Kadang, hidup kita terlalu disibukkan perkara mencari pengakuan. Kita haus disanjung, berharap dipuji atau sekadar dianggap hebat oleh orang lain. Akhirnya, saat tak mendapat yang diinginkan, kita jadi mudah kecewa pada diri sendiri.
Selain itu, tak jarang pula kita jadi mudah tersinggung, atau bahkan marah saat menerima kritikan dan komentar pedas dari mulut orang lain. Padahal, kritikan dan komentar negatif itu belum tentu pantas kamu sandang kok. Bisa jadi mereka yang berkomentar hanya sekadar nyinyir dan iri dengan dirimu. Nah lho, kenapa harus meradang kalau omongan mereka memang tak layak didengar?
ADVERTISEMENTS
Tak perlu kesal mendengar omongan orang-orang yang tak dikenal. Please, jangan buang-buang energi menanggapi komentar negatif di media sosial!
Jejaring sosial ibarat ruang bebas untuk berekspresi dan berpendapat. Lewat update status atau tweet misalnya, seseorang bisa berbagi cerita tentang kesehariannya pada “dunia”. Berkisah tentang kesukaan, ketidaksukaan, atau menunjukkan karakter dirinya. Aktivitas inilah yang sudah pasti mengundang tanggapan dari orang lain. Misalnya, saat kamu menuliskan;
“Lagi suka banget masak. Semoga bisa jadi chef beneran. Amin.”
Teman-temanmu bisa jadi berkomentar macam-macam. Ada yang mendukung, ada yang bercanda bahwa kamu “ngebet nikah”, namun ada pula yang bilang dengan ringan: “Lah, bukannya kamu nggak pernah bisa masak?”
Bagaimana kamu harus menyikapi mereka? Berterima kasihlah saat ada yang menyemangatimu, dan abaikan saja mereka yang merendahkanmu. Berhenti menjadi pribadi yang terlalu perasa; yang dalam-dalam memikirkan omongan negatif dari orang-orang yang bahkan tak kamu kenal.
ADVERTISEMENTS
Seorang guru sepatutnya bisa jadi panutan. Jika dia justru memaksakan kehendak dan tak mengajarkan kebaikan, ya jangan dihiraukan.
Kita memulai jenjang pendidikan di taman kanak-kanak. Di sanalah tempat guru-guru yang dengan sabar mengajarkan banyak hal pada kita. Menggambar, melipat kertas, menggunting pola, atau menempel hasta karya. Mereka bisa dengan sabar mengajarkan hal-hal yang tidak kita tahu sebelumnya. Ya, guru adalah tempatmu bertanya, meminta saran, atau berharap pencerahan.
Namun, sadarilah bahwa guru hanya bertugas sebagai pemberi saran. Keputusan akhir tetap ada di tanganmu. Saat bingung memilih jurusan IPA atau IPS misalnya, atau saat bingung menentukan akan masuk kampus mana. pendapat atau saran yang diberikan gurumu pantas didengarkan karena tujuannya pasti untuk kebaikan. Tapi, yakinlah bahwa di dunia ini tak ada yang berhak menetukan jalan hidupmu, kecuali dirimu sendiri.
ADVERTISEMENTS
Setiap orang terlahir dengan kemampuan dan potensi yang berbeda. Kamu tak seharusnya mendengarkan atasan yang suka merendahkanmu seenaknya.
Setelah berhasil menyandang gelar sarjanamu, kamu pun mulai menjejak dunia baru. Ya, dunia kerja yang ternyata jauh berbeda dari masa-masa kuliah. Hal-hal baru yang kamu lakoni membuatmu rentan melakukan kesalahan; tak bisa mengerjakan tugas sesuai yang dinginkan atasanmu di kantor misalnya.
Ya, kamu memang layak mendapat teguran untuk kesalahan yang sudah kamu lakukan. Tapi, seorang atasan yang baik selayaknya bisa menegur bawahannya dengan tepat. Bukan sekadar memaki atau mengkritisi kesalahanmu, tapi juga memberikan koreksi yang sifatnya membangun. Justru dari kesalahan yang kamu lakukan dan kritik yang diberikan atasan, kamu bisa banyak belajar. Setelah mengetahui letak kesalahanmu, kamu pun bisa mulai memperbaiki diri.
ADVERTISEMENTS
Bumi itu berputar dan kehidupan terus berjalan. Setelah putus, buat apa masih menanggapi komentar nggak menyenangkan dari si mantan?
