Masih ingatkah kamu ketika kita duduk di bangku Sekolah Dasar? Saat itu ada banyak sekali pelajaran-pelajaran yang coba dikenalkan kepada kita. Jika kamu mau melihat buku pelajaran anak SD, pasti kamu akan menemui bahwa banyak pembahasan suatu masalah dengan cara-cara yang sederhana.
Salah satu contoh adalah pelajaran Matematika. Dalam pelajaran tersebut, sang guru biasanya akan mengilustrasikan hitung-hitungan dengan menggunakan gambar apel, jeruk, maupun pensil. Hal ini ditujukan tak lain dan tak bukan karena agar siswa dapat belajar dengan cara yang menyenangkan.
Begitu pula dengan pelajaran PPKn, pendidikan moral, atau yang lebih kita kenal saat ini dengan sebutan Kewarganegaraan. Banyak sekali nilai-nilai yang dapat dipetik dari pelajaran tersebut, yang sayangnya banyak kita lupakan saat sekarang sudah dewasa. Tanpa bermaksud menggurui, dalam artikel ini Hipwee ingin mengajakmu mengingat kembali pelajaran yang sudah kita lupakan selama ini.
Bukankah seharusnya kita menjadi lebih pintar seiring bertambahnya kedewasaan, alih-alih semakin mudah melupakan?
ADVERTISEMENTS
1. Guru Kewarganegaraan mengajar, manusia adalah makhluk sosial. Tapi sekarang teman satu kosan saja belum tentu kita kenal.
Oleh PPKn kita diajarkan: kita adalah makhluk sosial yang sudah sewajarnya hidup berdampingan dengan orang lain. Seberapa cemerlang pun kapasitas diri, kita membutuhkan peranan orang lain untuk menjalani hidup.
Mungkin kamu akan berpikir, melakukan semua hal seorang diri itu bukan dosa kok! Aku bisa makan, cari kost, dan lain-lain sendirian. Namun sadarkah kamu siapa yang menanam padi untuk kemudian diolah menjadi nasi yang kita makan? Siapa yang telah membangun rumah yang sekarang kamu tinggali? Siapa yang telah mengajarimu membaca, menulis, serta berhitung?
Boleh saja kamu menyebutkan bahwa memang sudah mandiri, sudah bisa mengerjakan semuanya seorang diri. Namun kamu belum sadar bahwa hidup kita akan selalu bergantung pada orang lain. Pada para petani, tukang bangunan, guru, dan yang lainnya. Kita memiliki peran sendiri-sendiri agar bisa menjalani hidup yang seperti ini. Dan sebagai manusia, peran kita hanya mencakup sepersekian persen dari semua peran yang ada. Tak layak untuk sombong karena merasa kita bisa melakukan segalanya.
ADVERTISEMENTS
2. Sejak usia 6 tahun kita diajarkan makna toleransi. Namun diam-diam, kita masih sibuk menghakimi
Seringkali kita mendengar banyaknya cekcok serta perselisihan baik antar tetangga maupun antar warga. Penyebabnya pun sebenarnya sederhana: perbedaan suku dan agama.
Pertikaian kerap terjadi hanya karena ada yang beribadah atau berbicara dengan cara yang berbeda. Masing-masing dari kita sibuk menghakimi dan mengecap orang lain calon penghuni neraka. Padahal, belum ada dari kita yang sudah pernah pergi ke sana.
Bayangkan jika di masyarakat kita selalu dapat menjaga kerukunan antar warganya. Bukankah lingkungan kita akan lebih nyaman untuk ditinggali? Pada penduduk luar negeri, kita selalu membanggakan diri sebagai bangsa “adat Timur” yang ramah dan penuh toleransi. Tidak malukah kita ketika menemukan yang terjadi di dunia nyata adalah sebaliknya?
ADVERTISEMENTS
3. Dahulu masyarakat dengan suka rela bergotong royong. Sekarang, segala bentuk kerja sama akan susah terlaksana tanpa buzz di media sosial
Masih ingat kan ungkapan yang mengatakan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing ketika di sekolah dasar? Dalam ungkapan tersebut memiliki arti agar kita seharusnya bersama-sama bergotong royong serta bahu-membahu untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Tak perlu perlu muluk-muluk untuk berpikir bagaimana caranya agar ekonomi kita semakin membaik, dan bagaimana mensejahterakan masyarakat. Cukup dengan bergotong royong untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman, nyaman, serta sehat sehingga cocok untuk ditinggali. Hal yang sepertinya susah diwujudkan kini, jika tak ada buzz atau kampanye apa-apa di media sosial.
ADVERTISEMENTS
4. Kita pun sudah lupa apa artinya tenggang rasa. Hidup dijalani dengan kelakuan yang seenaknya
Tenggang rasa memiliki arti yang berbeda dengan toleransi. Orang yang bertenggang rasa adalah orang yang berhati-hati dalam bertindak, supaya kelakuannya tersebut tidak menyakiti hati orang lain.
Contoh tenggang rasa adalah tak menyetel musik maupun film keras-keras karena takut kamar sebelah maupun tetangga kost terganggu. Ingatlah lagi suasana kostmu sebulan terakhir ini. Sudahkah semua orang bertenggang rasa dengan tak menyetel musik atau film lebih keras dari seharusnya?
ADVERTISEMENTS
5. Meski terlihat sederhana, jujur dalam berkata-kata sangat sulit dalam praktiknya
Kejujuran memang salah satu sifat yang mesti kita tanam sedari dini. Meski terlihat sederhana, namun berkata jujur ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan berkata bohong mengenai hal-hal kecil seakan sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan masyarakat kita.
Padahal jika hal tersebut terus dilakukan, bukan tidak mungkin berbohong bukan lagi menjadi hal tabu. Maka jangan heran jika kita menemukan banyak fitnah yang tersebar di masyarakat kita. Oleh karenanya, sekecil apapun kejujuran akan amat sangat berarti untuk kehidupan yang lebih baik nantinya.
ADVERTISEMENTS
6. Alih-alih mengutamakan kepentingan bersama, tak jarang dari kita yang lebih mementingkan kepentingan individu maupun kelompok tertentu
Dalam kehidupan bermasyarakat, kepentingan bersama mutlak dikedepankan. Karena jika kita mengedepankan kepentingan bersama, berarti kita sudah meninggalkan ego kita di belakang sana. Artinya kita telah sadar bahwa kita tidaklah hidup seorang diri. Kita masih memerlukan bantuan serta uluran tangan orang lain. Biar bagaimanapun hal ini merupakan implementasi dari berlaku adil.
Sudah saatnya kita mulai mengingat-ingat lagi pelajaran-pelajaran di atas. Tidak malukah kita pada murid-murid sekolah dasar, yang fasih menghafalkan tindakan-tindakan terpuji dalam kelas Kewarganergaraan?