Jakarta selalu menjadi pilihan utama bagi banyak orang untuk mencari penghidupan. Mungkin karena ibukota adalah pusat pemerintahan dan perekonomian negeri. Jenjang karier dan penghasilan bulanan yang menggiurkan juga jadi alasannya. Banyak yang mati-matian bersaing untuk lapangan kerja yang tampaknya semakin menipis tiap tahunnya. Bagi mereka yang berkualifikasi atau beruntung akan menyandang status prestise sebagai pekerja ibukota. Bagi mereka yang bersikeras mewujudkan mimpi ibukota meski berkali-kali ditolak perusahaan, mungkin akan menunggu 2-3 tahun bertahan di Jakarta sampai akhirnya menyerah pulang kampung atau mencari pekerjaan di kota lain.
Akan tetapi menariknya, kini malah makin banyak lulusan muda yang sedari awal justru ‘ogah-ogahan’ mencari pekerjaan di ibukota. Kelompok anak muda ini mungkin justru menempatkan Jakarta sebagai pilihan terakhir untuk meniti karier. Sebagian besar orang bisa saja beranggapan bahwa mereka yang ‘menghindari’ Jakarta itu penakut atau pengecut. Tapi sebenarnya sah-sah saja kok kalau kamu termasuk golongan yang tidak memilih Jakarta sebagi tempat mengadu nasib, dan juga pastinya bukan semata-mata hanya karena kamu takut atau tidak mau bersaing.
ADVERTISEMENTS
1. Mencari penghidupan yang layak itu bukan hanya masalah gaji tapi juga kualitas. Tiap hari menghabiskan berjam-jam terjebak kemacetan itu bukan definisi hidup berkualitas bagimu
Kemacetan Jakarta yang dinobatkan sebagai kemacetan paling parah di dunia pada tahun 2015 kemarin, mungkin terdengar sebagai alasan klise bagi tiap orang yang ‘menghindari’ Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di Jakarta mungkin bisa bilang, nanti juga terbiasa. Tapi bagaimana kalau kamu memang tidak mau terbiasa harus bangun pagi buta, sarapan di jalan, dan sampai di rumah tengah malam demi menghindari kemacetan? Bahkan jika berkesempatan mendapatkan gaji dua atau tiga kali lipat, kamu lebih memilih untuk dapat sarapan bersama keluarga dan punya waktu luang untuk hobi atau aktivitas produktif lainnya.
Kemacetan adalah masalah serius yang tidak bisa disepelekan. Karena waktu yang terbuang di jalan gara-gara macet, tiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian sebesar kurang Rp 35 trilliun. Sah-sah saja dong kalau kamu mau menjalani kehidupan yang lebih produktif dan berkualitas di kota lain, pun kamu tidak mau berkontribusi menambah kemacetan di ibu kota.
ADVERTISEMENTS
2. Kepadatan Ibukota juga tidak memberi keleluasaan untuk pemegang gaji UMR memilih tempat tinggal. Apalagi jika kamu sudah berkeinginan untuk berkeluarga dalam waktu dekat, kehidupan di kota lain tampak lebih manusiawi
Sama halnya seperti kemacetan, urusan tempat tinggal juga tidak dapat disepelekan. Terlebih lagi dalam kasus Jakarta, jauh dekatnya kos ataupun kontrakanmu dari kantor akan sangat menentukan seberapa lama kamu akan membuang waktu dan uang di kemacetan ibu kota. Padahal semakin dekat kos atau kontrakmu dengan lokasi-lokasi perkantoran sentral di segitiga emas Jakarta, harganya langsung melonjak sampai nggak bisa di nalar.
Memulai dan berjuang dari bawah memang mutlak harus dilakukan semua lulusan muda yang baru bekerja. Boleh saja orang bilang kamu kurang tahan banting karena tidak mau tinggal di kamar 2×3 tanpa jendela di ibu kota. Tapi kalau dengan biaya yang sama kamu bisa mengontrak rumah dengan halaman kecil di kota lain, boleh saja kan kamu memilih lingkungan yang lebih manusiawi untuk beranak pinak.
