Bagi anak milenial, passion adalah segalanya. Jargon-jargon diserukan agar anak-anak muda berhenti memaksakan diri mengikuti ekspektasi orang lain dan bekerja sesuai renjana dalam hatinya. Dengan begitu apa yang dikerjakan selalu sepenuh hati dan jauh pula dari tekanan dan kesepian yang memang sering mendera anak milenial.
Tapi passion atau renjana adalah sebuah istilah yang asing bagiku. Ketika orang-orang menggaungkan itu dan menasihatiku atas nama idealisme dan hidup yang lebih seru dengan passion, aku justru nggak tahu apa passion-ku? Sebab sudah melewati batas pertengahan 20-an usiaku, tapi nggak juga kutemukan jawabannya. Hari-hari kulalui dengan kerja sebaik-baiknya demi gaji di akhir bulan untuk bisa membayar tagihan. Apakah aku adalah semalang-malangnya manusia, karena nggak bisa menemukan passion-nya?
ADVERTISEMENTS
1. Iri sekali melihat orang-orang yang berjuang demi passion-nya. Rasanya meski berat, kebahagiaan yang didapat sepadan
Bila ditanya apakah aku nggak ingin kerja sesuai passion, jawabannya tentu ingin. Aku bahkan iri dengan orang-orang yang sudah menemukan passion sejak muda. Hidupnya terlihat begitu berwarna. Memang sih, melakukan sesuatu sesuai passion belum menjamin segala kemudahan dan kenyamanan. Mereka juga mengalami tantangan, hidup yang berat, dan perjuangan hebat. Tapi rasanya passion membuat hidup mereka lebih terarah dan bermakna. Meski perjuangannya berat, tapi kepuasan yang didapat sepadan. Jika bisa, aku juga ingin menjadi demikian.
ADVERTISEMENTS
2. Orang bilang passion adalah sesuatu yang bisa dilakukan dengan sangat baik. Aku bisa banyak hal, tapi semuanya terasa standar
Di saat orang-orang seusiaku sudah tahu passion-nya, aku justru sibuk bertanya-tanya passion itu apa. Well, mungkin aku bisa segera menemukannya bila aku sudah tahu apa itu passion sejatinya. Kata orang, passion adalah sesuatu yang bisa kita kerjakan seumur hidup tanpa ada rasa bosan. Sesuatu yang bisa kita kerjakan dengan sangat baik dengan hasil spektakuler. Lalu bila kulihat diriku sendiri, aku memang bisa mengerjakan banyak hal, tapi semuanya ada di level standar yang nggak bisa juga untuk dibanggakan.
ADVERTISEMENTS
3. Ada kalanya aku merasa sudah menemukan passion. Namun, bila ketertarikan itu hanya sesaat dan tak bertahan lama, apakah itu hal yang sama?
Passion juga merupakan sesuatu yang begitu menarik perhatianku, sehingga membuatku rela menginvestasikan waktu, pikiran dan tenaga untuknya. Well, di sini, aku bisa mencatat beberapa hal yang kusukai. Aku pernah sangat suka. Lalu aku juga pernah sangat tertarik tentang ilmu astronomi, terutama tentang Black Hole. Kadang aku juga senang mengulik teks-teks sejarah, dan sesekali aku merekam nyanyian untuk diunggah ke Soundcloud. Tapi aku ini seorang pembosan akut. Rasa suka yang menggebu di awal bisa kemudian hilang tanpa bekas.
ADVERTISEMENTS
4. Belum lagi bila sudah masuk dunia kerja. Sesenang apa pun aku dengan bidang itu, serang bosan dan lelah itu tetap saja ada
Dengan bekerja sesuai passion, ada banyak hal positif yang didapatkan. Yang jelas sih, nggak akan stres dan tertekan. Lha wong yang dikerjakan adalah sesuatu yang disukai, kok. Jujur saja, aku belum merasakan hal itu. Pernah suatu kali aku bekerja mengikuti (yang kupikir) passion. Namun, bicara dunia kerja, itu ternyata dunia yang sangat berbeda. Keberadaan deadline, permintaan klien yang aneh-aneh, atasan yang serba nggak sabaran dan nggak mau tahu, semua itu tetap saja memicu stres, jenuh, dan keinginan untuk kabur sesaat.
ADVERTISEMENTS
5. Tapi, tak ada waktu untuk bersantai menunggu atau mencari passion. Tagihan-tagihan di akhir bulan harus tetap dibayar dengan apa pun pekerjaannya
Seandainya aku kaya rasa seperti keluarga Bakrie, tentu aku akan mencari tahu soal passion ini dengan serius. Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan apa passionku sebelum memutuskan sesuatu. Karena aku nggak mau terjebak di dunia atau bidang yang keliru.
Ya, seandainya saja aku punya nominal besar di rekening sehingga nggak kerja pun nggak akan membuatku mati kelaparan. Sayangnya, aku hanyalah orang biasa dengan segudang tagihan yang harus dilunasi setiap akhir bulan. Nggak ada waktu untuk berleha-leha sembari memikirkan passion-ku apa. Aku harus bekerja–apa pun itu selama masih bisa diterima dengan akal sehat–untuk membayar itu semua.
ADVERTISEMENTS
6. Stres, lelah, jenuh, marah, selalu saja ada. Aku mulai menginsyafi bila memang seperti itulah dunia kerja di mana pun dan apa pun yang kita kerjakan
Menerima apa yang ada ternyata nggak seburuk itu kok. Meski kadang aku bertanya-tanya ke mana hidupku akan bermuara kelak, ternyata berusaha menikmati apa yang dikerjakan saat ini juga menyenangkan. Aku memang akrab dengan stres dan rasa jenuh, yang membuatku perlu mengambil cuti setidaknya sebulan sekali. Tapi kurasa di mana pun dan apa pun yang kukerjakan, selalu akan ada momen-momen demikian. Jadi, kenapa nggak dinikmati saja daripada terus-menerus mengeluh bahwa ini bukan yang kuinginkan?
7. Meski begitu, aku bersyukur karena punya kesempatan belajar banyak hal. Mungkin suatu saat, yang namanya passion itu akan kutemukan
Mungkin aku kurang beruntung karena hingga “setua” ini belum tahu apa passion-nya. Tapi aku juga nggak bisa membohongi diri karena aku bersyukur diberi kesempatan untuk mencoba dan belajar banyak hal. Hobi-hobi kecil yang kurang bisa disebut passion, bidang-bidang yang kutekuni sampai akhirnya aku nggak betah dan nggak bisa bertahan lagi, itu semua memberikan ilmu yang teramat sangat besar. Dengan begitu, aku punya banyak skill meskipun nggak istimewa seperti orang-orang.
Aku masih berharap bisa menemukan renjana itu suatu hari ini. Tapi untuk saat ini, kurasa nggak ada alasan untuk terus mengeluh dan mencaci apa yang kumiliki. Lagipula, dengan semua tagihan yang harus dilunasi itu, aku harus berpikir realistis. Sebab faktanya, nggak ada di dunia ini yang gratis.