Kematian Matsuri Takahashi, karyawan muda di Jepang yang mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari gedung asrama karena stres tekanan kerja, lalu kematian Vincentius Billy, mahasiswa UI yang memutuskan gantung diri di kamar indekosnya, hanya dua contoh kasus bunuh diri yang dilakukan usia produktif. Sementara bila kita membuka media online, dan mengetikkan keyword ‘Kasus bunuh diri di Indonesia’, tak hanya satu dua kasus yang disodorkan, melainkan puluhan. Bahkan mungkin ratusan.
Bunuh diri bukanlah semata-mata kasus yang hanya terjadi dalam novel ataupun film. Bunuh diri, adalah fenomena yang benar-benar terjadi di dunia, dan tidak hanya satu atau dua. Yang lebih tragisnya, banyak kasus bunuh diri yang berawal dari masalah yang bagi beberapa orang terkesan ‘sepele’, seperti remaja putus cinta, anak sekolah takut dimarahi orang tua karena nilai jelek, hingga mahasiswa yang memilih mengakhiri hidupnya karena proposal skripsinya ditolak.
Mengapa di antara banyak orang yang begitu mendamba kehidupan, ada orang yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri?
Fenomena bunuh diri terjadi di berbagai negara, dengan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Orang biasa ataupun selebritis, bunuh diri tak pandang rupa ataupun identitas
Di Amerika, kurang lebih 42.773 orang mati karena bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab terbanyak ke-10 atas kematian di Amerika serikat, dan jumlahnya jauh lebih banyak daripada kematian akibat pembunuhan. Sementara itu di Korea, bunuh diri menjadi salah satu masalah terbesar negara gingseng ini. Sebanyak 14.160 orang tewas akibat bunuh diri di tahun 2012. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 219% dari tahun 2000. Saat ini di Korea, bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia 1-30 tahun, dan penyebab kematian tertinggi kedua untuk usia 40 tahun, di bawah kanker. Bahkan angka bunuh diri di usia pelajar Korea, adalah angka yang tertinggi di dunia.
Beberapa tahun lalu kita dikejutkan dengan berita tentang aktor senior Robin Williams yang mengakhiri hidupnya. Di Korea, hal serupa pun terjadi, bunuh diri juga banyak terjadi pada artis-artis Korea yang sedang bersinar. Sama halnya dengan di Korea, di India kasus bunuh diri terjadi paling banyak juga terjadi di antara pelajar. Beban belajar hasil dari sistem pendidikan dianggap sebagai penyebab dari tingginya angka bunuh diri ini. Soal ini juga pernah disentil oleh film 3 Idiots, yang mengatakan bahwa kematian bunuh diri di antara pelajar itu bukanlah bunuh diri, melainkan pembunuhan pelajar oleh sistem pendidikan.
Angka yang tertera di atas masih belum mencangkup semuanya, dan yang lebih tragis, angka tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Sebagian besar kasus ini terjadi akibat depresi yang tidak bisa diatasi oleh diri sendiri. Setiap harinya ribuan usaha bunuh diri terjadi. Setiap harinya ratusan nyawa melayang karena diakhiri sendiri. Tak memandang apakah kamu pelajar, orang dewasa, artis, ataukah gelandangan, bunuh diri menjadi momok menyeramkan bagi dunia, yang bahayanya tak kalah dengan kanker dan perang.
Tingginya angka bunuh diri, banyak negara yang bahkan menyiapkan Hotline suicide. Mulai dari group konsultasi sampai pos-pos pelaporan di tempat yang sering dijadikan lokasi bunuh diri. Semuanya demi menumbuhkan semangat orang untuk bertahan hidup
Sudah sejak lama bunuh diri menjadi penyebab kematian yang sangat mengkhawatirkan. Peningkatan yang konstan dari tahun ke tahun, bunuh diri kini menjadi masalah bersama yang harus dicari solusinya. Untuk menekan peningkatan kasus bunuh diri ini, berbagai negara sudah mencoba menempuh beberapa solusi.
