“Egois” atau “egoistis” adalah keinginan untuk mementingkan diri sendiri. Umumnya, sifat yang satu ini digolongkan sebagai sifat buruk manusia. Sama seperti rasa iri, dendam, amarah, atau benci yang juga ada dalam diri kita. Tak salah jika ada filsafat kuno yang menyebutkan,
“Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Demi jadi manusia yang lebih baik lagi, kamu harus bisa mengendalikan diri.”
Ya, ungkapan di atas memang tak salah. Tapi, apakah selamanya sifat egoistis itu harus diredam? Seakan-akan menjadi egois adalah sesuatu yang haram dilakukan? Inilah situasi-situasi dimana kamu tak perlu memikirkan orang lain, dan justru harus menjadi egois!
1. Hubunganmu mungkin tak berjalan sesuai harapan. Buat apa bertahan jika bersamanya tak kamu temukan masa depan.
Hubungan cinta memang tak melulu berjalan sesuai harapan. Pasangan yang digadang-gadang bisa diajak hidup bersama, ternyata punya sifat-sifat yang berlawanan dengan kita. Akibatnya, masalah dan konflik pun seperti tak henti-hentinya mendera.
Ketika kondisinya sudah tak bisa diselamatkan lagi, kenapa harus berberat hati untuk pergi? Memilih putus justru bisa jadi solusi terbaik. Tak apa meskipun pasangan mungkin merasa tak terima lalu menganggap kita egois. Bagaimana pun, bertahan dalam hubungan yang tak punya masa depan juga berarti menyakiti diri sendiri ‘kan?
2. Tak perlu sungkan pada rekan kerja dan atasan. Ketika pekerjaan tak lagi membawa kebaikan, lebih baik tinggalkan.
“Kok loe udah resign, sih? Kontrak kerjanya ‘kan belom kelar?”
Pertanyaan itu mungkin akan seperti teror ketika kamu memutuskan berhenti dari perusahaan tempatmu bekerja. Ada rasa tak nyaman lantaran memutuskan hubungan kerja secara sepihak bisa jadi membuatmu dicap tidak profesional. Ada pula rasa sungkan pada atasan atau rekan-rekan kerja yang seperti ditinggalkan begitu saja.
Tapi, bukankah keputusan ada di tanganmu sendiri? Ketika pekerjaan yang dijalani sehari-harinya tak lagi membawa kebaikan, buat apa bertahan. Toh, dirimu sendirilah yang akan menanggung segala konsekuensi dari keputusan yang sudah kamu ambil.
3. Jangan sibuk menyenangkan orang-orang yang kamu sayangi. Ada dirimu sendiri yang juga butuh dicintai.
Sadar atau tidak, bisa jadi kamu termasuk seorang “pleaser”. Kamu terbiasa berkata “ya” demi membuat orang lain puas dan merasa bahagia, sekalipun jika hal itu merugikan dirimu sendiri. Meski pada dasarnya kamu memang punya niat yang baik, kebaikan yang berlebihan itu ternyata tak “sehat” bagi dirimu sendiri. Dan yang pasti, kebahagiaan dan kepuasaan orang lain bukanlah tanggung jawabmu. Justru yang harus kamu perjuangkan adalah kebahagiaan dirimu sendiri.
4. Kamu pasti punya prinsip dalam menjalani kehidupan. Kadang, hal itulah yang harus diperjuangkan mati-matian.
Dalam menjalani hidupnya, setiap orang tentu punya prinsip yang berbeda-beda. Namun, hidup berdampingan dengan banyak orang memaksa kita untuk pintar-pintar menyesuaikan diri dengan orang lain. Tak jarang, kita harus mengalahkan prinsip yang dimiliki demi bisa berkompromi dengan mereka.
Padahal, bukankah mengalahkan prinsip diri berarti mengkhianati diri sendiri? Jika prinsip itu seharusnya jadi pegangan hidupmu, bukankah hal itu seharusnya kamu pertahankan matia-matian? Jadi ketika orang lain memaksamu meninggalkan prinsip-prinsip hidupmu, tak ada salahnya memilih untuk egois dan memperjuangkan pendirianmu.
5. Tak perlu takut menyakiti. Kadang, menolak ajakan teman lebih baik daripada memaksakan diri.
“Eh, nonton yuk!”
“Duh, nggak ikutan deh. Lagi capek, nih.”
“Ah, nggak asik banget deh loe!”
Ilustrasi percakapan seperti di atas pasti pernah kamu alami. Menolak ajakan teman atau sahabat-sahabat dekat memang terkadang tak mudah. Takut dianggap tak setia kawan atau bahkan tak punya perasaan tentu membuat kita merasa tak nyaman.
Padahal, ketika menolak ajakan teman pastilah kamu punya alasan kuat yang mendasarinya. Entah tubuhmu sedang lelah atau mood-mu sedang tak stabil misalnya. Bagaimana pun, kamulah yang paling tahu kondisi dirimu sendiri. Tak hanya memikirkan perasaaan kawan-kawanmu saja, dirimu sendiri tak boleh diabaikan juga.
6. Setiap orang punya privasi. Menjadi egois bisa berarti kamu menyayangi apa yang kamu miliki.
Hidup berdampingan dengan sahabat atau keluarga memungkinkanmu untuk berbagi banyak hal dengan mereka. Salah satunya soal barang-barang yang kamu miliki. Dari mulai baju, buku-buku bacaan, hingga gadget misalnya. Sah-sah saja jika kamu memang tak keberatan berbagi. Tapi jika menurutmu barang-barang pribadi tak seharusnya dipinjamkan pada orang lain, tak ada salahnya menegur mereka yang melanggar privasimu.
7. Jangan menaruh beban di pundakmu. Katakan terus terang jika kamu memang tak mampu.
Setelah lulus kuliah dan bekerja, kita tentu punya keinginan untuk bisa membantu keluarga. Punya penghasilan sendiri memantapkan niat kita untuk setidaknya membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Entah sekadar membayar biaya listrik atau internet rumah, sampai mencukupi kebutuhan dapur bulanan misalnya.
Sayangnya semakin dewasa, kebutuhan kita pun akan terus bertambah. Alih-alih bisa membantu kebutuhan keluarga atau memberi uang jajan pada adik-adikmu, ada kalanya keuanganmu justru defisit. Dan di titik ini, kamu tak seharusnya merasa bersalah. Jangan menaruh beban di pundakmu sendiri dan tak perlu merutuki ketidakmampuanmu.
8. Tapi saat kamu sedang sangat membutuhkan bantuan, jangan segan untuk berterus terang. Tunjukkan bahwa kamu menghargai mereka yang kamu sayang.
Ada kalanya kamu memang harus fokus pada dirimu sendiri. Menempatkan kebutuhan-kebutuhanmu di posisi pertama dan baru memikirkan tentang selainnya. Dan ketika kamu sedang sangat membutuhkan bantuan orang lain, tak perlu enggan untuk meminta bantuan. Meminta bantuan orang lain bukan berarti mengakui bahwa dirimu lemah. Justru inilah cara menghargai orang-orang yang hadir di sekitarmu.
Tak perlu merasa bersalah untuk sesekali bersikap egois. Toh, tak selamanya menjadi egois itu buruk bagi dirimu. Ada kalanya justru hal itulah yang terbaik yang harus kamu lakukan demi menghargai dirimu sendiri.