Kata “passion” selalu terdengar indah di telinga saya. Kedengarannya seperti momen berbaring di atas hammock di pinggir pantai dengan angin yang semilir dan musik-musik country. Saya juga punya passion. Sebuah pekerjaan yang saya inginkan sejak dulu kala. Namun, terjepit di antara kebutuhan hidup yang semakin mahal dan fakta bahwa surat lamaran saya berkali-kali ditolak, maka di sinilah saya, terjebak di pekerjaan yang kurang saya suka.
Tertekan? Ya. Ingin resign? Ya. Teman-teman sering mengatai saya menyiksa diri sendiri dan menyia-nyiakan potensi diri saya yang sebenarnya dengan bekerja di tempat yang bukan “saya banget”. Namun, selain perkara finansial, saya punya cukup alasan untuk bertahan. Lagipula, keputusan ini bukan tanpa pertimbangan. Karena sejujurnya, bertahan di pekerjaan yang tidak saya sukai, membuat saya menemukan hal-hal ini.
ADVERTISEMENTS
1. Awalnya rasa marah dan lelah itu sangat terasa. Tapi kemudian saya sadar bahwa kemarahan saya tak mengubah apa-apa
Bohong bila saya bilang tidak kecewa. Bohong juga bila mengatakan bahwa saya langsung baik-baik saja. Di awal, rasa kecewa karena gagal menjalankan rencana masih membuat saya marah. Lalu saya pun dipaksa belajar hal-hal baru yang sebelumnya tak terlalu saya tahu. Hari-hari terasa begitu berat, sekaligus penuh dengan ragu karena takut salah. Saya marah dan tertekan, tapi saya tahu bahwa amarah nggak mengubah apa-apa. Toh, setidaknya, saya masih lebih beruntung dibanding jutaan orang di luar sana yang masih kesulitan mencari pekerjaan.
ADVERTISEMENTS
2. Saya jadi belajar menerka limit diri sendiri. Ini hal yang tak saya suka, jadi saya harus tahu kapan saya butuh istirahat
Harus diakui, bekerja di bidang yang bukan saya banget membuat saya jadi rentan stres. Tekanan yang saya alami sehari-hari jauh lebih besar dibandingkan dengan yang memang passion kerjanya di sini. Kadangkala saya pulang kerja dengan tubuh luluh lantak, padahal yang saya lakukan sepanjang hari adalah duduk di depan komputer, bekerja sebagaimana biasanya. Namun, dari situ saya mulai memahami limit saya sendiri. Ketika pikiran saya sudah mulai buntu dan aneh-aneh, ketika saya mulai kurang semangat bangun di pagi hari, itu adalah waktunya saya mengajukan cuti. Yah, di sini saya belajar untuk memahami diri sendiri.
ADVERTISEMENTS
3. Terjebak 8 jam mengerjakan hal-hal yang bukan saya banget, memaksa saya cari cara lain untuk melakukan hal yang saya banget sebagai penyeimbangnya
Di satu momen, saya merasa memerlukan selingan. Saya perlu “side B” kehidupan, sebagai penyeimbang. Saya butuh penghiburan lain dari pekerjaan yang tidak saya sukai ini. Salah satunya adalah dengan menekuni pula hal-hal yang jadi passion saya. Lantas saya pun memaksa otak agar lebih kreatif dan menemukan jalan agar saya bisa menekuni passion di luar pekerjaan utama yang saya tekuni. Salah satunya adalah dengan mencari-cari project freelance dari passion yang saya miliki. Hasilnya mungkin tidak banyak, tapi cukup sebagai pelipur penat.
ADVERTISEMENTS
4. Ternyata saya justru lebih produktif. Tak ada lagi leha-leha, karena menekuni dua hal yang berbeda membuat waktu saya sempit dan terbatas
Ketika akhirnya saya menemukan cara untuk menekuni dua pekerjaan sekaligus, ternyata waktu saya pun bisa lebih produktif. Bukannya apa-apa, waktu 24 jam yang saya miliki dibagi-bagi menjadi dua hal yang berbeda. Siang bekerja di kantor, malam mengerjakan project lain yang sesuai passion.
Mau tidak mau, saya jadi lebih produktif. Di siang hari, saya “dipaksa” untuk menyelesaikan pekerjaan agar tak perlu lembur, sehingga saya bisa mengerjakan yang lainnya sepulang kerja. Pun, tanggung jawab di luar pekerjaan utama harus saya kerjakan di malam hari, karena di siang hari tak mungkin melakukannya.
ADVERTISEMENTS
5. Saya lebih pandai bersyukur dan menikmati apa yang saya miliki meski itu bukanlah yang saya ingini
Mendapatkan apa yang diinginkan itu mudah mensyukurinya. Berbeda dengan mendapatkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dulu saya merasa saya berada di tempat yang salah–dan mungkin saja hal ini benar. Tapi saya rasa, tempat yang salah itu bukan berarti sia-sia. Saya juga jadi bisa belajar mensyukuri dan menikmati apa yang saya miliki, meskipun itu bukanlah hal yang saya inginkan.
“Ngapain sih kamu bertahan di situ? Resign ajalah, cari kerjaan yang sesuai.”
Komentar itu masih saya terima sampai sekarang. Barangkali kalimat “Biarkan air mengalir” adalah jawaban yang paling aman untuk saya sampaikan. Keinginan untuk bekerja di bidang yang sesuai atau mengerjakan sesuatu yang saya suka selalu ada, dan saya masih berupaya mencarinya. Namun, apa yang saya miliki saat ini juga patut saya nikmati dan syukuri. Sebab bekerja di bidang yang kurang saya sukai juga tetap memberikan banyak manfaat yang saya nikmati.