Di Korea, Jembatan Mapo yang melintasi Sungai Han, merupakan tempat ‘favorit’ para pelaku bunuh diri. Saking banyaknya kasus bunuh diri terjadi di sini, Jembatan Mapo disebut dengan Suicide Brigde (Jempatan bunuh diri). Di tahun 2012, pemerintah Korea besama Samsung, berkomitmen mengubah stigma Suicide Bridge menjadi Bridge of Life (jembatan kehidupan). Caranya dengan menaruh papan elektronik di pagar jembatan sebagai sarana saling menyemangati.
Di papan ini, orang bisa menuliskan sapaan “Apa kabar?”, “Aku tahu ini berat untukmu…”, dan motivasi lain yang tujuannya untuk memotivasi orang agar tidak terburu-buru mengakhiri hidupnya. Sayangnya, setahun setelah papan ini hadir, angka bunuh diri justru meningkat 6x lebih banyak. Kini berawal dari kebijakan lokal di Busan, monitoring orang yang berisiko bunuh diri mulai dilakukan. Cara ini terbukti ampuh di Finlandia, yang pada tahun 1992, kasus bunuh dirinya tertinggi di dunia.
Berbeda lagi dengan New Zealand. Dengan angka bunuh diri yang cukup besar, Mental Health Foundation membentuk Suicide Prevention. Organisasi ini akan membantu mulai dari memberikan petunjuk tentang bagaimana menghadapi orang-orang terdekat yang mengalami depresi, sampai memberikan layanan hotline telepon untuk pelaporan usaha-usaha bunuh diri. Di Amerika, organisasi yang sama juga menyediakan layanan Suicide Help yang bisa dihubungi 24 jam oleh siapapun yang sedang berpikir untuk bunuh diri. Permasalahan mengakhiri hidup sendiri ini sudah menjadi urgensi yang tidak lagi tanggung jawab pribadi, melainkan tanggung jawab bersama.
Tak hanya di luar negeri, di Indonesia pun banyak kasus-kasus bunuh diri. Di Gunung Kidul, ada fenomena Pulung Gantung, isyarat akan adanya warga yang membunuh dirinya sendiri
Bunuh diri tidak hanya menjadi ancaman di luar negeri, melainkan menjadi masalah sehari-hari yang kita hadapi di Indonesia. Dibandingkan negara-negara lain, mungkin prosentasi kasus bunuh diri di Indonesia belum terlalu tinggi, yaitu 3,7 orang per 100.000 orang. Di antara kasus-kasus tersebut, angka tertinggi datang daru Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Bahkan di daerah ini dikenal ada istilah Pulung gantung, yaitu sebuah tanda yang berupa sinar merah dari langit yang akan jatuh ke atap sebuah rumah.
Nah, di rumah yang dijatuhi oleh Pulung gantung tersebut, akan ada satu orang yang meninggal karena gantung diri. Meskipun penelitian dari Universitas Gajah Mada menyebutkan bahwa cahaya ini berasal dari perpaduan fosfor dan zat kapur yang memang banyak terdapat di Gunung Kidul, namun mitos dalam masyarakat masih sangat kental. Untiknya, memang sudah banyak kejadian bahwa rumah yang dijatuhi Pulung Gantung ada seseorang yang akan gantung diri.
Hingga saat ini, di Gunung Kidul terjadi 7 kasus bunuh diri dari 100.000 penduduk. Dan lebih tragisnya lagi, sebagian kasus terjadi pada usia remaja muda. Di tahun 2011, terjadi kurang lebih 28 kasus bunuh diri usia remaja. Hingga sekarang, pemerintah pun belum tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Banyak alasan yang melatarbelakangi bunuh dirinya seseorang di Gunung Kidul (diluar mitos Pulung Gantung), mulai dari depresi akibat himpitan ekonomi, depresi akibat penyakit yang tak kunjung sembuh, putus cinta, ataupun permasalahan pribadi lainnya, yang mengarah pada kondisi diri yang depresi.
Bunuh diri dapat dipicu oleh berbagai sebab. Sebagian besar kasus disebabkan oleh depresi yang tak sanggup diatasi diri sendiri
Tindakan bunuh diri dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: depresi, pengaruh zat-zat adiktif, gangguan kejiwaan, sampai faktor genetik. Namun yang paling banyak disebabkan oleh depresi. Akibat tekanan hidup yang tak bisa dihadapi diri sendiri.
