Jokowi Aja Beli Sepatu Diskonan! Kamu yang Gajinya Tak Seberapa, Nggak Perlu Deh Bergaya Sosialita!

Lagi-lagi Jokowi membuat kehebohan. Kali ini bukan soal ternyata Bapak Presiden suka musik-musik metal, ataupun beliau ikut muncul di vlog putra bungsunya, melainkan Pak Jokowi tertangkap kamera sedang belanja sepatu diskonan di Manado Town Square 2 (Matos). Jokowi yang ditemani oleh Gubernur Sulawesi Utara Olly Donkokanbey dan Walikota Manado Vicky Lumentut berada di Matos untuk meninjau perekonomian masyarakat secara langsung. Siapa sangka, banner diskon di Outlet Bucherri menarik hati Pak Presiden.

“Mumpung ada diskon, saya belanja sepatu.” Kata Jokowi, seperti yang dilangsir dari bentengnkri.com .

Orang nomor satu di Indonesia itu tidak segan memilih sepatu-sepatu yang dilabeli harga 150.000-250.000 (diskon 20%). Namun akhirnya Jokowi memilih sebuah sepatu yang didiskon 50%, sehingga nominalnya menjadi 350.000. Untuk ukuran seorang Presiden, tentunya nominal itu sangatlah sederhana. Tak hanya menghebohkan netizen Indonesia, acara belanja-belanji Jokowi ini sampai diliput oleh media luar negeri.

Tentu kita bertanya-tanya kok bisa sih Presiden kita beli barang diskonan? Tentu saja alasannya bukan karena sedang akhir bulan dan belum gajian, seperti alasan kita semua. Hehe. Terlepas dari tuduhan sedang pencitraan dan sebagainya, tapi setidaknya gaya hidup Jokowi ini bisa kita jadikan teladan. Gaji besar dan jabatan yang tinggi, tak melulu harus diikui dengan gaya hidup hedon luar biasa.

ADVERTISEMENTS

1. Demi disebut hits dan gaul abis, kamu nggak boleh ketinggalan tren. Mahal pun, semua dilakoni demi eksistensi

Haram namanya nggak punya item fashion terbaru

Haram namanya nggak punya item fashion terbaru via blog.zalora.com

Tuntutan pergaulan memang tidak main-main. Terkadang untuk sekadar dianggap hits dan diakui dalam status sosial, kita bergaya hidup ala sosialita. Belanja barang-barang mahal, nongkrong di kafe setiap malam, lalu liburan ke sana ke mari, tanpa memikirkan pengeluaran. Bahkan kalau bisa, lima puluh persen dari penghasilan digunakan untuk keperluan ‘bergaul’. Sisanya dibagi-bagi secara super ngirit untuk makan sehari-hari, bayar kosan, membeli keperluan sehari-hari. Kalau perlu sampai meminjam. Yang penting ‘konkow cantik’ harus tetap jalan.

ADVERTISEMENTS

2. Fungsi berubah jadi gengsi. Asal bisa pamer kelas sosial, minim guna pun tak masalah

Di tengah kemacetan Jakarta, pakai mobil sport itu cuma buang-buang bensin

Buang-buang bensin banget pakai mobil sport di tengah macetnya Jakarta via www.kompas.com

Membeli kebutuhan primer seperti pakaian, tas, sepatu, dan mungkin alat komunikasi juga tidak bisa lagi sembarangan. Dunia yang materialistis, terkadang menilai seseorang dari berapa harga baju, jam tangan, sepatu, tas, dan tentunya merk HP apa yang digunakan. Semakin mahal dan berkelas merk barang-barang yang kamu kenakan, semakin keren pula kamu akan terlihat. Di sini, fungsi sudah beralih menjadi gengsi. HP yang tadinya berfungsi menjadi alat komunikasi, kini menjadi penunjuk sistem kelas. Baju dan sepatu yang tadinya berfungsi sebagai penutup pakaian dan alas kaki, kini berganti menjadi simbol kelas manakah kamu: bawah, menengah, ataukah atas?

ADVERTISEMENTS

3. Orientasi selalu brand luar negeri biar dianggap anak masa kini. Padahal banyak produk dalam negeri yang kualitas teruji dan harga yang manusiawi

Produk dalam negeri juga banyak yang menawarkan kualitas tinggi

Produk dalam negeri juga banyak yang menawarkan kualitas tinggi via foto.metrotvnews.com

Demi memenuhi gengsi, orientasi yang digunakan selalu brand luar negeri. Katanya harga menentukan kualitas. Namun terkadang bila sudah sampai di tahap atas, harga tidak lagi soal kualitas, melainkan semata nilai prestise. Padahal bila ingin kualitas, tidak harus dengan produk luar negeri yang harganya bikin kamu harus puasa selama tujuh hari. Banyak brand-brand lokal yang juga berkualitas dengan harga terjangkau. Seperti Jokowi yang memilih belanja produk-produk dalam negeri. Selain untuk menghemat pengeluaran, itu juga salah satu bentuk dukungan terhadap pengusaha-pengusaha lokal dan produk-produk dalam negeri.

