Sore itu, aku bertemu dengan dua sahabatku. Karena kesibukan masing-masing, rasanya susah sekali mencari waktu untuk bertukar cerita. Kami berkumpul di kedai kopi. Meski aku tak suka kopi, tapi tak mengapa. Aku hanya ingin lari sejenak dari penatnya rutinitas rumah tangga.
“Jadi, apa kabar kehidupan?”, tanyaku sambil memainkan segelas coklat hangat. Pertanyaan singkat yang membuka percakapan kami hingga dua jam ke depan.
Nadia, si wanita karir langsung bercerita tentang proyek baru yang sedang dikerjakannya. Diandra, si pengantin baru tak mau kalah menceritakan tentang betapa sulitnya tinggal dengan mertua.
ADVERTISEMENTS
1. Aku tidak bahagia setelah menikah. Aku harus gimana?
Lalu ketika tiba giliranku bercerita, aku terdiam. Dengan ragu aku bertanya, “Aku merasa tidak bahagia setelah menikah. Aku harus gimana, ya?” Melontarkan pertanyaan seperti itu saja sudah membuatku merasa seperti orang jahat.
Nadia dan Diandra tertegun. Mereka sama sekali tak menyangka. Orang-orang melihat keluarga kami sebagai keluarga bahagia. Keluarga yang sempurna.
Bagaimana tidak? Aku dan suamiku, Wira, menjalani kehidupan yang baik-baik saja. Suamiku orang yang baik, tidak memiliki hubungan gelap, dan kami dikaruniai tiga anak yang lucu. Wira juga cukup sukses di karirnya.
Hidup kami tidak kekurangan, meski tak berlebih. Aku, setelah kelahiran anak kedua, memutuskan berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga.
ADVERTISEMENTS
2. Bukan. Bukan pernikahanku yang tidak bahagia, hanya aku yang merasa tidak bahagia setelah menikah
Nadia menggenggam tanganku dan bertanya alasanku tidak bahagia setelah menikah. Jangan salah sangka. Cintaku pada keluarga amatlah besar. Mereka sumber kebahagiaan bagiku.
Tapi, sejak menikah dan punya anak, aku seperti tak punya jati diri. Aku bukan lagi Dhea, aktivis lingkungan yang vokal menyuarakan pendapatnya.
Kini aku lebih dikenal sebagai mama dari Andra, Tisa, dan Mega.
Aku cinta suamiku. Namun dengan rutinitas yang sama tiap hari, rasanya sudah tak ada lagi topik obrolan menarik di antara kami. Padahal sebelum menikah, kami bisa telponan berjam-jam setiap harinya untuk membahas berbagai macam hal.
Tak perlu ragukan lagi cintaku pada anak-anak. Semua perhatian kucurahkan pada mereka. Kupastikan mereka tak kurang apa pun. Aku mencintai mereka lebih dari diriku sendiri.
Mendengar ini Diandra protes. Ia bilang mungkin disitulah salahku. Energiku sudah habis kucurahkan ke semua orang hingga tak ada lagi yang tersisa untukku.
ADVERTISEMENTS
3. Usaha memperbaiki rasa tidak bahagia setelah menikah harus dari kedua pihak
“Aku percaya kamu adalah wanita kuat. Kamu berikan semua kasihmu tanpa pamrih. Tapi kamu lupa untuk menyayangi dirimu sendiri. Apa Wira tahu apa yang kamu rasakan?”
Aku menggeleng. Wira sudah cukup sibuk di kantor. Aku tak mau membebaninya.
Nadia menyarankan agar aku bicara pada Wira. Pernikahan itu dua pihak. Jika salah satu merasa ada yang salah, maka usaha untuk memperbaiki haruslah dari keduanya.
Aku bilang pada mereka kalau aku takut pada reaksi Wira. Takut ia salah mengerti, atau malah tidak mengerti sama sekali. Nadia menyarankan agar aku mengirimkan referensi artikel tentang kurangnya rasa kebahagiaan setelah menikah kepada Wira.
“Kamu bisa bilang, Sayang tolong sempatkan baca artikel ini ya. Nanti malam kalau kamu nggak capek, kita bahas ini yuk.” pungkas Nadia saat mencontohkan bagaimana cara membuka pembicaraan dengan Wira.
ADVERTISEMENTS
4. Jangan lupa sayangi diri sendiri
“Kamu juga harus perbanyak ‘me-time' ya.” kata Nadia. Tinggalkan sejenak atribut sebagai seorang ibu dan istri. Jadilah Dhea setidaknya dua kali dalam sebulan.
Lakukan apa yang kamu suka. Ke salon, jalan-jalan, olahraga, melukis, ataupun menulis. Kamu bisa minta tolong pada suami atau keluarga terdekat untuk menjaga anakmu. Agar kamu bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain, pastikan dirimu bahagia terlebih dulu. Jangan lupa, kebahagiaan itu menular, lho!
ADVERTISEMENTS
5. Berbagi kisah dengan orang lain bisa membantu meringankan bebanmu
Jika memang yang kurasakan ini sudah pada tahap yang berat. Jika rasa tidak bahagia ini sudah sampai menghambat aktivitasku sehari-hari, Diandra menyarankan agar aku bicara pada psikolog.
Aku mengernyit, “Apa perlu sih? Nanti aku nggak tahu bicara apa. Kalau aku dibilang lebay gimana? Aku kan nggak ‘sakit’.”
Diandra tersenyum. Ke psikolog bukan berarti kamu sakit jiwa, katanya. Bicara dengan psikolog akan meringankan beban pikiranmu. Persoalanmu akan diurai dan akan dibantu untuk dicarikan solusinya.
“Aku selama ini ia juga konsultasi ke psikolog ketika sedang stres, kok. Kalau kamu masih nggak pede datang langsung, coba pakai Riliv. Ini aplikasi yang menghubungkan kamu dengan psikolog profesional dan berlisensi melalui media chat. Cobain, deh!” tambahnya dengan senyuman.
—
Tak terasa hari sudah menjelang sore. Kami mengakhiri pertemuan itu dengan pelukan. Bicara dengan teman terdekat sedikit membuatku lega.
Sambil berpelukan, mereka berbisik, “Kamu pantas untuk bahagia, Dhea. Coba pulang ke rumah, peluk suamimu dan ceritakan apa yang kamu rasakan.” Aku mengangguk.
Di jalan pulang, kukirimkan beberapa artikel tentang rasa tidak bahagia setelah menikah ke Wira. Tak lama ia membalas pesanku, “Iya, ma. Kubaca-baca dulu ya.”
Sesampainya di rumah, Wira membukakan pintu dan memelukku, “Aku sayang mama. Terima kasih, ya, untuk semua yang telah mama lakukan untuk kami.”
Seketika seperti ada sesuatu yang mengalir hangat di dada. Rasanya seperti bahagia.
Referensi:
- https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/kenapa-bisa-depresi-setelah-menikah/
- https://www.redbookmag.com/
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-intelligent-divorce/201305/the-unhappy-marriage-stay-or-go
Ditulis oleh Sri Resy Khrisnawati dari Riliv.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”