Pertanyaan sederhana seperti ‘kapan nikah?’ untuk beberapa orang terdengar lebih berat daripada pertanyaan-pertanyaan saat sidang skripsi. Mulai saat bertemu teman-teman, kumpul keluarga besar, sampai orang-orang yang bahkan baru kamu kenal, semuanya berlomba-lomba menanyakan hal yang sama. Seolah-olah status asmaramu itu menjadi persoalan pelik yang jadi tanggung jawab semua orang untuk mencarikan solusinya.
Bila diingat-ingat lagi, pertanyaan kapan nikah ini bukan pertanyaan pertama bahaya yang kamu dapatkan. Sebelum-sebelumnya, kamu sudah menghadapi pertanyaan-pertanyaan senada. Mulai dari sekolah, kuliah, hingga nanti sudah menikah, kamu akan terus dikejar pertanyaan hidup yang membuatmu sebal.
ADVERTISEMENTS
1. Pertanyaan hidup pertamakali terasa mengusik ketika kamu beranjak mandiri. Lepas mengejar masa depan, orang-orang disekitarmu akan mulai bertanya ‘Besok mau jadi apa?’
‘Besok mau jadi apa?’ sebenarnya merupakan pertanyaan yang sering kita dengar sedari kecil. Tapi tentu saja beban menjawabnya berbeda, seiring umur yang terus bertambah. Dulu semasa kecil, menjawab ingin jadi astronot, tukang becak, atau bahkan dinosaurus, orang-orang di sekitarmu hanya akan tertawa dan mendorongmu untuk terus bermimpi setinggi-tingginya. Bahwa asalkan terus kerja keras, semuanya pasti mungkin terjadi.
Namun saat tak lagi di umur ketika kejamnya realitas hidup tak perlu ditutup-tutupi atau dipermanis, respon mereka tentulah sangat berbeda. Misalkan ketika kamu ingin mengikuti kata hati untuk kuliah di jurusan tak populer, otomatis orang-orang akan berkicau ‘Mau jadi apa coba kalau kuliah di situ?’. Cita-cita yang dibangun atas mimpi masa kecil, seringkali dihempaskan ke tanah oleh orang-orang yang sama. Begitu menginjak usia dewasa, realistis atau tidak jadi ukuran utama semua langkah kehidupan. Meski benar adanya, jangan serta merta melupakan mimpimu yang mungkin layak untuk diperjuangkan.
ADVERTISEMENTS
2. Pertanyaan ‘Kapan lulus?’ masih menggema setelah sekian lama berjuang menyelesaikan skripsi, tapi kamu harus siapkan diri untuk menghadapi pertanyaan yang sudah banyak mengantri di belakang
Setelah berembuk dengan orangtua dan realita menentukan jurusan kuliah, bersiaplah mendengar ‘Kapan lulus?’ barang 3-4 tahun ke depan. Terlebih untukmu yang ternyata mengalami kesulitan bertarung dengan deadline diri sendiri, sampai menemukan sejuta alasan untuk tak menghadap dosen pembimbing. Pertanyaan itu pasti membekas seumur hidup. Dari jawaban standar ‘Doain aja’ sampai hanya sekadar senyum yang mengembang, kamu pastinya sudah sangat lelah menjawab.
Bahkan ketika orangtua telah berjanji memberikanmu kebebasan asal kamu bisa lulus dengan gelar, berhati-hatilah tak jarang itu hanya omongan kosong berlandaskan keputusasaan. Kebebasan yang mungkin hanya bisa kamu nikmati di hari pendadaran, berikutnya pasti akan datang pertanyaan bernada ‘Setelah ini mau kerja dimana?’ atau ‘Mau lanjut S2 dulu apa langsung lanjut kerja?’. Tak perlu merasa dikejar-kejar. Jangan lupa beri selamat ke dirimu sendiri setelah menyelesaikan perjuangan skripsi dan renungkanlah dalam-dalam langkahmu selanjutnya. Bukan karena merasa harus segera menjawab semua pertanyaan orang lain, tapi karena tahu akan lebih banyak perjuangan hidup yang lebih berat. Kamu tak ingin berlama-lama lagi terjebak di satu tempat.
ADVERTISEMENTS
3. Pertanyaan tentang studi atau karier 5 tahun ke depan saja sudah cukup bikin galau. Yang lebih parah adalah ketika semua orang sudah penasaran siapa pendampingmu untuk selamanya, alias ‘Kapan nikah?’
“Kapan nikah?”
“Kalau nggak Sabtu ya Minggu. Kalau nggak hujan.”
Komedi yang dilontarkan Raditya Dika itu seolah mengekspresikan gundah gulana yang dialami kaum muda tentang betapa pertanyaan kapan nikah itu seperti kehadiran dementor di film Harry Potter. Membuatmu merinding ketakutan dan gelisah berkepanjangan. Tapi apapun pembelaan yang kamu punya, akan tiba saatnya kamu akan mendapati pertanyaan ‘Kapan nikah?‘ di mana-mana. Saat-saat seperti ini, apapun karier yang kamu punya dan berapa pun pendapatan yang kamu terima seolah tidak ada harganya sebelum kamu punya pasangan yang dibawa ke orang tua. Sedih, memang.
