Aku seorang muslimah sejati. Lahir dan dididik oleh orang tua yang selalu mengutamakan poin-poin rohani. Tapi sampai saat ini, diumurku yang hampir 19 tahun (dan itu berarti usia remajaku tak lama lagi kuakhiri) aku tak kunjung ikhlas mengenakan hijab. Lantas, tersebutkah aku muslimah biadab?
Aku memang telah hampir berkepala dua, tapi masih saja berperilaku labil layaknya remaja mula. Suatu waktu aku ingin sekali membungkus diriku dengan untaian hijab yang menutup ragaku, tapi gejolak untuk memakai baju-baju mini pun tak mau kalah mempengaruhi pola pikirku. Aku tenteram memakai hijab, tapi aku juga senang memakai celana pendek. Aku anggun memakai gamis, tapi aku juga bangga memakai rok mini sebetis. Aku nyaman mahkotaku tertutup hijab di siang hari yang panas, tapi aku juga gembira mengibas-ngibaskan rambutku yang mulai menggelombang panjang tanpa rasa was-was. Tapi di antara pilihan-pilihan itu, aku selalu saja lebih sering memutuskan memakai pakaian yang memperlihatkan bentuk tubuhku yang telah semakin menginjak dewasa.
<>2. Jangan Salahkan Lingkunganku, Ini Hanya Persoalan Hubunganku dengan Tuhanku>Berbicara soal agama, akulah penguasa diriku satu-satunya. Sebagai seorang gadis yang hidup merantau di luar kota jauh dari keluarga, aku memang harus dituntut pandai dan cerdas dalam melangkahkan kaki menata cita-cita. Jangan kira dalam urusan ini aku tak bisa. Rambutku yang belum tertutup tak lantas membuatku lupa atas ajaran agama yang telah dititipkan orangtuaku tercinta.
Di lingkungan pergaulan, aku dikenal teman-teman sebagai sosok yang periang dan setia kawan. Aku akan mudah bergaul dengan siapa saja, dari yang kadar taqwanya sudah mencapai tingkat dewa, hingga kawan yang masih minus akhlaq-akhlaqnya. Aku akan lebih senang bergulat dengan sesuatu yang telah kurasa lengkap. Baik-buruk. Pintar-bodoh. Setia-ingkar. Bukankah itu semua hanya permisalan yang hanya dibuat-buat para manusia?
Ketidaksiapanku berhijab sungguh bukan karena mereka dari lingkungan ‘negatif’ku. Jangan melulu menyalahkan mereka yang menurutmu tidak sepatutnya. Dari mereka aku juga banyak mendapatkan ajaran-ajaran moral, yang darimu aku tak pernah mendapatkannya secara lengkap. Mereka bukan alasanku mengapa aku masih tak kunjung mengenakan hijabku. Mereka juga bukan alasan yang seenaknya saja bisa kamu sebut-sebut karena sifat dan sikapku yang menurutmu tak patut. Polah dan tingkahku adalah hasil kemauanku sendiri.
Jangan kamu coba menebak-nebak bagaimana hubunganku dengan Tuhanku. Ibadahku, amalku, tadarusku, tak perlu kukoar-koarkan kepadamu, bukan?
<>3. Tak Perlulah Kamu Mengahikimiku, Aku Bisa Tak Lebih Buruk dari Temanmu yang telah Berhijab Itu>Aku mempunyai caraku sendiri dalam menabung untuk bekalku di akhirat nanti. Aku pernah belajar ilmu tauhid, akhlaq, aqidah, dan sebagainya seperti temanmu yang telah berhijab itu. Aku juga akan berhati-hati dalam berbicara, bertutur, dan berperilaku. Janganlah kamu berpikir pendek bahwasannya aku yang masih berpakaian terbuka ini selalu berakhlaq jauh dibawah temanmu yang telah berhijab itu.
Auratku yang belum kututup sempurna tak lantas menjadikanku membiarkan tubuhku dinikmati seenaknya saja. Aku juga akan bersikap waspada mana baju yang sopan untuk acara ini, atau baju yang pas untuk acara itu. Janganlah kamu menghakimiku, karena sebelum kamu melakukannya, aku selalu siap menjadi seorang perempuan yang tak akan lebih buruk dari temanmu yang telah berhijab itu.
<>4. Belum Terlihat Islami Tak Lantas Membuatmu Melabeliku Kalah Alim, Bukan?>Aku tak suka berpura-pura. Di lingkungan pergaulan, aku dikenal cuek dan apa adanya. Denganmu yang telah ‘lumayan islami’ aku juga tak lantas selalu menutup-nutupi kekurangan diri. Aku tak suka berpura-pura alim untuk mendapatkan label darimu sebagai perempuan islami yang anggun dan menawan. Maaf, sekali lagi, aku tak sanggup jika harus hidup dalam kepura-puraan.
