Apa yang muncul di pikiran ketika mendengar kata rantau? Jauh dari rumah, kerja keras, hidup sendiri, apa-apa sendiri, dan barangkali, sukses. Perkara merantau bukanlah hal sederhana. Ada waktu dan kebahagiaan yang digadaikan demi kebahagiaan (yang katanya) lebih besar. Segala ketakutan ditepis dan kaki dikuatkan demi mengejar mimpi yang terbungkus dalam satu doa: ingin membahagiakan orangtua.
Hari-hari dilalui dengan semangat yang menggelora. Soal niat kerja keras kamu jelas tidak perlu ditanya. Tapi sejauh ini, apa saja yang sudah kamu capai? Pedih barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan rasa, saat menyadari bahwa hidupmu masih begini-begini saja.Wahai anak rantau, meski mimpimu terlihat masih sangat jauh di sana. Namun sejauh apapun itu, toh kamu sedang menuju ke sana. Bertahanlah!
ADVERTISEMENTS
1. Demi masa depan, kamu beranikan diri melangkah keluar dari kota lekahiran. Rezeki memang seringkali jauh dan harus dijemput
Seringnya, anak yang tetap tinggal bersama orangtua dianggap sebagai anak berbakti. Bila mengikuti kata hati, tentu kamu ingin berada di dekat orangtua. Mendengarkan nasihat-nasihatnya, dan melihat mereka menua dengan mata kepala sendiri. Namun gelisah hatimu semakin menjadi-jadi, karena sadar kota kelahiranmu tak cukup memberikan peluang yang menjanjikan. Mimpi itu, harus dikejar.
Kamu ingin di hari tuanya, Ayah dan Ibu tak perlu lagi bekerja. Cukup duduk saja, dan menikmati apa yang disajikan ananda. Melihat tak ada yang bisa dilakukan di kota ini, sebab menjadi pengusaha pun terasa hanya mimpi, kamu memberanikan diri melangkah pergi. Di kota orang nanti, kamu berharap menemukan tempat menjanjikan untuk mencari rezeki, sehingga mimpimu untuk membahagiakan orang tua terpenuhi.
ADVERTISEMENTS
2. Setiap hari kamu dihantui cemas dan rindu. Jauh dari rumah membuatmu bertanya-tanya: Apa kabar, Pak, Bu?
Jauh dari rumah tidak sesederhana itu. Bila dulu kamu mengawali hari dengan mencium kedua tangan orang tuamu, kini kamu bangun dengan belasan pertanyaan dan tegukan rindu. Apa kabar Ayahku? Apa kabar Ibuku? Sehatkah Bapak dan Ibu? Masih sabar kah menunggu ananda untuk membahagiakanmu?
Tak hanya soal rindu, kamu juga diliputi rasa khawatir. Setiap kali nomor keluarga muncul di ponselmu, ada rasa senang sekaligus cemas yang tak menentu. Senang karena rindu yang akan sedikit terobati, dan cemas karena kamu selalu berpikir bisa saja telepon itu membawa kabar yang tidak kamu inginkan. Namun pada akhirnya kamu hanya bisa menjeritkan rindu dan cemasmu, dalam doa-doa yang kamu panjatkan: agar orang tua senantiasa diberikan kesehatan dan keselamatan.
ADVERTISEMENTS
3. Kamu menghibur diri sendiri. Toh kini teknologi sudah bisa memutus segala jarak di bumi. Tapi lagi-lagi waktu yang tak bisa diajak kompromi
Saat kamu memutuskan untuk pergi, bukan hanya kamu yang perlu menguatkan diri. Orang tuamu pun merasakan hal yang sama. Namun pemahaman akan mimpi anaknya, Ayah dan Ibu melepasmu dengan senyum motivasi yang membuat semangatmu tergugah. Lalu kamu akan menghibur diri bahwa jarak bukanlah masalah.
Teknologi sudah sedemikian majunya, tentu bisa membuat keluarga tetap dekat meski tidak bersua. Namun kesibukan di dunia kerja ini terkadang membuatmu putus asa. Jadwal-jadwal lembur berdatangan tanpa ditolak. Pulang terlampau malam memupus harapan untuk sekadar menelepon dan mendengar suara Ayah dan Bunda. Begitu hari-harimu berlalu, hingga ‘bertemu’ Ayah dan Ibu hanya bisa di hari Sabtu dan Minggu.
ADVERTISEMENTS
4. Janji pulang sebulan sekali hanyalah janji. Sebab di dunia kerja ternyata tidak mudah juga mengambil cuti
Dulu kamu juga berjanji untuk pulang setidaknya sebulan sekali. Meskipun hanya sehari atau dua hari, tentunya layak diperjuangkan demi memuasi rindu dekap keluarga tersayang. Tapi lagi-lagi rencana hanyalah rencana. Pulang ke rumah juga butuh biaya yang tak sedikit. Kalaupun biaya bukan masalah, waktu lah yang menjadi persoalan. Mengajukan cuti di kantor tidak semudah itu. Ada proses ini itu yang harus kamu ajukan jauh-jauh hari, dan itu belum tentu disetujui. Sementara mengandalkan akhir minggu saja, tubuhmu sudah terlalu lelah untuk bergerak. Lagi-lagi, pulang kampung harus menunggu saat libur panjang tiba.
