Dari dunia bisnis Jepang sedang riuh memperbincangkan tentang kematian Matsuri Takahashi, seorang karyawan dari perusahaan periklanan raksasa, Dentsu Inc. Sebenarnya kasus Matsuri ini terjadi di akhir tahun 2015 lalu, namun kembali mencuat setelah perkembangan lebih lanjut mengenai kasus ini ditemukan.
Matsuri Takahashi tewas setelah bunuh diri di asrama pegawai Dentsu pada 25 Desember 2015. Sebelum melakukan aksi bunuh diri, Takahashi sempat mengirimkan pesan ke teman-temannya melalui Twitter mengatakan “Aku ingin mati.”. Hampir setahun dari kasus ini terjadi, pernyataan resmi dari labor standards inspection office keluar menyatakan bahwa kematian Matsuri memang berhubungan dengan kerja yang berlebihan.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa Matsuri mengalami depresi karena tekanan kerja yang terlalu berat mulai November, sebelum akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri di bulan Desember. Setelah resmi menjadi karyawan Dentsu Digital pada bulan Oktober, Matsuri tercatat sering bekerja lebih dari 70 jam setiap minggunya. Untuk sebulan rata-rata, Matsuri lembur selama 105 jam, atau kira-kira 4 jam setiap harinya.
Hmm, cukup familiar ya dengan kultur kerja di Indonesia? Coba deh hitung udah berapa jam kamu lembur minggu ini. Jangan banyak-banyak deh kalau nggak mau depresi.
Ternyata kisah Matsuri Takahashi bukan satu-satunya. Di Jepang, ada istilah Karoshi, kematian akibat stres karena kerja yang terlalu berat
Kasus Matsuri ini ternyata bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya di Jepang, kematian yang berhubungan dengan tekanan kerja terlalu berat sudah beberapa kali terjadi dan disebut dengan tragedi Karoshi. Hingga saat ini, Karoshi menjadi masalah serius yang menjadi penyebab kematian pada usia kerja. Pada kasus Karoshi, kebanyakan korban meninggal akibat serangan jantung dan stroke. Namun ada juga kematian yang disebabkan oleh bunuh diri yang disebut dengan Karo Jijatsu.
Namun penyebabnya sama, stres karena pola kerja yang tidak sehat. Di Jepang, kasus Karoshi pertama kali terjadi di tahun 1969, ketika seorang karyawan perusahaan pengiriman surat kabar yang berusia 29 tahun, meninggal tiba-tiba di kantor akibat stroke. Pada tahun 2008, kasus Karoshi kembali menjadi pemberitaan setelah kematian seorang insinyur yang terbiasa lembur hingga 80 jam per bulan.
Pada tahun 2004, International Labour Organization melakukan survei bahwa rata-rata orang Jepang bekerja lebih dari 60 jam per minggunya. Namun tidak hanya di Jepang, di Taiwan, kasus yang mirip-mirip dengan Karoshi juga terjadi. Seorang insyur meninggal di depan komputernya, dikeliling dokumen-dokumen perusahaan yang sedang dikerjakan, karena serangan jantung. Menurut orang tuanya, si anak terbiasa bekerja 12-19 jam setiap harinya. Di Cina, seorang direktur bank meninggal di meja kerjanya saat sedang menyelesaikan sebuah laporan.
Beberapa tahun lalu netizen Indonesia gempar karena kisah tragis copy writer Mita Diran, yang meninggal setelah bekerja 30 jam non-stop
Jangan mengira kasus semacam itu hanya terjadi di negara-negara lain. Beberapa tahun lalu netizen juga sempat heboh dengan kasus meninggalnya Mita Diran, seorang copy-writer di sebuah media iklan. Yang membuat heboh adalah postingan Twitter terakhir sebelum Mita dinyatakan meninggal dunia.
“30 hours of working and still going strooong,”@mitdoq.
Mita meninggal setelah mengalami koma selama 24 jam. Sebelumnya Mita bekerja selama 3 hari berturut-turut tanpa tidur. Selama itu juga, Mita mengonsumsi banyak minuman penambah energi dan kopi yang mengandung kafein tinggi. Berita kematian copy-writer muda ini menjadi viral di media sosial, menjadi pengingat seluruh netizen akan bahayanya bekerja kelewat batas.
Normalnya jam kerja adalah 8 jam sehari dan 5 hari seminggu. Disusun sedemikian rupa supaya kamu tetap bisa menjalani hidupmu
Di Indonesia, yang juga memenuhi standar internasional, normalnya jam kerja adalah 40 jam setiap minggunya, atau 8 jam per hari 5 hari per minggu. Standar tersebut tentunya dibuat bukan tanpa alasan yang mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari kesehatan hingga kesejahteraan karyawan. Dengan jam kerja yang dimulai pukul 8 pagi (atau sebagian pukul 9), diakhiri pukul 16.00 (atau 17.00), bila dipenuhi dengan disiplin, kamu masih punya banyak waktu untuk beristirahat di rumah.