Sikap dan penampilanku yang masih jauh dari penilaianmu atas tanda-tanda perempuan islami sejati, bukan berarti menjadi alasan kamu dapat seenaknya saja menilaiku sebagai seorang hamba yang kerap kali lupa beribadah kepada Ilahi. Aku mempunyai ‘tanggungan’ kedua orang tua yang harus terus kudoakan siang malam. Aku mempunyai ‘beban’ menghabiskan bacaan alqur’an yang harus selalu kulantunkan. Kumohon, jangan melabeliku kalah alim dengan mereka. Bukankah Allah Sang Maha Bijaksana akan menerima ibadah hambanya meski rambutnya masih saja terbuka?
<>5. Pakaianku yang Terbuka itu Bukan Tanda Akhlaq-ku yang Durjana>Aku selalu sadar bahwa usiaku semakin menginjak dewasa dan menua. Apa-apa yang akan kukenakan dan kuperbuat secara penuh kuakui akan selalu menjadi penilaian kolega-kolega. Memang, bagi sebagian besar manusia, apa yang pertama dapat dilihat secara kasat mata akan menjadi penilaian yang utama. Tapi, kaki, tangan, dan rambutku yang selalu terlihat terbuka tak sepantasnya membuat kamu menganggapku sebagai seorang perempuan durjana.
Aku tahu dan mengerti bagaimana sepatutnya seorang muslimah berpakaian dalam rangka melindungi diri. Nabi juga mengatakan bahwa seorang perempuan hanya boleh menampakkan wajah dan telapak tangannya, bukan? Tapi mau bagaimana lagi, aku belum bisa melakukannya meski dalam rangka memperbaiki diri.
Ah, aku juga tahu apa yang akan kamu katakan. Ini semua bukan perkara bisa atau tidak bisa, ikhlas atau tidak ikhlas, rela atau tidak rela, tapi berhijab adalah sebuah kewajiban, bukan? Kuakui aku tak tuntas melaksanakan kewajibanku, tapi tak lantas hal itu menjadikanku tumbuh menjadi perempuan yang lupa iman dan islam. Aku tetap saja perempuan yang akan selalu rindu wewangian-wewangian surga-Nya yang penuh kenikmatan.
<>6. Andainya Kamu Tahu Sobat, Aku telah Lama Merindu Tubuhku Tertutup Kain yang Rapat>Boleh kuceritakan sedikit kebiasaanku kepadamu? Tapi tolong jangan kamu buru-buru tersenyum dan menertawaiku. Andai kamu tahu sobat, ketika kutemukan diriku sendiri berada di dalam kamar yang sunyi, aku akan dengan senang hati menghabiskan waktu mematut diriku dengan kemayu menjajal jilbab-jilbabku. Aku akan bersendu-sendu ria di depan kaca, mengandaikan diriku yang telah siap berhijab syar’i kapan saja.
Aku merindukan diriku terbalut kain yang menjulur menutup seluruh tubuh. Aku merindukan rambutku tertutup hijab yang terjuntai menutup liuk. Aku merindukan diriku yang tubuhnya tak ikhlas dilihat secara sembarangan. Tanpa sepengetahuanmu, aku melakukan itu semua dan merindukannya. Kini kamu telah tahu semua rahasia, aku sebenarnya telah ingin berhijab semenjak usia menginjak remaja, tapi belum ikhlasnya hati ini selalu saja mengalahkan itu semua.
<>7. Aku ‘Hanya’ Menunggu Waktu, Saat yang Tepat Diriku Ikhlas Menerima Mukjizat>Jangan melulu kamu bertanya kepadaku “Kapan hijabmu menghiasi rambutmu?” Percuma, aku tak akan mempunyai jawaban yang akan membuatmu lega dan gembira. Aku percaya, Allah akan selalu mengerti keputusanku, sejauh aku akan selalu melaksanakan kewajiban-kewajibanku selain mengenakan hijab syar’i itu.
Aku hanya perempuan yang ingin selalu bersikap sebaik-baiknya. Dalam doa yang diiringi tetesan eluhku di dalamnya, aku tak kunjung reda meminta kepada-Nya:
“Ya Allah.. Semoga Engkau lekas menganugerahkan kepadaku ikhlas-Mu yang tiada tara, agar hatiku tak lagi ragu untuk mengenakan hijabku yang telah Kau perintahkan kepadaku”
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Terimakasih Hipwee udah dipublish <3
alasan yg masuk logika….
tik tok tik tok