Kalau mendengar kata doktor, mungkin kamu langsung terpikir sosok yang sudah sepuh, atau setidaknya sudah berumur. Namun, Lailatul Qomariyah berhasil meraih gelar doktornya di usia 27 tahun. Nggak kaleng-kaleng lo, gelar doktornya ini ia peroleh dari Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Wow!
Usia 27 tahun jelas masih terbilang muda. Katakanlah kita mulai kuliah di usia 18 tahun. Berarti perempuan, yang kerap dipanggil Laila ini, berhasil menyelesaikan pendidikan S1-S3 hanya dalam 9 tahun saja. Mungkin Laila bukan doktor termuda. Namun kisah inspiratif putri tukang becak ini untuk meraih gelar doktor nggak mudah. Yuk simak kisah selengkapnya.
ADVERTISEMENTS
1. Berasal dari keluarga dengan kondisi finansial sederhana, membuat Laila berjuang mencari biaya kuliah sendiri
Laila merupakan putri sulung seorang tukang becak Saningrat (43) dan Rusmiati (40) yang merupakan buruh tani. Laila juga memiliki dua saudara yang lebih muda. Selepas lulus SMA, Laila menerima beasiswa bidikmisi dari pemerintah dan dan masuk ke jurusan Teknologi Industri di ITS melalui jalur prestasi.
Sadar bahwa kondisi finansial keluarganya di Pamekasan pas-pasan, Laila pun berusaha berusaha mencari uang sendiri untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Meski Laila hanya bisa mengajar di sekitar kampus karena kendaraan yang dimilikinya hanya sepeda ontel. Segudang aktivitas kuliah, organisasi, dan menjadi guru privat, nggak jarang membuat Laila hanya tidur 4 jam sehari.
ADVERTISEMENTS
2. Melalui program percepatan magister doktor yaitu Fast Track, Laila berhasil menyelesaikan kuliah S2 dan S3-nya dalam waktu cepat
Setelah lulus menjadi sarjana, Laila mendapat beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) untuk melanjutkan S2 dan S3 di fakultas yang sama melalui jalur fast track. Di sini, Laila berhasil melalui pendidikan selama 3 tahun saja, dengan nilai IPK sempurna. Fast Track sendiri adalah program percepatan kuliah. Jadi, bila mengikuti program fast track, kamu bisa mulai kuliah S2 sejak semester 6 atau 7 S1, dengan berbagai syarat dan target IPK tentunya. Pencapaian Laila pun tidak main-main. Ia adalah satu-satunya dari 80 mahasiswa doktoral yang meraih IPK sempurna, yaitu 4.00 sampai wisuda. Keren kan?
Nah, selain mendapat beasiswa ini, Laila juga mendapat beasiswa penelitian di Jepang tahun 2017-2018 lho. Dilansir dari Tribunnews.com, di sana Laila meneliti tentang pengaplikasian silika solar sel sebagai pengganti energi yang dihasilkan dari minyak bumi dan batubara.
ADVERTISEMENTS
3. Selepas menjadi doktor, tawaran berkarier di Jepang datang. Namun, Laila memilih untuk mengabdikan diri di almamaternya
Menjadi doktor di usia yang sangat muda pastinya sebuah pencapaian tersendiri. Nggak heran, kalau banyak tawaran berdatangan untuk pilihan karier Laila. Salah satunya adalah tawaran kembali ke Jepang dan melanjutkan penelitian di sana. Namun, karen pertimbangan jarak, Laila memilih untuk tetap di Surabaya. Selain ingin mengabdi ke almamaternya, Laila juga ingin tetap dekat dengan keluarganya.
ADVERTISEMENTS
4. Kisah Laila membuktikan bahwa asal ada niat, pasti ada jalannya. Karena perubahan itu kita sendiri yang harus melakukannya
“Kata siapa orang miskin tidak bisa sukses? Saya sudah membuktikannya. Ayah saya tukang becak dan ibu saya buruh tani. Namun, tekad yang kuat untuk mengangkat martabat kedua orangtua saya, saya menjawabnya dengan prestasi pendidikan,” ujar Laila, seperti yang dikutip dari Tribunnews.com.
Biaya pendidikan lanjutan tidak pernah murah. Apalagi untuk S2 dan S3. Alasan finansial mungkin seringkali menjadi penjegal mimpi. Namun, Laila membuktikan bahwa selama ada cukup kemauan, selalu akan ada jalan yang bisa ditempuh. Sehingga mimpi nggak perlu kandas, hanya karena kecil kemungkinan atau sulit untuk didapatkan.
Jika ditanya apa yang membuat Laila begitu gigih mengejar mimpinya, jawabannya adalah karena ia ingin mengubah nasib keluarganya. Laila percaya Tuhan akan mengubah nasib umatnya, tergantung dengan sekeras apa usahanya. Dukungan dari keluarga sangat berperan, karena orangtuanya selalu berpesan bahwa pendidikan Laila harus lebih tinggi dibanding mereka.
ADVERTISEMENTS
5. Tak hanya soal biaya, stigma perempuan tak perlu pendidikan tinggi karena kelak dinafkahi suami juga menjadi halangan tersendiri
Gelar S3 tentunya bukan gelar yang main-main. Ironisnya, di negeri ini nilai-nilai patriarki memang masih sangat mengakar. Sehingga masih banyak yang berpikir bahwa perempuan nggak perlu menempun pendidikan yang tinggi. Karena, toh, nanti akan ditanggung oleh suami, termasuk perempuan-perempuan sendiri. Padahal, tak peduli apakah nanti menjadi perempuan karier atau ibu rumah tangga, pendidikan tinggi itu diperlukan juga.
Lailatul Qomariyah wisuda sebagai doktor di ITS pada tanggal 15 September 20129 kemarin. Semoga kisah inspiratif Laila ini bisa membuka mata kita semua bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia. Dan pendidikan, adalah hak siapa saja. Teruntuk kamu yang sedang jatuh bangun mengejar mimpi-mimpimu, semangat ya!