Buatku, kehadiran Ibu seperti suara nguing-nguing dari kipas angin yang didengar hampir tiap hari. Dia ada, namun kehadirannya sering tak terasa. Tidak seperti orang kebanyakan sedari kecil aku belajar untuk hidup tanpa kehadiran suara itu. Sebab Ibu hampir tidak pernah ada di hidupku.
Menyesal atau kecewakah aku? Tidak sepenuhnya. Sebab dari kekosongan ini mataku terbuka. Apakah ada darimu yang merasakan perasaan serupa? Semoga ceritaku ini bisa mewakili apa yang kalian rasa.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Kenanganku bersama Ibu seperti produk limited edition. Sedikit dan menggemaskan
Jumlah kenangan bersama Ibu yang tertancap di otakku bisa dihitung dengan jari. Sejak aku berumur 1 tahun 1 bulan Ibu sudah mulai alpa. Saat itu aku tidak pernah khawatir atau bertanya kenapa Ibu tidak ada. Toh kasih sayang tetap aku dapatkan dari Papa, Kakek dan Nenek yang selalu sedia. Mereka bertiga mencukupi apa yang Ibu tidak bisa beri tiap harinya.
Masa kecilku berjalan sebagaimana mestinya. Aku tetap badung dan sesekali dihukum berdiri di atas lemari karena nakal. Tidak hadirnya Ibu tak pernah membuat hidupku berhenti berjalan.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
“Ibumu pergi karena sudah tidak sayang”, kata orang. Dari dulu aku selalu belajar melogikakan berbagai alasan
Dewasa kadang identik dengan menerima pendapat orang yang tidak sepenuhnya enak di telinga. Dalam kasusku, jelas ketidakhadiran Ibu yang jadi sumbunya. Bukan cuma sekali aku dengar pendapat dan omongan orang yang berkata kalau Ibu meninggalkanku karena Beliau tidak sayang.
Jelas, mendengar pendapat itu aku mulai bertanya-tanya. Tapi aku memilih menyimpan dan tidak mengungkapkannya ke Papa. Aku percaya bahwa alasan Ibu meninggalkanku pastilah kuat dan berdasar. Ibu mana yang tidak patah hatinya saat memilih berjarak dari anak yang sudah dia cinta bahkan sebelum lahir ke dunia?
Sedari kecil aku belajar tidak menyamaratakan rasa. Aku percaya alasan Ibu ada setingkat di atas level “biasa saja.”
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Disekolahkan di Jawa Barat mempertemukanku dengan pemegang kuncinya. Di titik itu aku percaya kalau Ibu selalu ada
Mungkin karena di dalam hati aku selalu rindu Ibu dan tidak bisa mengeluarkan perasaan pada Ayah dan nenekku akhirnya aku menjadi anak yang agak bandel dan banyak memberontak. Menghadapi perubahan sikapku Nenek dan Ayah memutuskan menyekolahkanku ke Jawa Barat. Tempat di mana pertanyaanku akan Ibu akhirnya terjawab.
Seperti gadis muda kebanyakan saat itu aku jatuh cinta pada seorang pria. Dia yang berumur cukup jauh denganku, 14 tahun perbedaan umur kami akhirnya jadi jalan untukku tahu ke mana Ibu.
Suatu saat aku bertemu Saudara pria itu. Tanpa disangka dia adalah Kakak kandung Ibuku.
Di usia 17 tahun aku bertemu Ibu. Di umur itu pula aku mengikhlaskan wanita yang sangat mencintaiku
Dua minggu kemudian, paman & bibiku menjemputku untuk pergi kesebuah rumah sakit di jawa tengah. Si sanalah kulihat ibuku yang rapuh & tak mengenaliku, saat itu usiaku tepat 17 tahun. (doaku selama ini terkabul, di usia 17 aku bisa melihat ibuku) walau beliau tak mengenaliku, namun aku bahagia karena bisa melihat&memeluknya. ALZHAIMER membuat dia lupa akan anak -anaknya, trauma mendalam membuat luka besar di hatinya. Sebagai anaknya aku hanya bisa terus berdoa, semoga beliau bisa cepat pulih. Saat itu pula akhirnya kudapatkan semua surat – surat yang beliau kirim namun tak sampai padaku. Pada akhirnya aku tahu apa alasan dia pergi meninggalkanku, bukan seperti yang mereka katakan, alasan utama adalah perbedaan kasta keluarga & jurang pemisah besar yang di buat oleh nenekku.
Namaku Barbie. Aku tumbuh tanpa Ibu. Hatiku tetap penuh walaupun tak ada Ibu
Cerita Barbie selengkapnya bisa kamu baca di mig.me