Tentang Mereka yang Memboikot GoJek. Apa Iya Ini Satu-satunya Jalan Keluar?

 

Jakarta sebagai pusat perputaran uang paling besar di Indonesia mau tidak mau harus siap dengan jutaan karakter dan kebutuhan penduduknya. Bahkan bukan cuma penduduknya saja, mereka yang saban hari juga mengais rezeki di Tanah Betawi ini idealnya harus menjadi perhatian.

Kompleksitas masalah, ragam kepentingan, dan friksi kebutuhan serta anggaran dan pendapatan menjadikan Jakarta begitu hegemoni. Begitu layak diperbincangkan oleh siapa saja. Mulai dari toilet talk di pasar-pasar tradisional sampai executive lounge di Hotel Mulia.

Semua merasa memiliki Jakarta. Itu bagus. Rasa memiliki akan menjentikkan rasa peduli, toh? Tentang benturan antara GoJek/GrabBike/Jeger dsj dengan Pangkalan Ojek Konvensional. Ini yang bisa saya utarakan:

 <>1. GoJek/GrabBike/Jeger adalah inovasi. Bukankah Ojek Konvensional dulunya juga adalah sebuah inovasi?

Seperti halnya Facebook, Twitter, Internet, bahkan mobil sekalipun. Smeuanya adalah inovasi. Buah dari pemikiran, kebutuhan, ilmu, dan teknologi. Manusia semestinya sudah terbiasa dengan itu semua.

Kita semua terus beranak-pinak. Terus membutuhkan hal-hal yang lebih besar, banyak, dan praktis. Bukan hanya dalam rangka menghemat, tapi juga memudahkan hidup yang sejatinya tidak begitu rumit.

Begitupun dengan Ojek, maksud saya Pangkalan Ojek Konvensional. Mereka hadir jugaatas nama inovasi toh? Melengkapi moda transportasi yang ada sebelumnya. Hadir dengan karakter lebih personal, praktis, dan customer oriented. Tidak lagi menetapkan trayek.

Buktinya sampai sekarang, beberapa dekade telah terlewati, banyak sekali kisah sukses para Pengemudi Ojek yang bisa menyekolahkan anak mereka sampai sarjana. Tanpa beririsan dengan jutaan kisah sukses para Sopir Angkot dll yang juga hidup lebih mapan.

Mengapa pemikiran seperti ini tidak menjadi headline di kepala kalian sekarang?

<>2. Karena korban yang sesungguhnya adalah para pelanggan. Bukan mereka yang berhelm hitam, hijau, atapun kuning
pelanggan adalah korban

pelanggan adalah korban via https://www.facebook.com

Percayalah, bisnis memang nampak kejam. Tapi bukan itu intinya. Pengembangan ide tanpa henti adalah salah satu kunci.

Fenomena Ojak Praktis vs Ojek Konvensional yang kian meruncing rasanya sudah menggapai level memprihatinkan. Bukan karena satu dua kasus penganiyaan, melainkan cara keduanya menghadapi friksi ini yang perlu diperhatikan.

Ojek Konvensional yang memutuskan untuk memetakan "area dagang" mereka nampak seperti korban. Penyedia jasa Ojek Praktis yang kelihatannya tidak menanggapi isu ini dengan crisis management control yang apik pun bersikap seolah dingin.

Klaim dan pemboikotan seperti sekarang ini mau tidak mau menyusahkan para pelanggan. Semua pelanggan., baik yang biasa menggunakan jasa ojek helm hitam, hijau, atau kuning.

Alih-alih menyelesaikan pertikaian. Konflik ini justru menimbulkan potensi hilangnya pelanggan, bukan?

<>3. Kalau ini perkara rezeki. Apa susahnya berdampingan tanpa keki?

Tentu saja semua pihak mengatasnamakan rezeki sebagai alasan. Karena memang semuanya bermuara pada kebutuhan bisnis. Tidak ada yang salah dengan itu semua.

Yang diperlukan sekarang adalah sikap toleransi, keramahtamahan, dan keteguhan hati. Sudah ada rubuan juta orangtua yang mengatakan:

Rezeki itu di tangan Tuhan

Apa iya dengan begini kita jadi menyangsikan petuah bijak itu? Meragukan kehadiranNya? Memutuskan untuk bertindak sesuai hati.

<>4. Pasar punya sistem keadilan sendiri. Mereka yang ada di dalamnya haruslah berbesar hati.
ojek, neng?

ojek, neng? via https://www.google.com

Semakin tinggi permintaan, semakin tinggi penawaran

Begitu bukan bunyi hukum ekonomi? Syaa bukan seorang Ekonom, bukan pula seorang Filsuf. Tapi saya tahu, ada jutaan pasar di dunia ini yang telah beroperasi dengan baik.

Semuanya seperti berjalan di atas sistem keadilan tak nampak. Mereka yang ada di dalamnya mendapatkan jatah sesuai dnegan seberapa besar usaha yang mereka kontribusikan. Mungkin diperlukan penelitian ilmiah atas bukti empiris ini. Entahlah.

Begitu juga dengan Ojek Praktis dan Ojek Konvensional. Keduanya bersaing pada pasar yang sama. Menawarkan jasa yang serupa. Sistem keadilan pasar tak nampak yang sudah berlaku di jutaan pasar di dunia tersebut juga seharusnya berlaku sama untuk persaingan yang satu ini.

<>5. Pada akhirnya pasar akan membentuk polanya sendiri. Biarkan pelanggan memilih.
boleh, bang.

boleh, bang. via https://www.google.com

Seperti halnya proses jual-beli. Pelanggan punya hak seutuhnya untuk akhrinya menentukan pilihan. Memilih produk atau jasa mana yang paling sesuai dengan profil mereka.

Tidak dibutuhkan pemetaan, klaim area, boikot sana-sini, atau benturan fisik antar-pihak yang bersaing untuk memperebutkan pelanggan. Toh pada akhirnya akan terbentuk sendiri siapa lebih suka siapa, 'kan?

Mereka yang mengagumi segala kecanggihan IPhone akan tetap ada. Begitupun dengan mereka yang merasa nyaman menggawai Android Phone. Keduanya sama-sama besar tanpa harus saling menyasar.

Dear Pengemudi Ojek (yang memakai warna helm apapun), kalian juga bisa seperti itu, kan?

 

NB: Saya bukan pelanggan Ojek. Hanya sotoy menuliskan isu ini saja. Tanpa ada niat menyudutkan satu pihak.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

a writer.

4 Comments

  1. Rey De Luminos berkata:

    Kadang karena tekanan hidup bnyak orang jadi bertindak goblok dan smbrono. Berpikir bak kura lura dalm tmpurung