Permisi. Bolehkah aku berbagi kisah hidupku, di tengah-tengah kesibukanmu hari ini? Aku ingin kalian yang membaca cerita ini tidak melakukan kesalahan yang sama. Bukan, ini bukan roman picisan tentang ditinggalkan atau meninggalkan cinta. Ini adalah kisah hidup yang kualami bersama ayahku, yang sekarang sudah mendiang. Kisah yang akan mengajarkan kalian makna kehidupan secara lebih mendalam.
ADVERTISEMENTS
Waktu kecil hingga remaja, aku tidak mengenal ayahku dengan benar. Sifat-sifatnya membingungkanku dan aku tak melihatnya sebagai teladan.
Tidak, bukan karena ayahku tukang mabuk dan bermain kartu. Aku hanya membenci dirinya karena kami berdua hidup miskin dan serba kekurangan. Ayahku bekerja serabutan, apapun dikerjakan. Ia pengepul barang rongsokan, terkadang juga bekerja sebagai sales yang memiliki setumpuk brosur untuk dibagikan, hingga berperan sebagai badut dengan dandanan berlebihan.
Aku tak mengerti kenapa ia harus bekerja lebih keras namun kami tak pernah kaya. Bagaimana bisa? Apa ayah gemar menghambur-hamburkan uang di belakangku? Ya, pemikiran itu sempat terlintas di benakku yang masih berseragam putih biru, membuatku semakin membenci sosok beliau.
Yang semakin membuatku jengah padanya adalah ketika ayah dari teman-temanku bekerja dengan setelan yang terlihat keren, ayahku harus mengenakan kostum badut yang membuatku malu bukan kepalang. Ayah teman-temanku juga mengendarai motor dan mobil mengkilap, tidak seperti ayahku yang mengendarai mobil penuh dengan barang rongsokan. Lalu apa yang patut dibanggakan?
Yang aku tahu, aku tidak ingin menjadi dirinya. Ya, aku ingin segera tumbuh dewasa menjadi pria yang kaya.
ADVERTISEMENTS
Ketakutanku adalah aku dan beliau bernasib sama. Aku belajar lebih keras agar punya hidup yang lebih baik — yang bisa membuatku bangga
Suatu malam ketika aku sedang berkutat dengan buku, Ayah memberikan uang saku kepadaku. Uang yang jumlahnya tak seberapa itu diberi tambahan ekstra oleh Ayah dengan beberapa lembar ribuan lagi. Kemudian Ayah berkata bahwa kita harus menyisihkan uang untuk disumbangkan. Beliau pun mengeluarkan toples bekas yang sudah dilubangi tutupnya dan disulap menjadi celengan. Beliau memasukkan beberapa lembar puluhan ribu ke dalamnya kemudian memintaku juga memasukkan sebagian uang milikku.
Sejenak aku termangu. Kemudian kuajukan pertanyaan kepadanya:
“Yah, kenapa kita tidak pernah kaya?”
Ayahku tersenyum mendengar lontaran pertanyaanku, kemudian beliau menjawab,
“Kata siapa kita tidak kaya? Menjadi kaya bukan tentang berapa banyak uang yang kamu punyai, tetapi seberapa banyak kamu memberi. Saat kamu memberi kamu akan merasa lebih bahagia, Nak.”
Aku tetap belum paham apa yang dituturkan Ayah. Nyatanya toh aku tidak bahagia. Aku tidak bisa sesuka hati membeli mainan mahal seperti punya kawan atau bahkan mengganti tas sekolah yang sudah sangat usang. Di pikiranku saat itu, bahagia sama dengan ketika aku memiliki banyak uang. Aku meyakini, bahwa jika aku kaya aku pasti akan bahagia.
Aku pun bertekad baja untuk belajar dan menggapai mimpiku. Aku rela begadang supaya mendapat nilai sempurna saat ujian. Aku juga tidak segan bertanya pada guru saat butuh kejelasan dalam pelajaran. Kebencianku pada Ayah menuntunku bekerja dan belajar dua kali lipat. Aku ingin mengukir prestasi, bisa hidup sukses sehingga bisa ongkang-ongkang kaki dan tak perlu berpeluh di bawah matahari.
ADVERTISEMENTS
Prestasiku baik di sekolah. Diterima di universitas bagus, aku merantau dan jarang pulang karena menikmati jarak di antara kami
Kerja kerasku sedari kecil membuahkan hasil. Aku selalu mendapat nilai sempurna dan berhasil mengukir prestasi. Bahkan, pengajuan beasiswa di perguruan tinggi pun dengan mudahnya lolos seleksi. Betapa senang hatiku, akhirnya jalan menuju kesuksesan menemukan titik terangnya.
Diam-diam aku juga merasa gembira karena aku bisa tinggal jauh dari Ayah. Ya, aku tak perlu malu lagi jika diledek teman karena ayahku hanya bekerja sebagai badut serabutan. Bahkan, jika nanti kawan kuliahku bertanya apa pekerjaan Ayah, aku bisa dengan mudahnya bersilat lidah dan tidak mengatakan kebenaran. Toh ayahku tak mungkin menyusul ke kota rantau, tentu ia tak punya ongkos untuk mendatangiku.
Setelah menamatkan bangku kuliah, aku pun meneruskan meniti karir di kota rantau. Aku jarang pulang, jika ayah menelepon karena rindu aku selalu memiliki sejuta alasan untuk menolak pulang.
Yang belum aku sadari adalah usia Ayah tidak sepanjang yang aku kira, Ayah pun meninggalkanku tanpa pernah mencicipi kesuksesanku dan menikmati rasanya jadi orang kaya.
ADVERTISEMENTS
Sampai suatu ketika kenyataan menamparku, ayah adalah sosok pahlawan nyata dalam hidupku
Saat Ayah tiada, mau tak mau aku harus pulang untuk mengurus rumah serta pemakaman. Saat sedang membereskan barang usang milik ayah, aku menemukan toples yang berisi recehan berikut dengan surat dari yayasan amal. Aku tidak paham kenapa namaku tertulis di pojokan amplop padahal aku belum pernah menyumbangkan satu receh pun kepada mereka.
Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi yayasan tersebut demi menemukan jawaban. Kenyataan yang menohok ulu hatiku pun kudapatkan. Ya, ayahku adalah donatur tetap di yayasan tersebut sedari aku berusia belia. Beliau menggunakan namaku sebagai nama donaturnya. Bahkan, ayah juga bekerja sebagai badut demi menghibur serta mengembalikan semangat hidup anak-anak pengidap penyakit. Disini ayahku dipuja dan dicintai, ya ayahku adalah pahlawan mereka.
Betapa remuk redam hatiku mendengar tutur kata mereka. Tak sekalipun terlintas di benakku bahwa ayah rela membanting tulang tidak hanya memenuhi kebutuhanku tetapi juga demi kebahagiaan orang lain. Mereka juga berujar bahwa masa tua ayah tetap dihabiskan untuk membanting tulang demi bisa terus berdonasi.
Ah, Ayah, aku baru menyadari inilah maksud dari tuturmu tempo hari, inilah resep hidupmu untuk bahagia. Meski hidupmu tak berkecukupan namun kau selalu memberi supaya hatimu tetap tenang.
Terimakasih ayah atas pelajaran hidup yang kauberikan padaku walaupun aku sedikit terlambat untuk menyadarinya. Terimakasih pernah hadir di kehidupanku dan menjadi ayahku.