Menelisik tahun-tahun ke belakang, rasanya seperti mimpi bisa sampai di titik ini. Hapeku sampai jatuh terpelanting saking girangnya melihat pengumuman SBMPTN itu. Akhirnya aku diterima di kampus negeri favorit. Tak sabar kulangkahkan kaki ini tanah Jogja —kota yang katanya selalu istimewa itu. Namun sayang, keberangkatanku ke perantauan mesti ditunda. Bayangan-bayangan indah tentang perkuliahan menjadi suram semenjak Covid-19 menyerang.
Namaku Sinta Dewi, inilah ceritaku menjadi mahasiswa baru di masa pandemi..
—–
Kupandangi pohon mangga rimbun depan rumah. Daunnya berguguran tersapu angin. Beberapa anak kecil memanjat, memetiki buahnya, dan menyantapnya sebelum sempat jatuh. Salah satunya adalah Panjul. Sesekali mereka mengunyah, sesekali tertawa. Betapa bahagianya hidup menjadi anak-anak. Tanpa beban dan banyak teman.
“Drrrrt.. drrrrt”
“Ini link-nya teman-teman”
Getar hape membuatku bangkit dari rebah. Akhirnya mereka siap juga. Aku sampai ketiduran saking lamanya menunggu mereka. Janjinya jam 2 mau kerja kelompok tapi baru jam 3 mereka siap.
“Selamat siang teman-teman. Apa kabar semuanya? Semoga sehat selalu. Hmm.. apa ya.. sebelum kita ngobrol kayak kita perlu kenalan dulu deh. Kali aja ada yang belum kenal. Perkenalkan aku Ratih dari Bandung. Silakan lanjut ke yang lan”.
Ratih, Gita, dan Ageng. Mereka memperkenalkan diri masing-masing. Nama-nama yang sejatinya tidak asing namun baru kali ini aku dapat kesempatan berdialog langsung dengan mereka. Wajah-wajah asing. Satu sama lain masih terlihat malu-malu dan kaku – terutama aku. Kelompok ini baru terbentuk kemarin di perkuliahan Bu Ely. Kami diberi tugas untuk bikin makalah dan mempresentasikannya lusa besok.
Perkenalan Ageng sebentar lagi selesai. Degup jantungku seketika deg-degan. Aku tak terbiasa berbicara di depan orang banyak. Terlebih di hadapan orang-orang yang tidak kukenal secara dekat.
“Hmm.. assalamu’ailakum.. hmm.. selamat siang..”
Sial. Gugupku kumat lagi.
“Kameranya dinyalain dong, Sin. Nggak kelihatan mukanya” ucap Ageng.
Kuambil ponselku dan kubuka fitur kamera. Kulihat wajahku dari layar hape, berminyak dan kucel. Kurapikan rambutku yang terurai, kuusap wajahku dengan baju, kupegang ujung mataku barangkali masih ada belek tersisa. Malu kalau kelihatan jelek.
Tatap-tatap mata mereka mengusik batinku. Aku hanya bisa menunduk malu. Di antara puluhan anak di kelasku, hanya Rani lah teman yang paling dekat denganku. Sisanya, tak pernah kuhubungi kalau tidak ada urgensi seperti kerja kelompok seperti ini.
“Haai, halo semuanya. Perkenalkan namaku Sinta Dewi. Aku dari Pekalongan”
Aku berhasil melakukannya meski sempat terbata-bata di tengah kalimat. Ternyata tidak sesusah itu. Aku cukup beruntung karena mereka tak memperhatikan kecanggunganku dengan tetap melanjutkan obrolan.
—–
Sejak kuliah, aku mendapati ada model-model tugas baru; esai, makalah, kuis, dan presentasi tugas. Terus terang aku baru pertama kali dengar semua jenis tugas itu. Di sekolah dulu yang kutahu hanya PR dan tugas kelompok. Ketika masuk dunia perkuliahan, semua berubah. Dari mulai model tugas hingga proses belajar-mengajar beneran nggak sama.
Semaleman aku mempelajari makalah yang sudah disusun Ratih dan Gita. Kubaca juga file powerpoint yang dibuat oleh Ageng. Semoga aku bisa melakukannya. Meski ada Rangga, tetap aja aku gugup setengah mati.
“Apa aku telpon Aris aja, ya?”
Terus terang aku bingung. File presentasi ada belasan slide, sampai sekarang belum jelas pembagian jatah berbicara. Aku sudah mengirimkan pesan ke pada Aris satu jam yang lalu. Belum digubris. Sedang sibuk mungkin.
