Masa kecil atau masa kanak-kanak bisa jadi masa paling indah dalam hidup manusia. Bermain boneka, berenang, kejar-kejaran, bersepeda; banyak hal yang bisa membuat kita bahagia meski dengan cara-cara yang sederhana.
Sayangnya, tumbuh dan beranjak dewasa cenderung menjadikan kita lupa pada kebaikan-kebaikan di masa kecil. Sifat jujur, perilaku aktif, sikap ceria, hingga tak mau membebani diri sendiri adalah beberapa diantaranya. Sibuk dengan rutinitas dan beban hidup ala orang dewasa bahkan membuat kita lupa caranya bahagia.
“Kenangan masa kecil tak seharusnya dilupakan, hal-hal baik yang ada dalam diri kita dulu pun sepatutnya dipertahankan.”
ADVERTISEMENTS
Karakter yang polos dan lugu membuat anak-anak jujur mengungkapkan apa yang mereka mau. Tapi orang dewasa justru sibuk berpura-pura karena takut dicap tak punya malu
Anak-anak bisa merengek minta dibelikan es krim atau menangis karena iri melihat mainan milik temannya. Bagaimanapun, anak-anak adalah makhluk paling jujur di muka bumi ini. Belum tahu mana yang pantas dan tak pantas dikatakan justru menjadikan mereka bisa jujur dengan perasaan diri sendiri.
“Katakan apa yang ada dalam pikiran. Lakukan apa yang sebenarnya diinginkan. Sampaikan apa yang mengganjal perasaan.”
Sifat inilah yang seakan luntur ketika kita mulai bertambah usia. Belajar menjaga lisan agar tak menyakiti orang lain malah membuat kita lalai. Kita terlalu memikirkan penilaian dan perasaan orang lain sehingga abai pada diri sendiri. Bahkan, kita memilih berpura-pura demi terlihat baik di mata orang lain hingga takut dicap tak punya malu. Tapi, tunggu! Apakah kita bisa hidup bahagia dalam kepura-puraan?
ADVERTISEMENTS
Anak-anak menjalani hari-harinya dengan semangat dan gairah, tapi usia dewasa menjadikan kita mudah mengeluh lelah dan berkeluh kesah
Berenang, bermain sepak bola, bersepeda, main kejar-kejaran; banyak hal yang bisa anak-anak lakukan mengisi jatah waktu bermain mereka. Yup, anak-anak memang cenderung aktif melakukan hal-hal yang mereka suka. Memilih mengabaikan rasa lelah, anak-anak selalu punya semangat dan gairah pada dunia yang sedang mereka nikmati.
Sementara, rutinitas pekerjaan dan segala tanggung jawab di usia dewasa kadang membuat kita ringan mengeluh. Merasa capek menjalani hidup lalu malas menjajal hal-hal baru atau keluar dari zona nyaman. Padahal, di usia muda, kita selayaknya juga melakukan hal yang sama, ‘kan? Belajar, bekerja, bergaul, mencoba hal-hal baru; banyak hal yang sayang jika dilewatkan begitu saja.
“Hidup itu berharga, sehingga kamu selalu punya alasan untuk bangun pagi dengan semangat baru setiap harinya.”
ADVERTISEMENTS
Jika orang dewasa akan berharap punya jabatan dan gaji yang tinggi, anak kecil percaya bahwa bahagia tak melulu soal materi
Anak-anak suka berbagai jenis mainan; boneka, robot, mobil-mobilan, kelereng, hingga karet gelang. Mereka akan sibuk dengan mainan-mainan itu tanpa merasa perlu membandingkan harganya. Bukan berarti mainan yang lebih mahal bisa membuat mereka lebih bahagia, ‘kan?
Hal ini tentu jauh berbeda dengan yang kita alami setelah dewasa. Persoalan materi menjadi salah satu yang penting untuk dibahas,
“Berapa gajimu? Tunjangan apa saja yang kamu peroleh? Baju merek apa yang kamu pakai? Restoran mana saja yang pernah kamu kunjungi?”
Yang jelas, realita memang menuntut orang dewasa untuk berpikir pragmatis. Padahal, masih banyak kebaikan-kebaikan kecil yang jauh lebih mulia daripada materi.
ADVERTISEMENTS
Tak seperti manusia dewasa yang suka membebani diri sendiri, anak-anak cenderung menjalani hidupnya dengan santai
Karakter polos dan lugu membuat anak-anak menjalani hidupnya dengan santai. Ketika berharap malam cepat berganti pagi, mereka hanya membayangkan momen bermain dan jajan saat jam istirahat di sekolah. Tak terlintas pikiran untuk giat belajar demi pekerjaan mentereng dan gaji yang fantastis di masa depan.
Namun, ketika dewasa, kita cenderung sibuk memikirkan target dan pencapaian dalam hidup. Kadang, keinginan itu bisa berubah menjadi obsesi yang membuat kita “buta”. Kita terlalu fokus pada tujuan sehingga tak bisa pintar-pintar menikmati perjalanan atau proses menuju kesuksesan. Tak jarang, demi mencapai apa yang diinginkan, kita bisa ringan mengorbankan keluarga, teman, hingga pasangan.
ADVERTISEMENTS
Anak-anak tak takut menjadi unik dan berbeda, sedangkan orang dewasa kadang terlalu takut dikritik sekitarnya
Selain polos dan jujur, karakter anak-anak juga terbilang unik. Biasanya, mereka enggan didikte dan lebih suka melakukan segala sesuatu dengan cara mereka sendiri. Jika makan sepiring spageti dengan garpu itu terlalu rumit, mereka tak segan makan dengan tangan. Meskipun mendapat kritik atas sikap tersebut, mereka memilih cuek dan sekadar memuaskan perut yang lapar.
Baik bagi anak-anak tentu tak selalu baik bagi orang dewasa. Kita tentu harus berpikir dan mempertimbangkan setiap sikap atau pilihan yang kita ambil. Namun akibatnya, kita menjadi terlalu takut melakukan terobosan baru yang berbeda dengan yang orang lain lakukan. Kita takut dianggap menyimpang atau aneh dan tentunya kita enggan mendapat kritikan.
ADVERTISEMENTS
Dulu, kita bisa punya hubungan yang dekat dengan orang tua. Namun setelah dewasa, kita bahkan lupa sekadar meluangkan waktu untuk mereka
Dulu, kamu menangis jika tak bisa melihat ibumu dari jendela kelas di hari pertama masuk TK. Kamu pun akan menangis saat ayah pergi keluar rumah tanpa mengajakmu ikut serta. Ya, saat masih kanak-kanak, kedekatan dengan orang tua memang terasa begitu erat.
Sayangnya, hubungan dengan orang tuamu tak lagi sedekat itu setelah dewasa, ‘kan? Urusan kuliah, pekerjaan, hubungan dengan pasangan; banyak hal yang membuatmu tak lagi menyisakan banyak waktu untuk keluarga, khususnya kedua orang tuamu. Kamu sibuk tanpa menyadari bahwa waktu tak akan pernah bisa diputar ulang. Tak ada pilihan, selain bijaksana memanfaatkan waktumu demi orang-orang yang kamu sayangi.
Bagaimanapun, kita tak punya kuasa untuk kembali ke masa lalu. Tapi, mengenang masa kanak-kanak bisa jadi momen refleksi yang menjadikan hidup kita lebih baik di masa sekarang dan masa depan. 🙂