Kamu masih bisa bercengkerama dengan keluarga, menghibur diri dengan nonton drama korea, atau melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan. Namun sebagaimana di Jepang dan Cina, kerja lembur juga bukan hal yang asing lagi. Banyak alasan yang digunakan, mulai dari mengejar deadline sampai sampai beban kerja yang memang membludak.
Sesekali kerja lembur memang perlu. Namun jangan dijadikan rutinitas, apalagi hobi
Untuk kasus-kasus tertentu bekerja lembur memang perlu. Karena bagaimanapun dalam bekerja kamu diserahi tanggung jawab yang harus diselesaikan. Ada target yang harus dikejar, dan ada KPI yang harus kamu penuhi. Untuk mempertahankan profesionalitas, tanggung jawab itu jelas harus dipenuhi, meskipun itu berarti kamu harus lembur. Namun lembur seharusnya hanya menjadi kasus khusus yang tidak terjadi setiap hari.
Bila kantor sedang sibuk-sibuknya, dan deadline memang sudah di depan mata, boleh saja kamu kerja lebih satu atau dua jam. Namun bila dilakukan setiap hari, itu bukan lagi kebutuhan, melainkan hobi. Bila alasanmu adalah soal tanggung jawab yang harus diselesaikan, barangkali ada yang harus dievaluasi dari cara kerjamu selama ini. Mungkin beban kerjamu memang terlalu banyak, atau bisa juga kerjamu tidak efektif, sehingga kewajiban yang seharusnya selesai dalam 8 jam harus kamu selesaikan lewat dari batas yang ditentukan.
Bekerja juga ada batasnya, karena kamu manusia. Apa yang kamu kejar sebegitu kerasnya sampai lupa bahwa kesehatan perlu dijaga?
Target kerja terpenuhi memang penting. Namun begitu juga dengan kesehatan. Untuk apa kamu bekerja keras memenuhi target, atau sekadar mencari uang tambahan, bila itu artinya kamu lupa memperhatikan kesehatan? Sama seperti mesin yang akan rusak bila dipakai terus-terusan secara berlebihan, tubuh manusia juga sama. Tubuh kita, otak kita, ada batasnya.
Percuma bukan kita kerja keras mencari uang bila akhirnya uang yang kita dapatkan habis untuk biaya kesehatan? Kita memerlukan tubuh yang sehat untuk bisa bekerja. Kita juga memerlukan tubuh yang sehat untuk bisa menikmati hasil jerih payah itu. Namun bila kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan itu semua, bukankah itu yang namanya sia-sia? Kita bisa beralasan bahwa kerja keras selama ini adalah demi membahagiakan keluarga. Namun apabila akhirnya seperti kasus-kasus di atas, apakah keluarga masih akan bahagia? Bekerja keras itu wajib, namun ada batasnya. Karena kita manusia.
Kamu juga layak bersenang-senang. Ada waktunya untuk bekerja ada waktunya untuk istirahat. Ciptakan kebiasaan hidup seimbang
Rumus normalnya adalah kita bekerja untuk bisa hidup, jangan dibalik menjadi kita hidup untuk kerja. Karena dalam hidup, bukan hanya ada kerja. Di dunia ini, tempat yang bisa kita kunjungi bukan hanya kantor dan ruang-ruang rapat. Di dunia ini, yang membutuhkan perhatian kita bukan hanya klien atau atasan, melainkan juga keluarga, pacar, dan teman-teman.
Bukankah hidup cuma satu kali? Masa iya kita hanya ingin menikmatinya dengan bekerja dan lembur setiap hari (apalagi kalau lemburnya tidak dibayar)? Apa tidak ingin pacaran? Apa tidak ingin liburan? Lembur tidak bisa dijadikan kebiasaan, karena kamu harus membiasakan diri hidup seimbang. Ada waktu untuk bekerja, ada juga waktu untuk istirahat. Bekerja keras mengejar impian tidak berarti kamu melupakan sisi-sisi hidup lainnya yang bisa kamu nikmati.
Bekerja sama seperti berkarya. Bukan hanya untuk mencari penghasilan tapi juga untuk menciptakan sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi sama seperti sifat baik hati, kerja keras itu bagus, namun bekerja terlalu keras itu bahaya. Kesehatan tetap harus dijaga dengan bekerja sewajarnya saja. Karena teorinya, apapun itu, bila dilakukan berlebihan tidak akan ada manfaatnya.