Hiruk pikuk sebagai mahasiswa dan perjuangan skripsi akhirnya berakhir juga. Bangga rasanya sudah bisa menuntaskan kewajiban sebagai orang dewasa. Memasuki fase hidup baru dengan tanggung jawab lebih besar di bahu dan dada.
Kehidupan awal sebagai pekerja muda memberimu rasa berdaya dan perasaan mandiri yang tak ada dua. Mulai bisa membantu orangtua, membelanjakan uang untuk sesuatu yang disuka, sampai merencanakan hidup ke depan sesuai impian di kepala.
Setahun setelah resmi Sarjana, ternyata hidupmu berubah dengan begitu cepatnya. Tujuh realita inilah yang membuatnya tak lagi sama…
ADVERTISEMENTS
1. Alih-alih bangga, ijazah di tangan justru membuatmu merasa kerdil dan tak bisa apa-apa. Hidupmu seakan di-restart ulang sebagai manusia
Saat masih berkutat dengan kesibukan praktikum dan membuat paper sebagai mahasiswa tak cuma sekali kamu membayangkan apa rasanya saat kelak gelar sudah terselip di belakang nama. Nampaknya hidup akan lebih ringan. Selembar kertas itu jadi jaminan cerahnya masa depan.
Namun ternyata hidup tak berubah begitu saja selepas Dekan menggeser tali di atas toga. Ijazah dan gelar di belakang nama justru membuatmu banyak bertanya,
“Kemampuan apa yang membuatku berbeda? Apa yang bisa kujual dan diterima oleh calon perusahaan tempat bekerja?”
Momen setelah wisuda justru jadi masa me-reset ulang ekspektasi. Di sinilah kamu kembali menggali apa yang sesungguhnya dirimu mampu lakoni.
ADVERTISEMENTS
2. Seberapapun menterengnya, pekerjaan tetap akan berjenjang seperti tangga. Kamu harus mulai dari undakan terbawahnya
Status sebagai MT (management trainee), Graduate Development Program, hingga keberhasilan masuk dalam pendidikan pegawai muda Bank Sentral memang terlihat mentereng di mata keluarga dan orang luar. Kamu pun merasa senang bisa memberi mereka kebanggaan ; melihat senyum mereka menyunggingkan kepuasan.
Satu yang belum kamu tahu sebelumnya. Ini hanya awal dari perjuangan panjang setelahnya. Masih banyak malam-malam panjang yang membuatmu harus berjaga demi menghapal rumus akuntansi, mempersiapkan presentasi, sampai berpikir apa yang salah dari caramu menyesuaikan diri.
Meski masuk program yang kata orang bergengsi — kerasnya tenaga justru baru akan diuji di titik ini. Alih-alih merasa berhasil, kamu justru akan lebih tahu diri. Tidak mudah meniti karir hingga ke level tertinggi. Mereka yang sudah berhasil memang layak membuatmu mengangkat topi.
ADVERTISEMENTS
3. Kebutuhan tak akan ada ujungnya. Gaji toh tetap terasa kurang jika tak pandai mengaturnya. Kamu pun belajar merasa cukup sebagai manusia
Di masa kuliahmu dulu mendapat transfer 5 juta per bulan ke rekening seakan jadi kemewahan yang membuatmu bebas berfoya-foya. Tapi ternyata tidak begitu dalam kehidupan nyata.
Gaji yang didapat dari hasil keringat sendiri itu entah bagaimana bisa menguap begitu saja. Kamu harus memutar otak agar tidak berakhir jadi penghuni kost seumur hidup yang tak punya apa-apa.
Perlahan, kamu pun mulai menyesuaikan pola hidup sesuai pendapatanmu. Selepas euforia girang mendapat gaji sendiri berlalu, gaya hidup (anehnya) berubah tak lagi seloyal dulu. Meski kini kebebasan membelanjakan uang ada di tanganmu — mewah dan mentereng bukan lagi jadi prioritasmu. Cukup. Sudah. Hidup kini sesederhana itu.
ADVERTISEMENTS
4. Ada rasa ringan di dada saat sedikit bisa turun tangan membantu orangtua. Meski kamu sadar apapun yang diberi tak bisa membalas kebaikan mereka
Tanpa diminta kamu mulai pasang badan untuk membayar tagihan-tagihan rumah. Membawa roti tawar sepulang kerja, mentransfer tagihan listrik saat awal bulan tiba, menawarkan diri jadi penyokong adik yang masih kuliah dan butuh dana.