Perkara hati memang seringkali sulit dimengerti. Menemukan pasangan yang begitu disayangi membuatmu tak bisa mengendalikan diri. Rasa sayang dan cinta pada pasangan yang begitu besar menjadikanmu ketergantungan. Ketika akhirnya hubungan yang kamu jalani harus kandas, kamu pun seharusnya bisa menerima.
Sadarilah bahwa kalian bukan lagi sepasang kekasih yang berjalan menuju satu tujuan yang sama. Setelah putus, keputusan-keputusan penting dalam hidupmu tak lagi perlu dikompromikan dengannya. Jangan terjebak dalam masa lalumu; menganggap bahwa mantan pasangan masih saja jadi pusat perhatianmu. Bisa jadi kamu melakukan hal itu lantaran masih berharap bahwa suatu hari dia akan kembali padamu. Tapi, tunggu! Bukankah kamu layak menjalani hidupmu yang sekarang, bukan yang dulu atau perkara masa yang akan datang?
ADVERTISEMENTS
Sahabat adalah dia yang menerima dirimu apa adanya. Kalau dia cuma bisa mengkritisi perbedaan di antara kalian, lebih baik kamu tutup telinga!
Teman adalah mereka yang bisa menerimamu “apa adanya”. Ya, menerima kelurangan dan kelebihanmu sebagai satu paket komplit. Sifatmu yang mudah marah, sensitif, hingga mudah menangis pun bisa mereka pahami. Mereka tahu bahwa dibalik kekuranganmu itu, kamu adalah pribadi yang setia kawan dan menyenangkan.
Namun, di antara sekian teman-teman yang kamu punya, tentu tak semuanya baik. Ada teman sejati yang selalu hadir saat kamu kesusahan, pun ada sekadar teman yang muncul saat kamu bersenang-senang. Yang pasti, kamu layak tahu yang jadi prioritasmu. Pendapat dan saran dari teman-teman terbaiklah yang pantas kamu pertimbangkan. Bagaimanapun, mereka tak akan tega memberikan saran atau masukan yang akan menjerumuskanmu, kan? Karena merekalah sahabat-sahabat yang sudah pasti ikut berbahagia melihat kesuksesanmu.
ADVERTISEMENTS
Ketika teman kerja lebih suka menghabiskan waktunya buat nyinyirin kamu, nggak usah dianggap dan fokuslah menggenjot produktivitasmu!
Dalam sebuah lingkungan kerja, kamu punya kesempatan bertemu banyak rekan dengan berbagai kepribadian. Ada yang baik hati, gila kerja, suka bercanda, hingga beberapa yang ternyata lebih suka nyinyir daripada bekerja. Yup, punya teman yang sifatnya nyinyir atau sering cerewet berkomentar memang menyebalkan. Apalagi, komentar-komentarnya cenderung kasar atau menyakitkan. Misalnya, saat jam makan siang dan melihatmu yang sedang menyantap makan, dia akan berkomentar;
“Wah, makanmu banyak juga, ya? Nggak takut gendut? Nanti ngantuk terus kena tegur Bos, deh!”
Menghadapi jenis rekan kerja yang seperti ini kamu hanya harus ekstra sabar. Komentar-komentarnya tak perlu terlalu didengar, atau anggap saja “angin lalu”. Saat ingin sedikit bersenang-senang, kamu boleh kok menanggapinya dengan bercanda. Yang pasti, kamu tak layak sakit hati karena ulahnya.
Jangan jadi rendah diri karena komentar negatif dari orang-orang yang hanya ingin menyakiti. Teruslah berjalan ke depan dan dengarkan suara hatimu sendiri.
Kamu yang punya percaya diri pasti mengerti bahwa mengharapkan pujian atau pengakuan dari orang lain tidaklah penting. Selain keluarga, dirimu sendirilah yang jadi selayaknya jadi sumber kekuatan. Kamu hanya akan fokus pada pencapaian-pencapaian yang sudah kamu rencanakan. Kamu bekerja keras, berusaha, dan tak pernah enggan berdoa.
Saat menjajal seleksi beasiswa S2 keluar negeri misalnya, berapa banyak orang yang ragu akan keberhasilanmu? Berapa kali akhirnya kamu harus bertanya pada diri sendiri; “apa aku bisa, ya?” Tapi, kegigihan dan kualitas mental yang menentukan kesuksesanmu. Dalam hal apapun, kamu yang tegak pada pendirian dan tak mudah goyah sudah pasti punya peluang sukses yang lebih besar.
Apakah kamu termasuk orang yang terlalu peduli dengan komentar-komentar buruk di sekitarmu? Jika iya, semoga kamu bisa segera mengubah kebiasaanmu itu, ya. Tanpa mendengarkan mereka, bisa jadi hidup kamu lebih tenang, lho! 🙂