Apa itu depresi?
Depresi adalah tahap lebih lanjut dari stres. Apabila stres masih bisa kamu hadapi sendiri dengan mengambil cuti atau liburan untuk mengembalikan kewarasan diri, depresi adalah stres yang sudah tidak bisa kamu hadapi sendiri. Rasa cemas yang selalu mendera diri, rasa tidak berdaya untuk menghadapi situasi, hilangnya motivasi untuk melakukan apapun, serta tindakan tanpa sadar menarik diri dari lingkungan sekitar adalah gejala-gejala depresi. Hal ini akan diperparah pula dengan gangguan sulit tidur atau perubahan pola makan.
Depresi adalah stres yang terlalu lama dibiarkan, dan sudah mengganggu ritme hidup. Siapapun bisa mengalami depresi. Tak hanya orang di televisi, tapi bisa saja keluargamu, teman-temanmu, atau bahkan kamu sendiri. Depresi bukanlah hal yang jauh di sana, melainkan hal yang terjadi di sekitar kita.
Sayangnya di negara kita, masih banyak yang abai dan bahkan meremehkan kesehatan mental. Depresi dianggap galau, sedih dianggap baper
Bila kita melihat kasus-kasus bunuh diri yang terjadi, mulai dari alasan patah hati sampai masalah akademik, barangkali banyak yang bertanya-tanya: mengapa masalah sepele itu bisa membuat seseorang mengakhiri hidupnya? Dari sini kemudian muncul stigma bahwa mereka yang bunuh diri adalah orang yang lemah, yang tidak punya iman, sehingga mudah goyah dan putus asa. Karena itulah, depresi seringkali dianggap sebagai hal sepele, yang tidak perlu diperhatikan lebih jauh.
Jujur saja, kita masih sering menyebut ‘Galau amat sih lo?’ pada teman yang terlihat sedih, hilang arah, dan hilang motivasi. Lalu kita juga masih sering menuduh ‘Baper banget sih!’ pada orang yang mudah merasa tersinggung dan sedih. Barangkali karena inilah, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah berada dalam tahap depresi. Gejala-gejala yang dirasa itu dimunafikan sendiri, disembunyikan agar tidak diketahui orang lain. Padahal, depresi memerlukan penanganan khusus meliputi obat dan terapi. Depresi tidak bisa kamu atasi sendiri.
Mereka yang memikirkan bunuh diri, bukan berarti ingin mati. Mereka hanya ingin rasa sakitnya hilang. Dukungan dari orang-orang terdekat akan banyak berperan
Kita tak harus benar-benar memahami alasan seseorang ingin mengakhiri hidupnya, namun kita juga tidak punya hak untuk menghakimi. Karena setiap orang memiliki daya tahan sendiri. Sesuatu yang kamu anggap sepele, bisa jadi merupakan hal prinsipil dan sangat penting bagi orang lain. Dan sebaliknya masalah yang menurut orang lain hanyalah piece of cake bisa menjadi masalah berat tak tertanggungkan untukmu.
Karena itulah, teman-teman yang mengalami depresi ini layak mendapat uluran tangan. Tak bisa menuntut mereka untuk aktif berkomunikasi, harus kitalah yang lebih peka membaca situasi. Mereka akan menutup diri itu pasti, namun setitik kepedulian kita barangkali bisa menyelamatkan nyawa. Karena sesungguhnya, mati bukanlah tujuan dari tindakan bunuh diri. Mereka hanya ingin menghentikan rasa sakit dan tekanan yang dirasakan.
Bunuh diri, barangkali adalah penyebab kematian yang paling tragis. Ketika seseorang tidak mampu lagi menghadapi dirinya sendiri. Menyalahkan mereka saja dengan stigma orang yang bunuh diri adalah orang yang lemah dan tidak punya iman tinggi tentu tidak adil. Sebab depresi merupakan penyakit, yang butuh obat untuk disembuhkan.