Acara dibanding-bandingkan tidak hanya terjadi dalam kasus pacar dengan mantan pacar lho. Dalam lingkup keluarga pun, tak jarang ada perlakuan yang membanding-bandingkan. Dan terkadang, dibandingkan dengan saudara sendiri ini lebih menyakitkan. Si itu lebih pintar lah, lebih mandiri, lebih akrab dengan keluarga, lebih peduli, dan bla-bla-bla. Meskipun kamu berusaha menulikan telinga, terkadang masih terdengar juga.
Apa pun konteksnya, dibandingan dengan orang lain itu tidak menyenangkan. Meskipun tidak mungkin disangkal setiap orang berbeda-beda, di sini kamu seolah dituntut untuk menjadi orang lain. Yang sering dibanding-bandingkan dengan kakak atau adik yang lebih ‘wow’ daripada kamu, pasti paham betul perasaan-perasaan ini.
ADVERTISEMENTS
1. Mulai dari nilai, karier, hingga jodoh semuanya harus mengacu pada dia yang lebih superior. Ini dan itu, apapun harus kamu tiru
“Kakak aja bisa masuk 5 besar. Masa kamu nggak bisa?”
“Duh, adiknya aja udah punya pacar, masa kakaknya malah masih jomblo sih?”
“Coba dong, kamu lebih ramah lagi kayak kakakmu. Lebih banyak senyum gitu, jangan asyik di kamar melulu.”
Sejak masih anak-anak, kamu sudah akrab dibandingkan dengan saudaramu yang nilainya lebih bagus, aktif jadi ketua kelas, dan disayang guru-guru. Lalu saat dewasa, pilihan karirmu juga bisa dipersoalkan. Bisa kurang bergengsi, ataupun kurang memberi penghasilan tinggi. Mulai dari hal yang sederhana, kamu harus menjadi seperti saudaramu. Dengan kata lain, kamu lebih jelek dan tidak punya kualitas sebesar saudaramu. Karena itu, kamu selalu merasa harus terus memperbaiki diri.
ADVERTISEMENTS
2. Sedikit saja kamu melakukan kesalahan, orang tua akan langsung merujuk pada saudaramu untuk dijadikan panutan
“Ya ampun! Kok bisa-bisanya sih kamu bangun kesiangan? Kenapa nggak nyalain alarm? Masa iya musti Mama terus yang bangunin? Contoh dong Kak Ayu, dia bisa bangun sendiri sejak masih SD!”
Meskipun setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, tapi bila kamu yang melakukan kesalahan tak akan semudah itu ceritanya. Kamu harus mencontoh kak ini atau dik itu, yang mungkin sebenarnya pernah melakukan kesalahan yang sama tapi tidak ketahuan saja. Tapi yah, namanya keluarga. Daripada semakin kena omelan lagi, kamu memilih untuk iya-iya saja.
ADVERTISEMENTS
3. Dan ketika kamu mendapatkan hasil yang diharapkan bersama, tak hanya namamu yang mendapat pujian. Tetap ada nama orang lain yang disebut di sana
“YES! Aku dapat dapat promosi! Naik jabatan naik jabatan… lalala yeyeye~”
“Nah gitu dong, baru itu namanya anak Papa. Jangan hanya jalan di tempat. Kak Ayu kemarin juga bisa naik jabatan padahal baru kerja satu tahun. Anak Papa pasti bisa semua.”
” … “
Hayo, apakah kamu merasa dejavu dengan percakapan semacam itu? Setelah kamu dituntut untuk mencapai hal yang menjadi harapan bersama, keberhasilanmu meraihnya pun tak bisa dilepaskan dari nama saudara yang terus membayang-bayangimu. Seolah usaha kerasmu itu sudah sewajarnya, dan hasil yang kamu peroleh itu sudah seharusnya. Padahal kan kamu berdarah-darah mengejarnya! Tapi lagi-lagi, kamu cuma bisa mengadu dalam hati, dan mencurahkan isi hati di buku diari.
ADVERTISEMENTS
4. Apa yang kamu usahakan mati-matian terkadang juga tak mendapat respon yang diharapkan. Sampai di sini, terkadang kamu merasa hidup itu tak adil
Karena kamu diharapkan berhasil di bidang yang sama, maka keberhasilan-keberhasilan kecil di luar itu seolah tidak ada harganya. Nilai matematikamu cuma 5 bisa menjadi bahan sidang keluarga, padahal kamu memang lebih suka pelajaran Bahasa Indonesia. Nilai 9 yang kamu dapatkan di pelajaran bahasa Indonesia tidak berarti apa-apa, karena saudaramu dapat nilai 9 di pelajaran matematika.
Kamu yang hobi traveling dan berhasil menjadi travel blogger yang punya banyak penggemar tetap saja dianggap pengangguran bila dibandingkan dengan saudaramu yang bekerja kantoran. Di sinilah, rasa sedih itu terkadang muncul, seperti meme-meme ibu polwan yang populer. Hidup ini terasa tak adil, karena keberhasilanmu tak dihargai dengan layak, padahal kamu sudah mempertaruhkan segalanya untuk memperoleh itu semua.
