1. Tradisi dari Babilonia
Lebih dari 4000 tahun yang lalu, Kerajaan Babilonia di Mesopotamia kerap merayakan sebuah festival tahun baru yang disebut Akitu. Perayaan bernuansa keagamaan tersebut biasa digelar setiap titik balik musim semi (vernal equinox) atau sekitar pertengahan bulan Maret. Akitu juga bertepatan dengan waktu penanaman ladang, serta lahan pertanian lainnya..
Selama 12 hari festival Akitu, Babilonia menobatkan raja baru atau mempertegas sumpah tetap setia kepada raja yang tengah memerintah. Mereka juga akan mengucapkan janji pada para dewa pagan, untuk membayar hutang-hutang dan mengembalikan segala peralatan yang dipinjam dari tetangga atau kerabat. Mereka percaya, jika janji itu ditepati, maka para dewa akan memudahkan serta melancarkan semua urusan di tahun tersebut, dan berlaku sebaliknya.
Tradisi masyarakat Babilonia itu kemudian diadaptasi oleh kerajaan Romawi yang menetapkan kalender Julian, di mana tahun baru jatuh pada tanggal 1 Januari. Nama Januari diambil dari dewa Romawi, Janus. Dewa Janus dikabarkan memiliki dua wajah. Satu sisi wajahnya menyimbolkan tindakan menghadap masa lalu sebagai bagian refleksi, sedangkan satu sisi lainnya menatap masa depan untuk perbaikan atau resolusi. Sama seperti masyarakat Babilonia, orang-orang Romawi juga berjanji pada dewa-dewa untuk memperbaiki diri di tahun yang baru.
Pengucapan jani-janji tersebut kemudian diyakini sebagai cikal bakal pembuatan resolusi tahun baru dari masa ke masa hingga saat ini. Orang-orang terus membuat resolusi, meskipun menurut penelitian University of Scranton, Amerika Serikat, hanya 8% yang konsisten menjalani dan sukses mewujudkan resolusinya. Artinya, sebagian besar orang hanya membuat resolusi tanpa benar-benar menjalani prosesnya. Barangkali sekedar ikut-ikutan tradisi?
Lantas kalau begitu, jadi pentingkah membuat resolusi tiap tahunnya? Kalau kita sendiri tahu bakal tidak terwujud? Pun secara logis, perubahan bisa dilakukan kapan saja, tidak mutlak harus di awal tahun, kan? Ternyata, terlaksana ataupun tidak, pembuatan resolusi tahun baru dinilai penting untuk kesehatan mental. Ini dia alasannya.
2. Seperti nasehat Babe Sabeni, kalau hidup itu mesti jujur, jujur, jujur! Biar idup kite ga ancur!
Sebaik-baiknya menulis resolusi adalah diawali dengan berefleksi. Artinya kamu sudah bersikap jujur pada dirimu, bukan cuma soal apa yang kamu rasakan dan inginkan, tapi juga segala kesalahan yang diperbuat dan/atau kekurangan yang dimiliki. Lebih dari itu, kamu punya niatan untuk memperbaiki. Niat tersebut yang akan menuntunmu mencapai tujuan. Tujuan yang tentunya akan meningkatkan indeks kebahagiaanmu. Dengan begitu kualitas kesehatanmu pun ikut meningkat.
Bener lho, apa yang dibilang Babe Sabeni dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Sikap jujur pada diri sendiri tidak hanya akan membantumu mengenal dirimu lebih baik lagi, tetapi juga bisa berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan lingkup pekerjaan.
3. Semangat lembaran baru atau fresh start effect
Para ilmuwan mengatakan bahwa manusia cenderung lebih cepat mengambil tindakan demi mencapai tujuannya, sebagai akibat dari fresh start effect. Ketika lembaran baru terbuka, baik itu di awal tahun, awal bulan, atau setelah peristiwa tertentu, secara psikologis manusia dibanjiri motivasi berlebih.
Jadi, tidak ada salahnya memanfaatkan peristiwa pergantian tahun sebagai ancang-ancang perubahan. Tahun baru memberikan sensasi lembaran baru atau fresh start, sehingga pembuatan resolusi dinilai tepat. Terlebih otak manusia terbiasa memikirkan bahwa kehidupan terdiri fase demi fase, dibandingkan sebagai proses berkelanjutan. Kuncinya adalah menjaga adrenalin motivasi yang besar di awal untuk lebih stabil ke depannya, hingga memunculkan sikap konsisten.
4. Perjalanan panjang sering membuat lelah, oleh sebab itu kita perlu diingatkan tentang tujuan yang ingin dicapai.
Kalau hidup ibaratnya cerita, maka resolusi adalah kerangkanya. Resolusi yang baik, bukan cuma sekedar jadi catatan tanpa ditilik ulang. Dia adalah panduan hidupmu selama satu tahun ke depan, pengingat untuk bersikap konsisten sampai dengan tujuan. Maka, tempel resolusimu di tembok kamar, pintu lemari, pintu kulkas, dan (meminjam kalimat Donny Dhirgantoro) kalau perlu gantung 5 cm di depan jidatmu!
5. Resolusi adalah simbol pengharapan dan optimisme, salah dua pegangan hidup yang paling penting!
Pembuatan resolusi tahun baru melahirkan harapan dan optimisme. Dua hal tersebut menstimulasi pikiran-pikiran positif di otak, yang kemudian bisa kamu ubah menjadi energi untuk melakukan aksi. Harapan dan optimisme itu pula yang juga akan berdampak sangat positif terhadap kesehatan mental-mu.
6. Efek Domino, karena kita saling terhubung.
Resolusimu bukan hanya milikmu seorang. Apa yang kamu tuliskan, lalu ketika kamu konsisten menjalaninya, bisa jadi inspirasi bagi orang lain. Apa-apa yang kamu lakukan berdampak pada lingkungan sekitarmu baik keluargamu, pasanganmu, teman-teman, ataupun masyarakat. Jadi, resolusi bukan hanya cara terbaik untuk fokus pada perkembangan dirimu, tapi nyatanya punya efek yang lebih luas lagi.
Kesimpulannya meskipun cuma 8% orang yang berhasil mencapai resolusinya, membuat resolusi tetap lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Ada sebuah penelitian psikologi tahun 1989 menunjukkan orang-orang yang membuat resolusi, memiliki tingkat kesuksesan sepuluh kali lebih tinggi, dibandingkan mereka yang ingin berubah tapi tidak membuat resolusi.
Selain itu, orang yang berkali-kali mencoba untuk mengubah dirinya (self-improvement) juga punya tingkat keberhasilan lebih tinggi, dibandingkan kelompok yang hanya mencoba satu kali. Jadi, apabila ada resolusi yang tidak tercapai, kamu masih bisa mencobanya lagi. Kalau kata band Journey sih, Don’t stop believing!