ADVERTISEMENTS
5. Liburan panjang tetap butuh perjuangan juga. Demi mengobati rindu, tak mengapa berdesak-desakan di jalan dengan sesama perantau yang juga rindu dekapan orang tua
Akhirnya libur panjang yang kamu tunggu-tunggu itu tiba. Kamu menyambut penuh suka hati bagai anak sekolah saat libur semester tiba, meskipun di dunia kerja sepanjang-panjangnya libur tak akan lebih dari tujuh hati. Segalanya sudah kamu siapkan. Tiket perjalanan sudah kamu kantongi dan oleh-oleh sudah kamu packing dengan rapi. Berdesak-desakan di angkutan umum ataupun bergulat dengan kemacetan tak membuat semangatmu hilang. Kamu tahu mereka semua sama denganmu. Pejuang-pejuang rindu yang sedang menuju dekapan orangtua. Lagipula benakmu sudah terlalu penuh euforia untuk bertemu keluarga setelah sekian lama tidak berjumpa.
ADVERTISEMENTS
6. Ketika akhirnya bisa bertemu, kamu takjub betapa sudah bertambah tua orangtuamu. Berapa lama waktu berlalu?
Lalu momen bertemu itu tiba. Di depan rumah, orangtuamu sudah menunggu. Dengan sorot mata hangat dan lengan yang siap menyambutmu dengan pelukan. Senyumnya yang hangat seolah berkata, tak masalah bila kamu kamu belum jadi apa-apa, sebab sejak awal kamu adalah hartanya yang paling berharga.
Di antara peluk kangen yang penuh haru itu, kamu sadar betapa sudah bertambah banyak uban di rambut Ayah dan Ibu. Kulit yang sudah tidak sekencang dulu, dan geggaman tangan yang tidak sekuat beberapa tahun yang lalu. Â Sudah berapa lama waktu berlalu? Sudah berapa banyak hari yang kamu lalui tanpa melihat orangtuamu? Dan berapa lama waktu yang masih tersisa? Kini kamu menyadari, bahwa sementara kamu sibuk bekerja, Ayah dan Ibu juga semakin menua.
7. Sendu mengingat janji untuk membahagiakan orangtuamu. Pedih nian kenyataan sebab sekian lama berjuang, kamu pun masih belum mapan
Teori Ekspektasi vs Realita ternyata ada benarnya. Dulu saat masih mahasiswa, kamu sangat ingin cepat-cepan memakai toga dan menjadi wisudawan. Selanjutnya kamu akan mengarungi dunia, menumpuk prestasi demi prestasi, dan mencari pundi-pundi materi, yang semuanya akan kamu persembahkan kepada orangtua. Dalam pikiran mudamu, setelah kamu kerja, Ayah dan Ibu tak perlu lagi banting tulang. Sudah saatnya mereka istirahat dan biar kamu yang pontang-panting memenuhi kebutuhan. Tapi kenyataannya, sekian lama kamu merantau di kota orang, statusmu masih saja karyawan biasa. Jangankan menumpuk pundi-pundi materi, gajimu bahkan hanya cukup untuk hidup tiga puluh hari.
8. Setiap usaha memang ada prosesnya. Apa yang kamu usahakan mati-matian saat ini, akan segera terwujud bila kamu sabar sedikit lagi
Sepahit apapun kenyataan yang kamu hadapi, semua itu proses yang layak dihargai. Bila hingga titik ini apa yang kamu mimpikan terlihat belum dapat diwujudkan, artinya kamu hanya harus berusaha lebih keras lagi. Sebab tidak ada kesuksesan yang instan, dan kamu memang perlu berjuang jatuh bangun untuk mendapatkannya. Untuk saat ini kamu memang hanya bisa mencium tangan orang tua dan mengatakan ‘Pak, Bu, mohon bersabar dulu. Saya sedang berusaha’. Tak apa. Tak ada yang sia-sia bila semua itu dilakukan dengan sepenuh hati.
9. Lagipula orangtua tetaplah orangtua. Sekian lama tak berjumpa, bukan janji materi yang ditagihnya. Tapi hal-hal sederhana seperti ‘Pacarmu mana?’
Namun orangtua tetaplah orang yang paling memahamimu. Meski berat melepaskan, mereka tidak masalah kamu pergi ke manapun untuk mengejar mimpi. Mereka tidak menuntutmu untuk menelepon setiap hari, walaupun mereka sudah akan sangat berbahagia saat kamu bercerita tentang teman kosan yang sebentar lagi melepas masa lajang.
Setelah sekian lama tidak berjumpa, materi dan harta tidak akan masuk dalam tagihannya. Tapi persiapkan dirimu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: Pacarmu mana? Bukan untuk membuat bebanmu semakin berat, mereka hanya ingin kamu menemukan seseorang yang bisa menjaga dan menjadi sandaran, menggantikan posisi mereka yang terpaksa terhapus oleh jarak.
Wahai anak rantau, perjuanganmu sudah sangat hebat hingga hari ini. Jangan menyerah dulu, karena segelap apapun mendung menutup langit, matahari akan tetap bersinar lagi. Jangan berhenti dulu, sebab Ayah dan Ibu tidak melepaskanmu untuk sesuatu yang sia-sia. Orangtua tetaplah orangtua, yang akan tetap menganggapmu berharga meskipun hidup mengatakan kamu bukan siapa-siapa. Pengorbanan yang mereka berikan tidak dimaksudkan untuk dikembalikan dalam bentuk harta. Selama anaknya bahagia, orangtua tidak butuh apa-apa. Maka diujung hari sibukmu ini, sempatkan untuk menekan nomor orangtuamu, dan katakan bahwa kamu rindu.