ADVERTISEMENTS
5. Barangkali inilah yang membuatmu sedikit menutup diri. Karena daripada makan hati, kamu lebih suka menyimpan ceritamu sendiri
Karena pengalaman yang sudah-sudah, dan kamu sering makan hati sendiri, perlahan kamu mulai pandai menyembunyikan isi hati. Kamu jadi ahli berpura-pura ceria, padahal dalam hati merana. Kamu luwes saja berpura-pura tak peduli, padahal dalam hati kamu berteriak ingin dihargai juga. Dari situlah, kamu memilih untuk menarik diri. Apakah di keluarga kamu jadi dikenal sebagai anak pendiam yang tak terlalu banyak bicara? Bukannya menjauhi keluarga, namun kamu ingin menyimpan ceritamu sendiri. Daripada dibagi, namun respon yang didapat tak sesuai dengan harapan.
ADVERTISEMENTS
6. Tak ada orang yang suka dibanding-badingkan. Setiap orang ingin keunikannya diakui. Bila kamu merasa begitu, itu manusiawi
Kamu tidak sendirian. Di dunia ini banyak orang yang mengalami hal yang sama. Entah itu dibanding-bandingkan dengan saudara sendiri, ataupun dibanding-bandingkan dengan masa lalu pasangan, atau sekadar dibandingkan dengan rekan kerja. Itu tidak enak, jelas. Setiap orang punya keunikan sendiri, dan sudah pasti mereka ingin keunikan itu diakui. Setiap orang ingin jadi diri sendiri, meraih kesuksesan yang didefiniskan sendiri, namun masyarakat terlalu menuntut untuk satu definisi kesuksesan. Apakah di momen ini kamu sering bertanya “Sementara orang mengagungkan jargon ‘be yourself’, kenapa aku justru tidak boleh jadi diri sendiri?”
7. Sering membandingkanmu dengan saudara, tak selalu berarti kasih sayang keluarga berat sebelah. Mereka hanya ingin kamu termotivasi untuk lebih baik lagi
Dari rasa sakit hati dan nelangsa yang menumpuk-numpuk itu, kamu mulai meragukan kasih sayang kedua orang tuamu. Barangkali kamu penasaran apakah sesungguhnya kamu anak pungut? Anak yang tak diharapkan? Anak yang hadir tanpa direncanakan sehingga tidak boleh protes bila diperlakukan sekadarnya? Ah, apapun alasannya, kamu merasa kasih sayang orang tuamu timpang sebelah.
Mungkin kamu sempat berpikir untuk pergi dari rumah dan mengelana seperti cerita-cerita di TV. Namun tunggu dulu. Sering membanding-bandingkan, tidak berarti orang tuamu tidak sayang. Ketika menyuruhmu untuk menjadi seperti saudaramu yang dinilai lebih baik, sebenarnya mereka hanya sedang memotivasimu. Agar semangatmu terpacu, dan mungkin agar egomu tersentil sehingga kamu tergerak untuk membuktikan bahwa kamu bisa. Jangan tergesa-gesa, tidak ada orang tua yang tidak sayang anaknya.
8. Sebagai orang tua, mereka hanya ingin semua anaknya sukses di level yang sama. Tentunya mereka juga ingin kamu bahagia
Mungkin saja sumber dari semua ini hanyalah kesalahpahaman saja. Orang tuamu mengira, definisi sukses hanya satu poin saja, yaitu seperti yang sudah diraih oleh saudaramu. Orang tuamu lupa, bahwa setiap anak punya mimpi dan cita-citanya sendiri. Tak mesti sama, karena memang preferensi setiap orang berbeda. Yang jelas, orang tuamu ingin semua anaknya sukses dan bahagia.
Tentu mereka tidak mau satu anaknya sukses bergelimang harta dan punya keluarga yang bahagia, sementara anak yang lainnya hidup terlunta-lunta. Yang jelas, orang tuamu juga ingin kamu bahagia. Apa yang perlu dilakukan kini hanyalah melurukan semuanya. Katakan saja bahwa apa yang ingin kamu capai berbeda dengan apa yang sudah dicapai saudaramu. Katakan saja, bahwa kamu bukanlah saudaramu. Keterbukaan barangkali akan membuat semuanya lebih mudah.
9. Tak perlu dijadikan beban. Bila hal ini terjadi lagi, jawab saja dengan senyuman. Lalu buktikan bahwa kamu bisa berprestasi, dengan tetap menjadi dirimu sendiri
Niat awalnya tidaklah buruk, karena orang tua hanya ingin anak-anaknya tumbuh sama baiknya. Kamu yang dianggap sedikit kurang, dimotivasi terus supaya bisa bangkit dan mengalahkan saudaramu. Meskipun caranya kurang tepat dan justru membebani, namun kamu harus mulai menata emosi. Sesudah kamu tahu apa alasan yang sebenarnya, saatnya kamu membuktikan diri. Tak perlu lagi kamu dengarkan perbandingan-perbandingan yang menyakitkan hati itu. Senyum saja. Iya-iya saja. Sambil kamu menata hidupmu, untuk membuktikan bahwa kamu juga bisa sukses, tanpa harus menjadi seperti saudaramu.
Meski dibanding-bandingkan itu tak enak, jangan sampai kamu membenci keluargamu karena ini. Meskipun terkadang menyakitkan, mereka tetaplah orang pertama yang akan datang saat kamu butuh bantuan. Saudaramu yang dipuja-puji itu, mungkin juga tidak berharap terus dijadikan pembanding. Dan orang tuamu tidak bermaksud untuk melukaimu, melainkan hanya ingin memotivasimu untuk lebih baik lagi setiap harinya. Santai saja, dan buktikan bahwa kamu memang bisa!