Entah kenapa setelah mulai bekerja ada rasa yang mendesak di dada untuk mengembalikan sesuatu pada orangtua. Beratnya kewajiban profesional sebagai orang dewasa membuka matamu bahwa tak mudah jadi mereka dulu. Mengejar karir sembari membesarkanmu. Kamu ingin meringankan beban mereka semampu kekuatan bahumu. Meski toh sampai kapanpun hutang itu tak akan impas menurut perhitunganmu….
ADVERTISEMENTS
5. Melihat perjalananmu dan kawan seperjuangan, kamu pun mengamini satu hal. Ternyata rejeki sungguh datang dari banyak jalan
Selepas mulai bekerja, tak lagi jadi mahasiswa — kamu tak lagi skeptis soal pendapat bahwa rejeki bukan selalu berbentuk uang saja. Kawanmu yang memutuskan menikah lebih dulu dan kini hidup tenang sebagai wanita rumah tangga mendapatkan rejekinya dari kehadiran pria yang sedalam itu mengasihinya.
Kawan lain yang terpaksa harus jauh dari pacar dan keluarga sebab mendapat rejeki di perusahaan tambang di Borneo sana mendapat porsi rejeki dari cukup besarnya uang yang masuk ke rekening tiap bulannya. Meski harus dibayar dengan kekosongan hatinya.
Mengamati perjalanan mereka dan perjalananmu sendiri. akhirnya kamu mengerti. Uang hanya sekian bagian kecil dari rejeki. Masih ada rejeki non materi lain yang juga berarti.
ADVERTISEMENTS
6. Kesibukan kerja membuatmu ogah menanggapi drama tak penting soal hati. Jika memang tak bisa diajak membangun mimpi, di titik ini lebih baik kamu berhenti. Atau pergi
Saat masih kuliah dulu protes-protes kecil pacar atas kesibukanmu bisa terlihat cute dan lucu. Itu artinya dia benar-benar membutuhkan, pikirmu. Namun hidup kini tidak sesederhana dulu.
Kamu lebih butuh dia yang bisa mengerti bahwa ada kesibukan yang harus didahulukan. Ada kewajiban yang perlu dituntaskan. Dan karenanya pertemuan dan kemanjaan perlu ditangguhkan — tanpa berarti mengurangi perasaan.
Otakmu dan tenagamu sudah terlalu penuh untuk menanggapi hubungan yang konfliknya seperti angin puyuh. Jika memang tak sejalan, lebih baik kalian saling melepas saja agar tak berlama-lama dalam ikatan yang rapuh.
Pergi dari ikatan hati terasa lebih rasional saat ini. Toh tak ada gunanya bertahan di ikatan yang membebat langkah kaki.
7. Pertanyaan “Akan jadi apa?”; “Nanti berakhir di mana?” tak lagi membuatmu cemas lama-lama. Jalani saja. Pintu kesempatan terbaik nanti akan terbuka
Hanya karena sudah diterima bekerja, sudah bukan lagi jadi mahasiswa — ternyata tidak lantas mengakhiri pencarianmu sebagai manusia. Setiap pagi kamu akan terbangun dengan mengulang pertanyaan yang sama:
“Sebenarnya aku sedang dibawa ke mana? Tuhan punya rencana apa?”
Tapi kini berbeda. Pertanyaan tak harus membuatmu berkontemplasi lama demi mencari jawabannya. Satu-satunya pilihan termanjur adalah mendepak selimut untuk segera bangun dan menjalani kewajiban sebagai orang dewasa. Sebab toh di akhir hari Tuhan akan berbaik hati pada mereka yang berusaha. Pintu kesempatan untuk pejuang macam ini akan terbuka dengan sendirinya.
Kamu mau jadi salah satunya.
Apakah 7 realita ini juga yang kamu rasa? Resonansi realita ini pulakah yang membuatmu dewasa? Jika iya, ternyata kamu tak sendirian saja. Kami di Hipwee dan ribuan pembaca lain pun mengalaminya.
Kita pasti bisa menghadapinya 🙂
Kredit gambar utama: Alvin Photography