Kebanyakan orang akan mengalami siklus hidup yang hampir sama. Masuk sekolah, melanjutkan ke bangku kuliah, lulus, lalu bekerja di perusahaan impian demi bisa hidup mapan. Tapi, tidak semuanya seragam karena ada pula orang-orang yang terpaksa melakoni kisah hidup yang berbeda.
Yup, saya atau kamu mungkin salah satu yang harus berlapang dada ketika status drop out terlanjur tersemat dalam diri. Bukan berarti mau menyalahkan nasib yang digariskan atau keadaan, tapi ada kalanya kita tak punya cukup daya untuk berusaha. Merasa salah jurusan, punya masalah yang sulit diselesaikan, tak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan; banyak hal yang bisa jadi alasan kenapa seseorang terpaksa berhenti sebelum lulus dan menyandang gelar sarjana.
Merasa kecewa, sedih, kesal, atau bahkan marah memang wajar saja. Tapi apa yang layak kita renungkan setelahnya? Apakah pantas jika kita merasa bahwa pengalaman buruk ini adalah akhir dari segalanya?
ADVERTISEMENTS
Setiap orang punya garis nasib yang berbeda. Kita tak lantas jadi manusia hina meski gagal menyandang gelar sarjana
Saat terpaksa meninggalkan bangku kuliah sebelum waktunya, wajar jika kita merasa kecewa. Bahkan, bukan tidak mungkin kita akan merasa marah hingga menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Ya, diri kita memang sudah pasti ikut andil hingga kegagalan itu bisa terjadi. Alih-alih sibuk menyalahkan diri sendiri, bukankah lebih baik berkaca dan introspeksi diri? Apa sih yang membuat kegagalan ini bisa terjadi?
Di sisi lain, kita pun selayaknya percaya bahwa memang tidak semua orang digariskan untuk memiliki gelar di belakang nama. Meski gelar tersebut akan memudahkan kita dalam meniti karir, toh masih banyak ragam karir yang bahkan tak butuh gelar dan ijazah dari perguruan tinggi sebagai modalnya. Jika status sebagai pegawai kantoran tak bisa disandang, bukankah profesi sebagai wirausahawan pun boleh dibilang cukup menjanjikan?
ADVERTISEMENTS
Mereka yang bisa lulus ‘normal’ memang pantas berbangga. Tapi skill dan pengalaman toh bisa didapat dari mana saja
Drop out bisa jadi disebabkan banyak hal. Entah memang karena malas, menjalani kuliah sambil sibuk bekerja, hingga terlalu aktif di organisasi misalnya. Kita patut menyadari bahwa kegagalan terjadi lantaran kita tak bisa bijaksana pada diri sendiri. Tapi mari kita renungkan lagi. Kebaikan apa sih yang masih bisa kita syukuri ketika berada di titik ini?
Ketika kita meninggalkan kewajiban di kampus demi pekerjaan atau organisasi tentu masih ada kebaikan yang bisa kita dapati. Lebih dahulu terjun ke dunia kerja dari pada teman-teman lainnya mungkin membuat kita justru lebih berpengalaman daripada mereka. Kita terlatih untuk menerapkan kemampuan dan skill yang dimiliki dan bukan sekadar sibuk bergumul dengan teori.
Ketika kita terlalu sibuk dengan kegiatan organisasi, bisa jadi kita memiliki soft skill yang lebih mumpuni dibanding teman-teman yang menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar saja. Padahal, soft skill macam kemampuan memimpin, berinteraksi dengan orang lain, bekerja sama dalam tim – kelak juga akan jadi modal penting dalam meniti karir.
ADVERTISEMENTS
Gagal adalah momen yang paling berharga, karena setelahnya kita akan bertumbuh jadi pribadi yang lebih dewasa dan bijaksana
Kegagalan memenuhi kuota lulus 14 semester mungkin akan kita tangisi. Kita terpuruk karena menyesal dan kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Pengalaman gagal membuat kita begitu rapuh hingga tak punya semangat untuk berusaha lagi.
Mari menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna sehingga kegagalan seharusnya dimaklumi saja. Kegagalan justru jadi pengalaman yang berharga selama kita mau introspeksi dan bisa mengambil pelajaran dibaliknya. Bisa jadi kegagalan malah membuat kita lebih dewasa dan bijaksana, baik dalam berpikir maupun bertindak.
ADVERTISEMENTS
Sukses bukan hanya milik mereka yang lulus tepat waktu dan punya IPK tinggi. Pengalaman Mark Zuckerberg hingga Bill Gates bisa jadi inspirasi yang membuat kita semangat lagi
Ijazah dan gelar sarjana bukanlah harga mati ketika kita ingin meraih kesuksesan. Bukan berarti ingin jumawa atau membenarkan kealpaan diri sendiri, tapi banyak orang sukses di luar sana yang ternyata juga mengalami hal yang sama. Nama-nama seperti Mark Zuckerberg, Bill Gates, hingga Steve Jobs pun kabarnya bermasalah dengan pendidikan akademis mereka. Jiwa entrepreneur yang begitu kental hingga kecerdasan yang di atas rata-rata membuat mereka tak bisa berkompromi dengan remeh temeh dunia perkuliahan.
Prestasi menteri Susi Pudjiastuti juga bisa dijadikan inspirasi yang membuat semangat kita bertambah lagi. Bagaimana dirinya yang hanya lulusan SMP bisa jadi pengusaha sukses hingga didapuk menjadi menteri. Pencapaiannya jelas tak datang dalam semalam dan perjuangannya pasti melewati proses yang panjang. Tapi toh dia bisa berhasil dan membuktikan bahwa ijazah dan gelar bukan satu-satunya penentu kesuksesan, bukan?
ADVERTISEMENTS
Dibalik sebuah ‘bencana’, Tuhan pasti menyimpan rencana besar. Asalkan mau gigih berusaha, yakinlah bahwa rezeki dari-Nya tak akan pernah tertukar
Ada hal-hal yang memang sudah digariskan dan kita layak menerimanya dengan lapang dada. Namun, ada pula yang bisa kita usahakan sehingga satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berjuang untuk meraihnya. Di titik-titik terendah dalam hidup, kadang kita memang hanya harus berpikir positif agar bisa bangkit dan melewatinya. Drop out boleh dianggap sebagai bencana dalam hidup, tapi tak salah jika kita percaya bahwa ada kebaikan besar yang akan datang setelahnya. Yang pasti, rezeki akan datang dengan berbagai cara. Ia tak akan tertukar asalkan kita mau gigih berusaha.
Nah, gimana? Setujukah kamu bahwa drop out memang bukan akhir segalanya? Semoga siapa pun yang pernah mengalami kegagalan ini bisa lebih tegar dan semangat untuk menjalani kehidupan yang selanjutnya, ya! 🙂