“Tuuuuut… tuuuut.. tuuuuut”
“Halo..”
Selain kata itu tak kudengar lagi suara Aris. Aku buru-buru mematikan telepon itu. Jantungku tiba-tiba berdegup tak beraturan. “Drrrt.. drrrt,” hapeku bergetar.
“Kenapa, Sin?”
“Gpp. Aku cuma mau tanya pembagian presentasi besok. Aku dapat slide berapa aja?”
“Oalah kukira apa. Aku ngikut kamu aja, Sin”
Jawaban yang sangat tidak melegakan. Alih-alih menenangkan, jawaban itu justru membuatku semakin bingung.
—–
“Yak, silakan kelompok selanjutnya”
“Kelompok berapa Bu?” sahut salah satu teman kelasku
“Hmm.. sekarang giliran kelompok 5”
Tibalah saatnya giliranku. Baik.
Aku memilih menjadi pembuka presentasi. Bagiku tugas ini lebih mudah dibanding harus menjelaskan sesuatu yang tidak benar-benar aku mengerti. Aku hanya perlu tenang dan melafalkan apa yang sudah kulatih semalaman. Resiko kerja kelompok jarak jauh adalah bikin kita tak sepenuhnya paham atas apa yang kelompok kita kerjakan. Mungkin cuma Ratih dan Gita yang paham karena mereka yang bikin makalah tersebut. Perihal Aris, aku tidak terlalu peduli.
Meski semua hal telah kusiapkan, tetap saja aku deg-degan. Kuhirup napas dalam-dalam. Kuempaskan pelan-pelan. Kuulangi selama 3 kali sembari menunggu file-ku siap.
“Selamat pagi temen-temen semua..”
“udah siang woy!” sambar salah satu anak kelasku
“Oh iya ding udah siang.. selamat siang teman-teman semua..Perkenalkan saya Sinta akan mewakili kelompok 5 untuk mempresentasikan tugas kami. Kelompok ini terdiri dari 4 orang..”
“Sama kamu jadinya 5, Sin” Ratih membenarkan
“Oh iya maksud saya 5.. maaf”
Kenapa semua pada menggangguku? Kenapa mereka tak membiarkanku menyelesaikan dan membenarkan kata-kataku sendiri? Aku benci saat-saat seperti ini. Aku tidak suka jadi pusat perhatian.
“Gimana sih temen sendiri dilupain,” celetuk salah satu anak kelas
“Iyanih hehehehe,” anak lain menyahut
Rasanya ingin kututupi muka lalu kusudahi saja pembicaraan ini. Jahil sekali mereka mengganggu presentasiku. Baru dibuka saja sudah banyak yang menyela, bagaimana nanti?
“Ssst.. kalau ada yang presentasi hormatin dong,” ucap salah satu cowok
Kalimat itu seketika bikin pertemuan jadi hening. Yang tadinya ketawa jadi diam, yang tadinya diam jadi semakin serius memperhatikan layar.
“Lanjut, Sin”
“Iya”
Aku melanjutkan pembukaan presentasiku. Aku benar-benar kaget ada yang menyelamatkanku dari tertawaan teman-teman. Teman-temanku pun kurasa bakal merasakan hal yang sama. Anehnya kalimat itu muncul bukan dari Bu Ely selaku dosen pengampu mata kuliah ini. Tapi dari Aris. Iya, Aris.
Jatah slide yang kujelaskan telah selesai. Sekarang giliran Aris yang bicara. Lancar, tak ada cela. Tak sepertiku yang tersendat-sendat gugup. Inilah pertama kalinya kumelihat wajahnya; mata coklat, alis tebal, hidung mancung, rambut keriting.
Aku salut dengan caranya menguasai forum. Semua terdiam dan khusyuk mendengarkan. Tak ada satu pun yang bertanya –tak seperti kelompok sebelumnya. Barangkali karena kecakapan presentasinya. Satu-satunya pertanyaan datang dari Bu Ely.
Sepertinya ia sudah sering berbicara di depan publik. Barangkali dulu ia adalah ketua OSIS. Bisa jadi juga ia suka baca buku. Dari pemilihan kata yang dipakai kelihatan sekali wawasannya luas. Aku hampir tak ada apa-apanya. Apalagi Aris penampilannya ganteng pula.
Eh, kenapa aku jadi malah mikirin Aris?
—–