*Bersamaan denganmomentum Hari Buku Sedunia yang jatuh pada tanggal 23 April kemarin, Hipwee berkesempatan mendengarkan kisah orang-orang di balik komunitas Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN). Mereka membagikan cerita manis-pahit membangun komunitas literasi dari nol hingga cukup mapan seperti sekarang.
Sedih rasanya ketika mendengar kabar kalau minat baca anak di negeri terhitung masih kurang. Padahal, membaca nggak sekadar menambah asupan informasi dan wawasan ya, tapi juga melatih nalar kita untuk berpikir lebih baik dan bijak. Mungkin karena alasan inilah, sejumlah individu maupun komunitas dermawan akhirnya mengambil peran untuk membantu meningkatkan literasi anak negeri.
Tapi, misi sebesar itu tentu nggak mudah dijalani. Komunitas Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN) sudah membuktikannya. Selama 6 tahun perjalanan mereka, banyak banget tantangan yang harus dihadapi untuk bisa mempertahankan komunitas sekaligus membantu anak-anak di berbagai daerah.
ADVERTISEMENTS
Penuh terjal, Anam, Ketua GPAN Pusat periode 2019-2021, mengaku mempertahankan GPAN tak gampang
Kegiatan GPAN | Credit: Dokumentasi Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara via www.hipwee.com
Karena kecintaannya pada buku, Khoirul Anam mau diajak temannya untuk bergabung di GPAN. Kini, ia menduduki jabatan sebagai pengurus GPAN Pusat. Kepada Hipwee, Anam tak menyangkal bila mempertahankan GPAN nggak gampang karena tantangan selalu ada. Tak jarang tantangan itu menguras tenaga dan pikiran. Namun, Anam terlanjur menyukai dunia kerelawaan meski nggak dibayar.
“Memberi tanpa imbalan itu memberikan kesan yang berbeda ketimbang memberi dengan imbalan,” kata Anam.
Di masa lalu, Anam menerima penolakan-penolakan ketika merintis GPAN regional Kediri. Pun ia ingat betul sulitnya mengumpulkan teman-teman yang mau bergerak bareng di GPAN. Bahkan ia pernah datang sendirian di tempat pertemuan lantaran teman-temannya nggak berhalangan hadir. Padahal ia menyempatkan waktu dan pergi ke tempat itu walaupun membutuhkan waktu 1 jam dari kediamannya. Kesulitan-kesulitan itu nyatanya tak menyurutkan semangat Anam. Apalagi ia sadar GPAN telah berdampak cukup besar untuk masyarakat sekitar. Respons mereka terhadap GPAN pun bagus.
ADVERTISEMENTS
Merawat “napas” GPAN agar tetap hidup di tengah tantangan-tantangan yang menghadang
Tantangan GPAN | Credit: Dokumentasi Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara via hipwee.com
Demi menjaga GPAN agar tetap ‘hidup’, setiap tim di regional memiliki sejumlah agenda yang berbeda. Mulai dari meresensi buku secara rutin, Sabuku (Satu Bulan Satu Buku), dan lainnya. Ditujukan juga untuk anggota, GPAN ingin menumbuhkan minat baca di kalangan internal sebelum mencapai tujuan besar; meningkatkan literasi secara luas. Sebagai komunitas, GPAN memang sedikit banyak mengandalkan bantuan eksternal untuk pendanaan. Namun, mereka sadar kalau donasi saja tidak cukup untuk bisa mempertahankan eksistensi komunitas. Akhirnya, GPAN berusaha mandiri secara finansial dengan membuka toko buku, menjual merchandise dan bahkan makanan.
Selain itu, GPAN pun harus menemui kerikil-kerikil tantangan di tingkat regional. Regenerasi menjadi masalah yang cukup besar. Sulitnya mencari anggota baru membuat GPAN regional kerap tak berumur panjang. Menurut Anam, sejauh ini sudah ada 3-4 GPAN regional yang nggak mampu bertahan karena masalah regenerasi.
ADVERTISEMENTS
GPAN bisa bertahan sampai 6 tahun karena semangat berbagi yang sudah ditanamkan sang founder, Mas Imam~
Founder GPAN | Credit: Dokumentasi Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara via hipwee.com
Dengan moto hidup “Hidup berguna, mati berjasa”, Imam Arifa’illah Syifaul Huda, founder GPAN, memiliki impian untuk memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar. Imam, sapaan akrabnya, makin tergugah ketika melihat tokoh-tokoh dalam program televisi “Kick Andy”. Dari kisah mereka, Imam belajar membangun komunitasnya sendiri. Di titik itulah, Imam sadar bahwa buku adalah alat yang tepat untuk memotivasi gerakan.
Keinginan itu makin kuat saat dirinya ingat betapa sulitnya membeli buku. Baginya yang gemar membaca, buku seolah barang mahal yang sulit dijangkau. Apalagi ia tinggal di desa, sehingga akses untuk mendapatkan buku lebih susah. Kondisi miris ini tak cuma dialaminya, tapi juga anak-anak di daerah tempat tinggalnya.
Nggak butuh waktu lama untuk Imam mengumpulkan donasi buku. Dari sumbangan teman-temannya, ia berhasil mendapatkan 500 buah. Dari situlah, awal mula GPAN yang dibentuk pertama kali di Malang. Buku-buku itu kemudian disalurkan ke lembaga pendidikan di daerah terpencil melalui teman-temannya yang menjalani Kuliah Kerja Nyata alias KKN.
Pelan tapi pasti, Imam berhasil mendirikan GPAN regional Malang, kemudian Yogyakarta saat dirinya menempuh pendidikan di “Kota Gudeg” itu. Menariknya, GPAN bisa menyebar di daerah lain itu bukan lah rencana Imam, melainkan atas inisiasi teman-temannya di daerah-daerah. Menurutnya, ini memang lebih baik karena jalannya komunitas akan lebih mudah jika diinisiasi langsung oleh teman-teman di daerah.
ADVERTISEMENTS
Fokus ke depan, inilah rencana besar GPAN dalam menebar semangat berliterasi
Tujuan GPAN ke depan | Credit: Dokumentasi Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara via hipwee.com
Setelah menginjak usia 6 tahun, tentunya GPAN tak ingin berdiam saja. Komunitas ini punya tujuan ke depan yang harus diwujudkan. Sesuai penuturan Anam, ia pengin GPAN menjadi organisasi yang terstruktur. Saat ini, ia bersama dengan timnya tengah merumuskan formula yang tetap untuk GPAN. Bahkan Anam sedang memikirkan desain regenerasi yang pas agar GPAN bertahan hingga tahun-tahun selanjutnya. Selain itu, Anam berencana memperkuat jalinan kerjasama GPAN dengan Perpusnas.
Anam berharap GPAN bisa menjadi wadah pengembangan diri untuk anak muda. Jadi, ia berharap semakin banyak anak muda yang tertarik dengan GPAN. Tak cuma pengembangan diri di bidang literasi, komunitas ini menawarkan jejaring sosial yang cukup kuat. Sehingga anak muda mendapatkan keuntungan dari luasnya interaksi sosial dengan banyak orang dari beragam latar belakang.