Hai, kamu yang dulu pernah berbuat salah padaku.
Apa kabar? Masih sibuk bersembunyi dan melepas tangan di balik berbagai dalih dan alasan? Ah, setidaknya, terima kasih karena sudah mau membaca surat ini. Tenanglah, aku tidak akan merutuki lebih lanjut atau menghakimi.
Mungkin tak mudah untuk membaca suratku ini. Tapi, sulit juga bagiku untuk menuliskannya dan mengunjungi luka menganga dalam otakku lagi.
Sampai sekarang, aku masih menanggung akibat dari perbuatanmu padaku. Maklum, yang dirimu lakukan tak sekadar menyerobot antrian atau membuatku kesal. Bahkan, semua orang yang tahu perbuatanmu padaku selalu mengajukan pertanyaan yang sama:
“Gila. Kok bisa sih ada orang kayak dia?”
“Kamu nggak geregetan? Kalau aku jadi kamu sih, udah kulabrak anaknya dari dulu.”
Bukannya membalas dendam tak pernah terpikir olehku. Aku juga orang biasa yang sakit hati atas perbuatanmu.
Tapi jika aku melakukan hal yang sama dengan yang kamu lakukan padaku, berarti aku sama saja denganmu. Aku tak ingin menjadi “kamu” yang kedua. Lagipula aku percaya Tuhan ada, dan dia memiliki rencana atas apa yang terjadi pada hamba-Nya.
“Buat apa juga balas dia. Aku titip ke Tuhan saja.”
ADVERTISEMENTS
Tadinya aku mencoba bersikap biasa saja. Tapi akhirnya aku tahu, marah tidak apa-apa. Apalagi mengingat apa yang kaulakukan di belakang mata
kupikir mudah, tapi tak demikian adanya
Tadinya aku berusaha bersikap sabar dan biasa saja. Tapi kamu semakin menjadi, aku tak bisa lagi menutup mata.
Perbuatanmu otomatis membuatku kecewa. Tapi awalnya, aku menghargai hubungan baik kita dan mencoba bersikap biasa saja. Tak perlu marah-marah besar, mungkin ini hanya salah paham.
Sayangnya, kamu malah semakin menjadi karena sikapku padamu toh “baik-baik saja”. Duh, sabar juga ada batasnya.
Aku tahu apa yang kamu lakukan di belakangku. Sekali-sekali, mungkin itu adalah kesalahan minor yang bisa kumaafkan dan kuanggap ketidaksengajaan. Tapi lama-lama, kamu melampaui batas dan keterlaluan.
Tahu begitu sejak dulu aku tak akan berusaha sabar. Sekarang, setiap hari aku mengingat betapa repotnya hidupku karena kesalahan-kesalahan yang kau lakukan. Apakah menurutmu seperti ini membuatku nyaman?
ADVERTISEMENTS
Berada di sekitarmu hanya membuat rasa kesalku membuncah. Aku pun sulit berkonsentrasi melakukan berbagai kegiatan. Oleh karenanya aku memilih untuk menjauh
Aku tidak bisa berlaku sopan padamu. Karena itu, menjauh lebih baik bagiku.
Aku tak bermaksud sombong jika sempat menjauh darimu. Setelah apa yang kamu lakukan, tak lantas begitu saja aku bisa menjalani kegiatan seperti biasanya bersamamu. Aku butuh waktu. Butuh waktu untuk sendiri memikirkan bagaimana caranya agar hati ini ikhlas menerima kesalahanmu. Berada di dekatmu, melihat dirimu, dan mendengar namamu disebut masih membuatku tak nyaman. Ada rasa kesal dalam hati yang kian membuncah dan aku ingin menghindarinya.
ADVERTISEMENTS
Setiap mengingat kesalahanmu, seringkali berkata dalam hati: Mengapa tak aku balas saja perbuatannya? Supaya kamu tahu bagaimana sakitnya
“Karena perbuatanmu, aku jadi begini. Akan aku balas suatu hari nanti supaya kamu bisa merasakan rasa sakit ini.”
Kejahatan dibalas juga dengan kejahatan memang menyakitkan, bahkan akan menimbulkan efek sakit hati yang tak kalah berbeda. Niat tersebut sempat mampir sebentar dalam otakku karena saat itu tak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi efek dari kesalahanmu. Aku juga berpikir untuk membalas perbuatanmu dengan cara yang sama, atau bahkan lebih. Bukankah kamu perlu diberi pelajaran?
Kalau ada sesuatu yang bisa kuhadiahkan untukmu, itu adalah pelajaran agar kamu lebih memahami bagaimana seharusnya bertingkah laku dan bertutur kata. Akan ada kepuasan tersendiri yang begitu besar jika aku bisa melakukannya.
ADVERTISEMENTS
Tapi aku sadar bahwa manusia tak ada yang sempurna, begitupun diriku. Aku pun memilih melupakan kesalahanmu dan menjalani hidup seperti sebelumnya
Aku sudah berproses dan semakin dewasa. Lelah rasanya untuk terus mengingat kesalahanmu dan menyimpan dendam yang sama.
Semakin hari aku berpikir tentang kesalahanmu, bagaimana caramu berbuat demikian, dan apa dampak yang dihasilkan membuatku tak melepas dendam yang aku rasa.
Tapi aku memiliki waktu untuk menyadari bahwa memang tak ada manusia yang sempurna. Baik itu kamu, orang lain, atau bahkan diriku pun ternyata pernah melakukan kesalahan. Oleh karenanya, hingga kini aku berusaha memaafkan dan melupakan kesalahanmu. Toh, masih banyak hal lain di hidupku yang lebih bermanfaat dibandingkan memikirkan kesalahanmu.
ADVERTISEMENTS
Masih banyak hal penting lainnya dari hidupku selain merutuki kesalahanmu. Soal balasan, aku titip Tuhan. Aku yakin dia sudah merencanakan yang setimpal
Aku setuju, memang sudah sepatutnya aku memaafkan kesalahanmu. Membalasmu sama sekali bukan urusanku, karena ada Tuhan yang sudah menyiapkan semua itu. Dia tak pernah tidur. Dia akan selalu melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang terjadi pada hamba-Nya. Bahkan, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya dibanding hamba-Nya itu sendiri.
Aku tak perlu pusing memikirkan kesalahanmu lagi. Yang harusnya aku lakukan yaitu berusaha menjalani hidup seperti sebelumnya dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi
Berbicara mengenai kesalahanmu, pastilah aku sulit melupakannya. Aku akan selalu mengingat setiap detail seperti apa perbuatanmu itu hingga menimbulkan sebuah goresan yang mendalam pada jiwaku. Begitu dalamnya hingga aku sempat berniat untuk membalasnya. Hanya saja saat ini aku tak mempersoalkannya karena aku lebih mementingkan kehidupan yang harus dijalani untuk meraih masa depan. Lagipula, aku percaya Tuhan mengetahui yang terbaik untukku dan memiliki balasan atas apa yang telah terjadi. Tuhan Maha Adil. Life goes on, right?