Menelisik tahun-tahun ke belakang, rasanya seperti mimpi bisa sampai di titik ini. Hapeku sampai jatuh terpelanting saking girangnya melihat pengumuman SBMPTN itu. Akhirnya aku diterima di kampus negeri favorit. Tak sabar kulangkahkan kaki ini tanah Jogja —kota yang katanya selalu istimewa itu. Namun sayang, keberangkatanku ke perantauan mesti ditunda. Bayangan-bayangan indah tentang perkuliahan menjadi suram semenjak Covid-19 menyerang.
Namaku Sinta Dewi, inilah ceritaku menjadi mahasiswa baru di masa pandemi..
—–
Sejak ayah membuat kolam lele, halaman belakang rumah disulapnya menjadi tempat nongkrong. Sebidang kayu bekas pohon tumbang yang disulapnya menjadi kursi dadakan. Di situlah aku biasa menghabiskan sore. Bahasa kerennya berkontemplasi. Tentu sambil memberi pakan ikan biar lebih ‘berfaedah’.
Ibu sudah pulang, tugasku mengurus rumah dan menjaga Panjul berkurang. Kebetulan juga hari ini tak ada kuliah sore. Aku bisa bersantai dan menggantikan ayah memberi pelet pada lele-lele miliknya.
“Kalian tahu nggak sih kalau aku sebenarnya sudah bosan di rumah”
Tentu saja lele-lele ini tak menjawab curhatanku.
“Bukannya aku tak betah, aku hanya ingin dapat pengalaman baru”
Lele-lele itu berloncatan menyambar pelet yang aku taburkan. Mulut mereka mangap dan menyambar liar seperti orang yang belum makan tiga bulan.
“Drrt.. drrt”
Kuhentikan aktivitasku. Kubasuh tangan, kuusapkan pada celana, kuhampiri hapeku yang sengaja kutinggal di kursi bikinan ayah. Pesan dari Aris. Ada angin apa orang itu mengirim pesan padaku.
“Tugas Pengantar Ilmu Komunikasi itu disuruh ngapain sih?”
Tumben sekali ada yang bertanya tugas kepadaku selain Rani. Kubalas pesan itu dengan apapun yang aku tahu.
—–
Makan malam telah usai. Seperti biasa ibu dan Panjul sudah stand by di depan TV menunggu sinetron kesayangannya. Tak lama berselang Riski dan ayah nimbrung. Meski bahagia melihat mereka berkumpul seperti ini, tapi aku merasa perlu untuk ikutan. Aku tak suka sinetron dan sedang ada tugas yang mesti dikerjakan.
Kubuka laptop dan kulihat tugas Pak Rahmat yang sudah sedikit kucicil. Aku sudah belajar dari kesalahan saat telat menggarap esai dari Pak Hasan. Tak mau lagi aku menunda-nunda, takut merepotkan Bimo lagi.
Membaca soal-soal yang diberikan, aku jadi ingat kejadian sore tadi. Tumben sekali ada yang bertanya tugas kepadaku selain Rani. Lebih-lebih ini Aris, sosok yang paling jarang kelihatan di kelas daring. Kenapa aku sementara anak kelas yang lebih rajin banyak.
Seketika aku jadi ingat momen dia menolongku saat presentasi. Aku masih ingat kata-katanya dengan jelas saat membelaku dari tertawaan anak kelas kala aku gugup. Di momen itu pula aku pertama kali melihat wajahnya dengan jelas.
Aris tidak menonjol di kelas. Ia hanya sesekali kelihatan di perkuliahan. Kalau pun masuk, ia tak seaktif Ratih dan Rani yang selalu bertanya saat diberi kesempatan. Saat kerja kelompok kemarin pun, ia tak ikut. Barangkali kalau tak ku-misscall dia akan bolos lagi keesokan harinya. Tiba-tiba lagu Rumpang dari Nadin Amizah berbunyi dari hapeku.
“Halo, Sin”
“…..”
Ada apa dengan semua ini. Aku sedang memikirkannya lalu dia menelponku. Sebuah kebetulan yang aneh. Ada apa pula dengan bibir ini. Kenapa susah sekali untuk berucap “halo” balik kepadanya.
“Sin”
“Iya.. iya.. kenapa”
“Aku bingung soal nomor 5 nih. Kamu udah dikerjain belum?”
Pelan-pelan aku jelaskan maksud dan jawaban soal nomor 5 itu. Kebetulan kemarin aku sudah sedikit mencicil mengerjakan. Aku sudah belajar dari kesalahan saat telat menggarap esai dari Pak Hasan. Tak mau lagi aku menunda-nunda, takut merepotkan Bimo lagi.