ADVERTISEMENTS
3. Hidup sekedarnya di tengah biaya hidup yang mencekik mungkin tantangan tersendiri bagi penakluk Jakarta. Tapi bagimu ruang lebih untuk memberdayakan uangmu jauh lebih penting
Banyak yang bilang bahwa untuk menapaki tangga puncak, kamu perlu merintisnya dari pusat – yakni Jakarta. Di kota yang seringkali di pandang sebagai ‘puncak’ segalanya di Indonesia ini, upah minimum tertinggi sudah sewajarnya juga diikuti biaya hidup yang paling tinggi. Berhemat di tengah mencekiknya biaya hidup di Jakarta mungkin dianggap sebagai tantangan yang harus dilalui demi kesuksesan di depan.
Tapi lagi-lagi definisi kesuksesan bagi tiap orang itu berbeda-beda. Bagimu, hidup di kota lain dimana gaji kecilmu masih memberikanmu ruang lebih leluasa untuk menabung dan bersenang-senang, tampak lebih membahagiakan.
ADVERTISEMENTS
4. Hingar bingarnya pergaulan Jakarta yang tidak pernah jauh dari mall dan kehidupan malam, bukanlah pilihan idealmu untuk bersosialisasi
Meski mall atau hiburan malam tidak hanya menjamur di Jakarta, tapi tak bisa dipungkiri kultur pergaulan urban di Jakarta merupakan salah satu yang ‘tergila’. Bukan berarti juga tiap orang yang pindah ke Jakarta akhirnya akhlaknya miring. Tapi kamu hanya mendambakan kota yang lebih tenang dimana pilihan bersantai akhir pekanmu tidak melulu pergi ke mall.
ADVERTISEMENTS
5. Lagipula, nyatanya Jakarta bukan satu-satunya kota yang menawarkan kesuksesan. Banyak startup keren yang mulai bermunculan di kota-kota lain
Tingginya biaya-biaya dari sewa gedung sampai upah minimum karyawan di Jakarta, membuat banyak perusahan rintisan baru atau startup memilih kota lain seperti Yogyakarta atau Bandung sebagai markas utamanya. Itu bukanlah berarti perusahaan yang memilih beroperasi di kota lain tidak memiliki potensi untuk berkembang sebesar perusahaan-perusahaan di Jakarta. Tren yang berkembang saat ini justru menunjukkan sebaliknya.
Jadi sama sekali tidak mustahil membangun karier di luar Jakarta. Tidak peduli apakah dengan tujuan membangun kembali kampung halaman dengan membuka bisnis atau bergabung dengan startup-startup keren yang mulai menjamur, kesuksesan itu bisa dicari dimana saja. Tidak harus di Jakarta.
ADVERTISEMENTS
6. Bukan tidak mau bersaing, kamu justru ingin mendistribusikan persaingan dan kesejahteraan ke kota-kota lain. Kesenjangan ekonomi dan sosial yang timpang juga tidak baik untuk masa depan Indonesia
Terpusatnya perkembangan ekonomi di Jakarta atau Jawa akan menjadi permasalahan serius bagi Indonesia dalam jangka panjang. Akan semakin sulit menjembatani kesenjangan ekonomi dan sosial antara kota-kota besar dan kecil di Indonesia jika uang hanya terus berputar di Jakarta. Maka dari itu kelompok muda yang ingin menggeliatkan ekonomi di kota-kota lain justru layaknya diapresiasi, bukan dicemooh atau dianggap ‘kelas bawah’.
Percayalah bahwa kamu tetap bisa meraih sukses meski tidak di Jakarta. Kamu juga bukan ‘pekerja rendahan’ yang takut akan persaingan karena tidak bekerja di ibukota. Tidak peduli dimana, tiap orang sejatinya mampu mengejar atau membuat kesuksesan yang mereka inginkan dalam hidup asalkan pantang menyerah.