ADVERTISEMENTS
4. Berharap bisa tenang setelah resmi tercatat sebagai pasangan di KUA? Tunggu dulu sampai kamu ditanya kapan bisa kasih cucu buat Mama
Banyak yang mengira bahwa setelah resepsi pernikahan digelar, maka hidupmu akan tenang. Orang berhenti bertanya-tanya soal hidupmu karena semua sudah sempurna. Karier oke, penghasilan lumayan, pasangan pun sudah ada. Apa lagi yang perlu ditanya-tanya? Namun, siksaan itu tidak berakhir di sini saja. Setelah menikah, kamu akan ditanya ‘Kapan bisa ngasih cucu buat mama?’. Dan setelah Mama punya satu cucu, kamu akan ditanya ‘Kapan cucu Mama punya adik?’.
Memang seharusnya di titik ini kamu sudah harus mulai bisa berdamai dengan kenyataan bahwa pertanyaan hidup itu tak akan ada habisnya. Jangan dibawa stres atau bahkan merasa didikte oleh pertanyaan-pertanyaan yang datang dari segala arah ini. Berjalanlah dengan ritme hidupmu sendiri, kamu yang menjalani bukan orang lain. Anggaplah pertanyaan mereka doa dan saran yang mengiringi keputusanmu.
ADVERTISEMENTS
5. Terkadang saking sebalnya dibanjiri pertanyaan yang tiada henti, dalam pikiranmu kamu berpikiran kenapa tidak sekalian saja ditanya mati kapan
Hidup kita memang ada tingkatan-tingkatannya. Apa yang kamu hadapi saat masih sekolah tentu berbeda dengan apa yang kamu hadapi saat menjadi mahasiswa. Dan pertanyaan yang harus kamu jawab saat kuliah jelas berbeda dengan pertanyaan yang harus kamu jawab setelah melewati momen wisuda. Hidup manusia secara umum memang mengikuti pola lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, punya anak, punya cucu, lalu mati. Jadi bila kamu bertanya-tanya kapan mereka bosan ‘kepo’ soal kehidupanmu, mungkin setelah mereka menanyakan tahapan terakhir: Kapan mati?
ADVERTISEMENTS
6. Tak perlu panik sendiri. Ingat, semua orang juga mengalami hal yang sama. Itulah inti kehidupan yaitu untuk terus berkembang
Meski sederhana dan seringnya dilontarkan dengan nada bercanda, tapi pertanyaan-pertanyaan itu sering menyentil juga. Tak jauh berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, pertanyaan-pertanyan itu menjadi gangguan yang membuatmu gelisah saat sadar kamu belum juga melewati tahapan-tahapan yang diharapkan. Teman-teman seangkatan sudah ke pelaminan, tapi kamu masih enjoy sendirian. Teman-teman sudah punya foto keluarga bahagia, kamu masih sibuk selfie. Meski terkadang mengganggu, namun kamu bukan satu-satunya orang yang dibombardir pertanyaan hidup yang tak ada habisnya. Itu hal biasa.
7. Ada yang benar-benar peduli, namun ada juga yang hanya bertanya demi basa-basi saja. Tak perlu tanggapi semua, pikirkan saja mereka yang mengkhawatirkanmu sepenuh hati
Sulitnya mencari jawaban yang tepat, membuatmu mendumal dalam sebal: Ngapain sih orang nanya-nanya soal pribadi? Kepo atau memang peduli?. Pertanyaan-pertanyaan yang kamu sebali itu sebenarnya bisa menjadi wujud kasih sayang dan perhatian orang-orang terdekat. Orangtua sering bertanya pacarmu mana tentu karena ingin mengingatkan agar kamu tidak lupa untuk mencari pasangan karena terlalu tenggelam dalam pekerjaan. Tapi ada juga yang bertanya hanya sekadar iseng saja daripada tidak bertanya apa-apa. Orang semacam ini bertanya bukan karena peduli, tapi murni kepo dan hanya basa-basi.
8. Hidupmu ini kamu yang menjalani. Tak pelu memikirkan omongan orang yang sebenarnya tidak peduli
Pertanyaan semisal mengapa kamu belum menikah meskipun sudah waktunya, bukanlah hal yang perlu kamu pertanggung jawabkan kepada masyarakat. Kamu punya alasan sendiri, dan tidak penting apakah orang lain memahami alasanmu atau tidak. Toh hidup ini kamu yang menjalani. Sementara orang-orang yang sibuk bertanya itu juga belum tentu benar-benar peduli. Jadi untuk apa kita sibuk menyiksa diri memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin hanya basi-basi? Daripada membuang-buang waktu, lebih baik fokus saja pada tujuanmu.