“Sin, video call aja yuk? Biar lebih asyik, aku sekalian mau nanya-nanya soal kuliah”
“Hmm.. boleh”
Aku dan Aris berbicara panjang lebar. Mulai dari seputar tugas yang sedang kukerjakan ini sampai tentang perkuliahan yang tak kunjung normal kembali. Ternyata dia juga merasakan hal yang sama denganku; gamang dengan kuliah dan ingin segera merantau karena sudah bosan dengan rutinitas di rumah. Ia pun juga merasakan ketidakcocokan yang sama terkait model kuliah daring. Kami sama-sama mengharapkan pandemi segera berakhir.
Waktu berlalu sangat cepat. Kurang lebih satu jam Aris menghubungiku. Tak kusangka bisa secair ini obrolan pertama kami. Ditelpon dia saja aku tak menyangka, apalagi sampai video call dengan durasi yang cukup lama. Sungguh mengherankan. Dari puluhan anak kelas, kenapa aku?
Tak habis-habis kumemikirkan jawaban itu.
Sinetron telah usai. Televisi sudah dimatikan. Lampu ruang tengah juga sudah padam. Ibu telah lelap bersama Panjul di kamar. Begitu pun Riski yang ngoroknya terdengar sampai kamar. Dari volume suaranya, sepertinya ia tidur di depan TV. Ayah tadi pamit ikut ronda. Sementara aku masih rebahan di kamar.
Tugasku baru saja kuselesaikan. Telpon dari Aris sedikit menghambat tugasku, meski begitu aku tetap senang. Jarum jam sudah mengarah pada angka 11, waktunya aku pejam. Bayang-bayang Aris kembali muncul di pikiranku. Mengganggu tidurku tapi aku tetap senang.
—–
Satu bulan berlalu. Aris tak pernah menghubungiku lagi. Tak ada satupun chat masuk, pun dengan telepon darinya. Bolak-balik hanya Rani dari sekian teman kelasku yang bertanya soal tugas dan perkuliahan. Di kuliah pun Aris tak menunjukkan tanda-tanda kehadiran.
“Kapan sih kerja kelompok lagi? Pengen deh aku sekelompok bareng dia”
“Oh jadi kamu nggak mau sekelompok sama aku, Sin?” Rani meledek
“Bukan begitu, Ran. Ya aku mau.. tapi kan nggak perlu sekelompok juga kita udah saling bantu”
“Oh gitu..”
Aku sudah menceritakan ini kepada Rani. Aku diberi tips untuk menggunakan persoalan kuliah untuk jadi topik pembuka obrolan. Katanya tak apa-apa jika aku menghubunginya duluan. Pernah aku mencobanya, tapi ketika pesan itu hendak kukirimkan, tanganku mendadak beku.
Saking keponya aku kabar dari Aris, aku sampai mencari media sosial miliknya. Dari Twitter, Instagram, sampai TikTok. Di Twitter, unggahan terakhirnya sudah tiga tahun lalu. Di Instagram, akunnya digembok. Di TikTok aku tak menemukan jejak keaktifannya.
Aku takut dia berpikir macam-macam kepadaku. Aku takut dia menjauh.Kebanyakan cowok begitu ketika tahu cewek yang tidak disukainya naksir.
“Jangan merendah gitu”
“Aku sadar diri, Bim. Masih banyak yang lebih cantik dan keren dari aku”
“Cinta nggak mandang itu doang kali”
Sejatinya aku sepakat dengan pendapat Bimo, tapi entah kenapa aku masih ragu untuk menanyakan kabar duluan. Jatuh cinta telah menghilangkan keberanianku. Padahal dulu aku berani menelponnya saat satu kelompok dengannya. Berani sekali Sinta yang dulu. Seperti bukan Sinta si pemalu. Mungkin karena waktu itu kepepet kali, ya?
Aku mulai menerka-nerka alasan di balik menghilangnya Aris dari perkuliahan. Aku sempat berpikir dia bekerja. Di masa pandemi seperti ini banyak orang kehilangan pekerjaan. Hilangnya Aris barangkali karena dia sibuk bekerja membantu perekonomian keluarga.
Sempat juga kuberpikir Aris pindah kampus. Buru-buru pikiran itu kuabaikan. Masa di masa pandemi ini ada orang yang pindah kampus? Kerjaan orang sedang pada susah, mana mungkin ada orangtua yang mau buang-buang uang untuk anaknya pindah kampus sementara kuliah saja masih belum normal.
Tak ada jawaban pasti. Aku hanya bisa menunggu Aris muncul lagi. Ketika itu terjadi, aku berharap pandemi sudah berakhir. Aku ingin melihatnya langsung pesonanya. Apakah ia semenarik di layar laptop dan angan-anganku. Apakah ia sepintar saat presentasi waktu itu. Apakah sikapnya ke aku secair ketika dia menelponku. Entahlah.
Semoga corona lekas menyingkir dari Indonesia agar aku tahu jawabannya. Semoga pandemi segera berakhir agar aku bisa bertemu dengannya, langsung tanpa perantara layar hape ataupun laptop.
—–