Dua cangkir kopi kosong berjejer di antara kita berdua. Java Arabika dan Hazelnut Latte. Dinginnya tatapanmu sekarang tidak pernah melebihi dinginnya udara malam ini.
Rasanya masih sulit dipercaya bahwa kita berdua berada pada titik ini, sedang membicarakan semua yang pernah kita lakukan. Tingkah lakumu pun dapat kubaca dengan jelas. Ponselmu yang tak berhenti berdering, matamu yang melihat jam tangan setiap menit, dan hela nafas yang begitu berat seolah menandakan bahwa semua ini terasa begitu tak bermakna.
Aku tahu kau begitu ingin cepat berlalu dari hadapanku. Namun setidaknya dengarkanlah permintaanku meskipun itu hanya pura-pura bagimu.
ADVERTISEMENTS
Aku ingin kamu tetap di sini. Temani aku hingga malam berganti
Jangan tinggalkan aku. Tidakkah kau tahu betapa membutuhkannya aku akan dirimu saat ini? Bukannya aku memaksamu untuk selalu di sisi, namun aku tak pernah begitu mencintai pria sedalam ini. Perpisahan kita hanya menyisakan beberapa goresan yang makin terasa perih dan nyeri setiap kali aku merasa letih.
Rasanya aku ingin selamanya berada di sini. Menikmati cangkir demi cangkir kopi bersamamu yang selalu menghiasi hati. Menatap senyummu adalah hal yang paling kunikmati setelah cangkir kopi ini. Entah kenapa senyum itu kian lama tak lagi nampak menyapa, dan aku hanya bisa bertanya-tanya ada apa…
ADVERTISEMENTS
Dapatkah kau berusaha untuk mengingat kembali bagaimana kita saling terkait? Kuharap memori itu masih dengan jelas mengisi hati
Mari kita ingat sejenak masa ketika pertama berjumpa.
Sore itu dingin, sedingin hari ini. Ketika tatapanmu bertemu milikku dari seberang jalan coffee shop langgananku. Ah ternyata kau bersama seorang temanku, tanpa ragu-ragu kalian menghampiriku dan ikut bergabung denganku. Rasanya sore itu terlalu berharga buatku, entah bagaimana denganmu. Kita menghabiskan sore bersama-sama dibumbui dengan candaan mengundang tawa yang akhirnya membuat kita saling bertegur sapa via suara di esok harinya. Dan hingga akhirnya kita menyadari bahwa rasa yang kita punyai ternyata sama.
ADVERTISEMENTS
Rasanya sungguh menyiksa jika kita berhenti berjuang di saat dunia masih berputar dengan indahnya
Kita hanya bisa menelan marah. Aku mengisi iri, kau memuntah pasti, semua tentang janji. Di hari itu, kita sama-sama melipat kata-kata serta meninggalkan memar dalam mata, untuk masing-masing. Banyak sekali kenangan yang masih membekas di otakku. Entahlah, kadang aku sangat ingin melupakannya ketika kenangan itu mendadak terjun bebas ke dalam pikiran. Di sisi lain aku tidak ingin melupakannya begitu saja. Bagaimana denganmu, sayang?
Kemudian semunya berakhir tanpa mampu kukendalikan bagaimana seharusnya ia berjalan. Aku terhempas dengan begitu keras saat gelombang datang tanpa pernah kuduga. Aku, yang seharusnya tetap berada dalam dunia kita, kini terbuang kembali ke dunia gelap. Sunyi dan senyap. Dan engkau, tetap pada duniamu. Jarak begitu jauh mengantarai kita. Bahkan untuk sekedar mendengar suaramupun tak bisa kulakukan lagi.
ADVERTISEMENTS
Aku ingin kau tetap di sini. Menemaniku menghabisi cangkir demi cangkir kopi yang rasanya semakin tak berarti lagi
Bukankah pernah kau katakan padaku bahwa kau akan selalu menemani? Mengisi hari-hari dengan banyak hal berarti. Tak pernah kusangka salah satu hal yang berarti bagi kita berdua adalah perpisahan yang sungguh menyesakkan ini.
Untuk kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan. Belajar bahwa kisah kita akan senyap di dalam keabadian.
Ingin sekali aku memelukmu dan memohon agar kau tetap tinggal dan tak pernah menghilang. Namun hubungan kita rasanya tak bisa lagi diharapkan. Ketika salah satu dari kita mulai mencoba memaksa untuk bertahan, hanya penyesalan yang akan datang.
Awan gelap menggantung di angkasa sejauh mata memandang. Tapi rintik hujan tak juga kunjung menetes. Sesekali angin bertiup. Entah bersekongkol dengan apa.
Dan aku harus memaksa diri untuk memandang bayangan punggungmu yang semakin lama semakin menjauh.
ADVERTISEMENTS
Mungkin dapat kukatakan semuanya dengan mudah namun tetap saja keheningan inilah yang terindah
Aku menangis, bukan karena kau pergi. Namun karena aku mulai mengerti, bahwa ada bagian dari dirimu yang tak akan terganti. Aku menangis karena memang itulah caraku melepas beban. Melepas asa yang mungkin tak akan pernah teraba. Menguapkan segala perasaan yang kini berubah menjadi isyarat. Betapa semuanya begitu sayang untuk kubuang dan menghilang.
Bisa saja aku tetap memaksa agar kau tetap selalu ada, tapi tidak. Meskipun aku bisa dengan mudahnya membuatmu untuk kembali lagi, tetap saja keheningan inilah yang terindah.
Selamat tinggal, semoga kita berdua akan menemukan jalan yang lebih mengagumkan.
Pada suatu sore,
Di coffee shop penuh arti.