ADVERTISEMENTS

4. Dibanding barang bermerek yang tahun depan mungkin sudah tak populer, mending mulai menabung untuk keperluan masa depan

Lebih baik fokus cicil rumah masa depan

Lebih baik fokus cicil rumah masa depan via www.nreie.com

Untuk memenuhi tuntutan di poin dua, kamu pun memaksakan diri untuk mengikuti tren masa kini. Dengan alasan toh sekarang kamu masih muda. Belum ada tanggungan, dan saatnya menikmati hasil jerih payah sendiri. Karena masih muda, menabung bisa nanti-nanti saja. Padahal justru masa muda adalah masa yang tepat untuk menyimpan uang, karena tanggungan belum terlalu banyak.

Kelak semakin kamu dewasa, semakin banyak pula kebutuhan yang harus kamu penuhi. Orangtua semakin menua, sebagai anak tentu kamu harus gantian memenuhi kebutuhan mereka. Belum lagi nanti ketika kamu sudah berkeluarga. Dengan kewajiban mulai dari bayar uang sekolah anak, biaya hidup sehari-hari, cicilan rumah dan kendaraan, semua itu membuat kesempatanmu untuk menabung justru semakin sempit.

ADVERTISEMENTS

5. Gaji yang besar bukan alasan untuk menuruti semua yang ingin dibeli. Terkadang kita harus jeli membedakan kebutuhan dan keinginan

Berhati-hati dengan pengeluaran

Berhati-hati dengan pengeluaran via www.wisebread.com

Dengan gaji yang besar, memang kita tidak lagi gundah saat ingin membeli sesuatu. Kita tidak lagi harus berpikir keras, apakah harus membeli baju dulu ataukah sepatu dulu? Beli saja dua-duanya, toh uangnya ada. Dari sini terkadang kita menyamakan antara kebutuhan dengan keinginan. Kamu merasa harus beli baju baru, bukan karena butuh melainkan karena ingin. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, baju-baju yang kamu punya masih bisa dipakai.

Teori bahwa semakin besar penghasilan seseorang, semakin besar pula kebutuhannya tentu ada benarnya. Sebab dengan semakin banyaknya uang yang kita punya, ruang gerak lebih luar, sehingga kita juga akan melihat dalam scope yang lebih luas. Kebutuhan adalah hal-hal yang tanpanya kamu tidak bisa hidup, misalkan tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Sementara keinginan, adalah hal-hal yang tanpanya kamu tetap bisa hidup normal. Kita harus jeli membedakan.

ADVERTISEMENTS

6. Masa muda bukanlah waktunya untuk berhura-hura. Justru waktunya kamu menempa diri untuk adaptasi dengan segala kondisi

Jangan terbiasa senang-senang

Jangan terbiasa senang-senang via madbuzzhk.com

Miskonsepsi yang selama ini terjadi pada anak muda adalah bahwa masa muda adalah masanya berhura-hura. Karena nanti kalau kita sudah berkeluarga, tentu kita tidak bisa sebebas sekarang. Masa muda hanya terjadi satu kali, kenapa tidak dinikmati? Namun justru karena masa muda hanya satu kali, bukankah seharusnya dimanfaatkan dengan baik?

Ketika muda, dengan tubuh yang masih kuat dan sehat bugar, dengan ruang gerak yang masih sangat luas, dengan beban yang tak terlalu berat, justru harus dijadikan momen untuk menempa diri. Masa muda adalah kawah candradimuka, momen pembentukan pribadi. Sebab masa depan penuh dengan kejutan. Membiasakan diri untuk tetap hidup sedernaha, bahkan cenderung kurang, seberapa pun gaji yang kamu punya, adalah salah satu cara mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Sayang sekali bukan bila kita mengabaikan kehidupan di masa depan, hanya demi kesenangan masa kini yang tak abadi? Meskipun sesekali kita perlu menyenangkan diri sendiri sebagai wujud penghargaan atas kerja keras selama ini, namun jangan sampai melupakan kehidupan di depan yang sudah menanti. Kalau Pak Jokowi saja tidak masalah beli sepatu diskonan, kenapa kita harus memaksakan diri bergaya sosialita, padahal tiap akhir bulan engap-engapan menunggu tanggal gajian?

Suka artikel ini? Yuk follow Hipwee di mig.me !

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi