinta sebelum waktunya. Tapi Kau tak memutuskan seenaknya: Kau biarkan aku jatuh hati pada orang yang salah. Dari balik layar Kau jadi saksi mata bagaimana kami berpisah.
Pada masa-masa ini Kau mulai jarang kujumpai. Aku merasa mampu menghadapi segalanya di atas kaki sendiri.
Tapi tak sepenuhnya aku pergi: ketika ingin meraih mimpi, takut setengah mati, dan sedang patah hati — Kau akan menemukanku kembali di dalam rumahMu. Berubah jadi hamba manis yang dulu begitu mempercayaiMu.
ADVERTISEMENTS
Kau perlu tahu satu fakta tentang yang kurasa saat meninggalkanMu. Bukannya aku tak rindu, aku hanya terlampau…. malu
Hidup terus bergulir. Kebaikan dan kesalahan datang silih berganti. Tapi kali ini aku merasa bukan jadi hamba manisMu yang dulu lagi.
Dahulu, meski nakal dan berjalan serong ke kanan-kiri paling tidak aku tahu batasan yang tak boleh dilanggar sendiri. Namun tidak dengan kali ini. Kubiarkan diriku terjun bebas tanpa pengaman di sisi.
Jujur saja, aku merasa gagal sebagai manusia. Hati dan karir yang kubangun susah payah porak poranda. Nama baik dan citra yang kujaga juga sudah dibuang ke luar jendela. Apalagi yang kupunya?
Mulai saat itu, aku memilih jadi nomaden sementara. Kutinggalkan diriMu, Tuhan baik yang selama ini sabar mendengar segala cerita. Semua agenda pertemuan denganMu kuhindari.
Jangankan bertemu — menyebut namaMu saja aku tak mau.
Bukannya aku tak rindu, G. Tak cuma sekali-dua kali aku bangun di tengah malam kemudian merasa kosong juga tak tenang. Hidupku terus berjalan, tapi kini tak ada lagi kendali yang bisa diandalkan.
Aku tak tahu harus bertanya ke siapa setiap kebimbangan melanda. Kekuatanku juga seperti aki yang terlambat diisi — tak bisa diandalkan lagi. Sebab kini tak ada lagi Kau yang bisa kumintai cadangan energi.
Orang-orang di sekeliling bilang aku harus banyak berdoa agar hati kerasku bisa lunak lagi. Aku hanya mengangguk, tersenyum kecil, lalu berlalu. Apa yang mereka tahu? Aku tak membenciMu, G. Sungguh, jika boleh jujur aku bahkan rindu. Hanya saja, aku malu juga tak tahu.
Jika aku kembali, maukah Kau menerimaku? Hamba yang dulu manis tapi kini sudah penuh luka dan lebam biru?
ADVERTISEMENTS
Jika menilik lagi ke belakang, sungguh aku ingin mengikik saat ini. Sebab kini kusadari. Meski tak kudatangi, sedikitpun Kau tak pernah pergi
Walau aku kian jarang menyapaMu, ternyata Kau tak begitu saja melepaskanku dari awasnya mataMu. Kau memang punya hati yang besar dan penuh kasih, G.
Kau mengetuk hatiku lewat pemandangan kawan yang bersujud di depan mata, ketika jeda antara waktu makan siang dan jam kerja. Kau titipkan panggilanMu lewat pesan singkat Ibuku yang bertanya apa aku sudah mencumbuiMu di Hari Minggu.
Kau membongkar kesalahanku di depan orang-orang terdekat, supaya mereka segera mengingatkan dan mendekat. Tanganmu yang dulu kukecup setiap hari kini berganti jadi lengan keluarga dan sahabat yang selalu mendampingi.
Mereka yang tetap keras kepala bertahan di samping diri yang tengah brengsek-brengseknya ini. Sementara yang lain pergi.
Baru kini kusadari, semua itu tak mungkin terjadi jika bukan Kau yang ambil kendali. Kau besarkan hati mereka, kau kuatkan keyakinan mereka atas perubahanku yang pasti tiba.
Saat aku terlalu angkuh untuk datang dan menyapa, Kau rela bermain peran — menyusup dalam hati dan uluran tangan orang-orang tercinta. Sedetikpun, sesungguhnya kau tak pernah membiarkanku tak punya daya. Kau, lewat berbagai cara, selalu ada.
ADVERTISEMENTS
Sebagai yang paling murah hati, kuyakin Kau pasti mengampuni. Aku tak bisa banyak berjanji. Tapi kali ini biarkan aku berusaha jadi hambaMu yang lebih baik, dengan caraku sendiri
Aku tahu waktuMu tak banyak, G. Masih banyak cerita dan masalah dari hambaMu yang lain yang menunggu untuk didengarkan. Di sisa waktu kita yang singkat ini, aku ingin menatap mataMu lama dan bersandar di bahuMu. Kali ini ijinkan aku kembali bermanja padaMu seperti versi hamba manisMu yang dulu.
Aku tidak menginginkan banyak hal, G. Setelah perjalanan panjang ini, mulai detik ini justru aku ingin belajar lebih banyak diam dan mendengar.
Akan kuganti permohonan, “Tuhan tolong aku ingin…” dengan “Tuhan, tolong tetapkan yang terbaik untukku.”
Pelan-pelan akan kuperbanyak benih-benih kebaikan. Supaya hati ini lebih peka mendengar bisikan petunjuk yang Kau sisipkan lewat udara yang menguar di kiri-kanan.
Sesal tak akan membuatku lagi jadi pesakitan. Sebab mulai saat ini aku akan membuka mata dan telinga untuk semua peringatan.
Aku belum berani berjanji akan jadi tamu rutin di shalat 5 waktu, ibadah Minggu, atau sujud panjang di tengah malam, G. Sesekali Kau masih akan menemukanku sedikit nakal — pacaran di belakang, menjalani kecup dan peluk singkat dengan orang yang disayang sebelum pernikahan, sampai menenggak larutan peringan otak bersama kawan di akhir pekan.
Tapi setelah semua yang kita jalani, aku hanya mau kau tahu bahwa kini aku tak akan lagi pergi tanpa permisi. Permainan petak umpet dan missing in action ini akan kusudahi. Kupastikan Kau tak lagi harus kerepotan mencari, pun susah payah menyelinap lewat orang-orang terdekat yang kau biarkan ada di sisi.
Kini giliranku berusaha mendekatiMu, merayuMu kembali datang dengan caraku sendiri. Sebab kuyakin Kau tak pernah ingkar janji. Langkahku mendatangiMu akan Kau balas dengan depa kaki. Jika kudatangi Kau sambil berjalan, Kau akan mendatangiku sembari berlari.
Hamba mohon, jadikan kesadaran ini tumpuan. Untuk perjalanan yang kelak lebih mengikuti marka jalan.
Terima kasih G, untuk monolog dua arah yang amat menyejukkan. Saatnya mundur, di belakangku ada segerombol curhat lain yang minta didengarkan.
Hambamu,
yang ingin kembali dekat