Berpindah dari satu tempat ke tempat lain nyatanya bukan hanya bangsa Rom saja. Para perantau pun tak pelak harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi kehidupan dan rezeki yang diyakini akan lebih baik dari sebelumnya. Memiliki tempat tinggal sementara (baca: kosan/kontrakan) tentu menjadi pilihan terakhir kalau tidak punya sanak keluarga. Dan saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang lebih memilih untuk bertandang ke negeri orang meski tahu tak ada karib kerabat yang sekiranya bisa saya menumpang.
Namun, bukan soal suka duka hidup sebagai pemegang titel “perantau” yang ingin saya bahas. Karena sebagian besar cerita para perantau ini mirip alias hampir sama. Bertemu orang baru, belajar bahasa baru, memutar otak bagaimana uang saku atau gaji cukup untuk satu bulan (bisa menabung malah lebih baik), dan sebagainya. Sedikit klise memang.
Sama seperti penulis lainnya, saya ingin mengumbar sedikit cerita tentang apa yang sering ditanyakan oleh rekan kantor dan sesering itu juga saya menolak memberi tahu: “Kosan lo di mana?”
Bukan bermaksud sok misterius, tapi persoalan alamat kosan ini memang sudah sejak lama saya simpan rapat-rapat. Yang tahu cuma keluarga, teman dekat, teman yang kebetulan main lalu tak tahu harus menginap di mana, online shop, dan abang-abang jasa pengiriman. Memilih untuk tidak memberi tahu di mana saya bermalam setiap harinya sudah jadi kebiasaan sejak zaman perkuliahan. Teman-teman saya mungkin paham betul bagaimana percumanya mereka bertanya di mana persisnya kosan saya, bahkan ketika mereka berhasil menemukan kosan saya dan sudah sampai di gerbang, saya tetap menolak memberi tahu mana kamar saya. Terdengar jahat memang, tapi cuma sepetak ruang itu yang cuma bisa nikmati tanpa perlu memikirkan kanan-kiri.
Baru sejak merantaulah saya punya kamar sendiri. Yang seperti apapun keadaannya akan membuat saya nyaman-nyaman saja. Seberantakan apapun, serapi apapun, ya tentu saya yang akan menikmatinya. Saya adalah tipikal orang yang berantakan. Karena ketika rapi, justru saya tidak tahu di mana sebagian barang-barang berada 😀
Tapi bukan itu persoalan sebenarnya, melainkan perasaan yang akan lebih nyaman ketika orang lain tidak tahu dengan kamar ukuran 3×3 ini. Saya nggak perlu cemas-cemas harap jikalau ada yang tiba-tiba datang ke kosan. Nggak perlu membagi satu-satunya ruang privasi walaupun hanya sebentar. “Idih, siapa juga yang bakal datengin ke kosan lo” tak jarang saya dengar. Bagus memang. Tapi namanya juga hati, bisa kadang berubah. Lalu tiba-tiba berinisiatif datang ke kosan, saya bisa apa?
Mungkin bukan saya saja yang merasakan hal ini, kamu yang sedang membaca tulisan kepepet ini juga ikut merasakan. Cukup sulit menjelaskan bagaimana, orang seperti kita (yang dianggap berkepribadian terbuka), yang terlihat sangat menikmati hidup, cengangas-cengenges, rusuh, ngakak sana sini, ceng-cengin orang lain, juga butuh tempat untuk sendiri (Aselole Joss!)
Karena langit nggak selalu biru, tapi selalu di atas. Eh maksudnya kadang ada mendungnya juga, maka ruangan 3×3 yang kita sebut privasi itulah tempat untuk berdiam diri. Menyesali setiap perkataan dan perilaku yang kelewat batas, memaafkan orang-orang yang hanya karena kita dianggap terbuka lalu bisa bersikap seenaknya, merelakan apa yang sudah ditargetkan hari itu namun tak kunjung terpenuhi, mengatur kembali perasaan untuk menghadapi hari berikutnya. Karena nggak ada yang betul-betul mengerti kita selain kita sendiri, meskipun dia adalah orang yang sepetiduran sama kamu HAHAHAHAHA
|Intinya mah cuma sepetak itu doang yang bisa kita jaga, bahkan kamar di rumah pun belum tentu bisa merasa senyaman ini
ADVERTISEMENTS
#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu
Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!