“Dulu sih dia bilang mau stay dulu sama kita habis wisuda. Tahunya dipaksa balik kampung sama Mamanya. Ninggalin kita, deh. Ninggalin tanggung jawab profesional dia juga. Gak nyangka sama sekali deh, ternyata anaknya kayak gitu.”
“Udah baca bagian tugas kelompok yang dikerjain Nadia belum? Gila, gak niat banget ngerjainnya. Tahu gitu aku kerjain sendiri aja deh bagian dia!”
“Haha, iya. Awalnya kukira juga dia serius sama aku. Ternyata ya PHP aja. Pait.”
Semakin kita dewasa, semakin familiar kita dengan rasa kecewa. Uniknya, perasaan kecewa ini selalu didedahkan oleh mereka yang sebelumnya sangat kita percaya. Asal-muasalnya pun serupa: kita terlalu percaya dan memasang ekspektasi, kemudian ekspektasi ini gagal terpenuhi. Kita membebani orang lain dengan harapan tinggi. Nyatanya mereka tak sesempurna yang kita bayangkan selama ini.
Lalu harus bagaimana? Apakah tak usah banyak berharap saja, supaya tak lagi dirundung kecewa?
Berharap adalah fitrah manusia — tak mungkin untuk menghentikannya begitu saja. Namun tampaknya ada yang perlu diubah dari cara kita berekspektasi. Mungkin memang tak tepat untuk mengharapkan orang lain selama ini. Mungkin, satu-satunya tempat berharap di dunia ini adalah Tuhan dan diri sendiri.
ADVERTISEMENTS
Bukannya ingin berhenti percaya. Hanya menerima bahwa orang lain juga manusia biasa
Bukankah ketika kita menaruh harapan pada orang lain, kita menuntut mereka melakukan sesuatu yang belum tentu mereka mampu? Kita bisa salah total dalam memperkirakan kemampuan seseorang. Dan saat dia bertindak mengecewakan, belum tentu dialah yang patut disalahkan. Mungkin kita saja yang keliru dalam menilai karakternya sejak awal.
Tak semua orang juga bersedia jadi tumpuan harapan kita. Kadang mereka tak nyaman dan justru menganggap harapan itu sebagai beban. Kalau sudah begini, apa yang masih mau diharapkan?
Tak ada orang yang dirancang Tuhan tanpa kekurangan. Orang yang kita harapkan sebelumnya, toh tetap manusia biasa yang tak luput dari cela. Justru kitalah yang bodoh ketika kecewa karena mereka “mengkhianati” harapan kita. Karena sejak awal, memang tak seharusnya kita berharap pada mereka.
ADVERTISEMENTS
Satu-satunya manusia yang layak diharapkan mulai saat ini, adalah diri sendiri. Manusia satu ini pasti takkan mengkhianati
Tak mungkin kita berhenti berharap sama sekali. Berharap adalah fitrah manusia — hanya orang mati dan nyaris mati yang akan berhenti berharap pada semesta. Tapi tampaknya kita perlu berpikir kembali tentang orang seperti apa yang layak kita harapkan. Dan setelah berpikir-pikir lagi, sepertinya memang tak ada orang lain yang bisa diharapkan selain diri sendiri.
Bayangkanlah: kamu sudah kenal orang ini luar-dalam. Orang ini menginginkan yang terbaik untuk dirimu dan bersedia membantumu untuk itu. Entah itu pukul 7 pagi, atau pukul 2 dini hari, dia akan menjawab permintaan tolongmu. Orang ini takkan mengkhianati. Dan ketika kamu berharap padanya, dia takkan merasa terbebani.
Ingin minta apa, tinggal berdoa pada Tuhan. Ingin berjuang mendapatkannya, ada diri sendiri yang bisa kamu andalkan.
ADVERTISEMENTS
Tanpa ekspektasi berlebih pada mereka, kita bisa lebih legawa. Apapun yang mereka lakukan, kita rela.
Pasanglah ekspektasi hanya pada Tuhan dan diri sendiri. Dengan begini, tak perlu takut pada apapun yang dilakukan orang padamu nanti. Kamu akan bisa lebih legawa, bahkan jika mereka meninggalkanmu atau berbuat sesuatu yang tak kamu sangka-sangka. Apapun yang mereka lakukan, kamu rela.
“Oh, kamu nggak jadi bisa bantu aku olah data skripsi? Iya gapapa, hehe. Aku bisa kerjain ini sendiri.”
Bukankah memang lebih baik begini? 🙂